
Lagi 'Panen' Besar, Sri Mulyani Nggak Ngoyo Tambah Utang!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah mengaku memiliki banyak alternatif untuk menutupi defisit pada tahun ini. Banyaknya pilihan membuat pemerintah tidak terburu-buru mengambil utang dalam jumlah besar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, pekan lalu, menegaskan pemerintah tidak hanya mengandalkan penerbitan obligasi sebagai sumber pembiayaan pada tahun ini. Pemerintah masih memiliki kas negara dan pinjaman luar negeri sebagai alternatif untuk membiayai defisit.
Pemerintah juga tidak akan terburu-buru dalam mengambil utang melalui penerbitan SBN karena ada Bank Indonesia yang siap menjadi standby buyer. Pemerintah juga lebih nyaman tahun ini karena realisasi defisit kemungkinan lebih rendah dari yang ditetapkan seiring perbaikan penerimaan negara.
"Kalau market sedang bergejolak kita lihat, kas kita masih banyak dan kalau tools sekarang masih ada bantalan kas kita lihat berapa lama. Penerimaan pajak dan bea cukai dan PNBP tinggi, oh masih bisa. Jadi kita gak perlu tarik utang di luar negeri dulu," ungkap Sri Mulyani dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2022.
Kepala ekonom BCA David Sumual mengatakan pemerintah akan sangat diuntungkan dari lonjakan harga komoditas. Kenaikan harga crude palm oil (CPO), batu bara, minyak mentah, dan nikel bakal mendongkrak penerimaan negara. Dengan penerimaan negara yang lebih kuat, pemerintah bisa menekan defisit tahun ini.
"Ada windfall penerimaan dari komoditas. Kenaikan komoditas juga akan membantu net ekspor kita," tutur David, kepada CNBC Indonesia.
Dampak positif dari kenaikan harga komoditas pernah dirasakan pemerintah pada tahun 2011-2014 ketika terjadi booming commodity.
Pada tahun 2011, misalnya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp 213,8 triliun, melonjak dibandingkan tahun 2010 (Rp 168,8 triliun). Penerimaan tersebut di atas target APBN 2011 yang ditargetkan Rp 191,98 triliun.
Pada tahun 2011, penerimaan SDA migas mencapai Rp 205,8 sementara dari SDA non migas mencapai Rp 20,3 triliun. Kenaikan penerimaan tersebut membantu menurunkan defisit pada tahun 2011. Realisasi defisit anggaran hanya menembus 1,14% dari PDB, jauh di bawah yang ditetapkan dalam APBN-P 2011 yakni 2,1% dari PDB. Padahal, subsidi energi pada tahun tersebut menembus Rp 255,6 triliun.
Kenaikan harga komoditas juga mendongkrak penerimaan negara dari Rp 168,8 triliun pada 2010 menjadi Rp 240,8 triliun pada 2011. PNBP Sumber Daya Alam melorot menjadi Rp 101 triliun pada 2015 seiring berakhirnya booming komoditas.
Tanda-tanda melonjaknya penerimaan sudah terlihat pada Februari. Penerimaan bea keluar pada Januari-Februari 2022, menembus Rp 6,57 triliun atau melompat 177,3% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Lonjakan didorong kenaikan harga CPO di pasar internasional.