Inflasi Tinggi Masih Menghantui, Rupiah Perkasa di Eropa
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah berjaya di hadapan poundsterling, dolar franc swiss dan euro pada perdagangan hari ini, Selasa (5/4/2022).
Rupiah tidak hanya berjaya di Benua Biru, tapi juga berhasil menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan menjadi juara kedua di Asia.
Melansir data Refinitiv, pada pukul 11:20 WIB euro terhadap rupiah terkoreksi 0,09% ke Rp 15.730,47/EUR.
Hal yang serupa, poundsterling melemah terhadap Mata Uang Garuda sebanyak 0,07% ke Rp 18.807,11/GBP dan dolar franc swiss terdepresiasi terhadap rupiah sebanyak 0,03% ke Rp 15.485,05/CHF.
Sebagai informasi, rupiah juga berhasil menguat terhadap dolar AS dan menjadi juara kedua di Asia. Pada pukul 11:00 WIB, tercatat rupiah menguat tipis 0,02% terhadap si greenback.
Jadi, wajar saja rupiah dapat menguat di Benua Biru, performa rupiah tampaknya memang sedang di atas angin.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menyentuh rekor all time high di 7.142,52 di beberapa menit setelah pembukaan perdagangan pagi tadi. Secara year to date, IHSG berhasil membukukan penguatan sebesar 8,11%.
Pada pukul 11:25 WIB, tercatat aliran dana asing mencapai Rp 355,01 miliar. Jika dihitung dari awal tahun nilai net buy asing mencapai Rp 44,86 triliun di pasar reguler.
Sementara itu, angka inflasi yang tinggi di wilayah Eropa dan Inggris masih menjadi salah satu kecemasan pasar selain perang di Ukraina. Kebijakan bank sentral di kedua zona tersebut tampaknya masih menjadi sorotan utama serta sentimen penggerak pasar.
Kepala Bank sentral Eropa (ECB) Belanda Klaas Knot mengatakan bahwa ECB harus terus mengekang stimulus untuk menghentikan ekspektasi inflasi agar tidak melayang di atas target sebesar 2%.
Inflasi zona Eropa mencapai rekor tertinggi 7,5% di Maret, tapi beberapa pembuat kebijakan mengatakan bahwa kenaikan tersebut mayoritas disebabkan oleh harga energi yang tinggi secara tajam sehingga pertumbuhan harga akan moderat dengan sendirinya dan bahkan dapat menetap di bawah target.
Namun, Knot adalah anggota ECB yang lebih konservatif, berpendapat bahwa inflasi merupakan fungsi dari lonjakan permintaan karena rumah tangga mulai membelanjakan uang tunai yang mereka tabung selama pandemi.
"ECB harus jelas bahwa mandat utamanya adalah untuk menjaga inflasi jangka menengah dan tidak akan ragu untuk bertindak," tutur Knot dikutip dari Reuters.
Berbeda dengan ECB, Deputy Gubernur Bank of England (BOE) Jon Cunliffe mengatakan bahwa BOE tidak perlu mengambil tindakan berkelanjutan untuk menghentikan inflasi yang tinggi.
Cunliffe, satu-satunya pembuat kebijakan BOE yang menentang keputusan BOE pada Maret untuk menaikkan suku bunga acuan menjadi 0,75% dari 0,5%.
Dia juga menambahkan bahwa perang antara Rusia dan Ukraina memungkinkan pada perlambatan yang lebih tajam pada akhir tahun ini dan awal tahun 2023, sehingga membuat inflasi jangka panjang lebih kecil kemungkinannya.
Inflasi di Inggris mencapai 6,2% di Februari yang tertinggi sejak 30 tahun dan diprediksikan akan mendekati 9% pada akhir 2022.
Cunliffee memperingatkan bahwa kebijakan moneter yang terlalu ketat setelah harga energi stabil akan membebani ekonomi Inggris.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/vap)