Lagi 'Panen' Besar, Sri Mulyani Nggak Ngoyo Tambah Utang!

Maesaroh, CNBC Indonesia
25 March 2022 20:45
Menteri Keuangan Sri Mulyani di acara CNBC Indonesia Economic Outlook, Selasa (22/3). (CNBC Indonesia/Tri Susilo))
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani di acara CNBC Indonesia Economic Outlook, Selasa (22/3). (CNBC Indonesia/Tri Susilo))

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah mengaku memiliki banyak alternatif untuk menutupi defisit pada tahun ini. Banyaknya pilihan membuat pemerintah tidak terburu-buru mengambil utang dalam jumlah besar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, pekan lalu, menegaskan pemerintah tidak hanya mengandalkan penerbitan obligasi sebagai sumber pembiayaan pada tahun ini. Pemerintah masih memiliki kas negara dan pinjaman luar negeri sebagai alternatif untuk membiayai defisit.

Pemerintah juga tidak akan terburu-buru dalam mengambil utang melalui penerbitan SBN karena ada Bank Indonesia yang siap menjadi standby buyer. Pemerintah juga lebih nyaman tahun ini karena realisasi defisit kemungkinan lebih rendah dari yang ditetapkan seiring perbaikan penerimaan negara.

"Kalau market sedang bergejolak kita lihat, kas kita masih banyak dan kalau tools sekarang masih ada bantalan kas kita lihat berapa lama. Penerimaan pajak dan bea cukai dan PNBP tinggi, oh masih bisa. Jadi kita gak perlu tarik utang di luar negeri dulu," ungkap Sri Mulyani dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2022.

Kepala ekonom BCA David Sumual mengatakan pemerintah akan sangat diuntungkan dari lonjakan harga komoditas. Kenaikan harga crude palm oil (CPO), batu bara, minyak mentah, dan nikel bakal mendongkrak penerimaan negara. Dengan penerimaan negara yang lebih kuat, pemerintah bisa menekan defisit tahun ini.


"Ada windfall penerimaan dari komoditas. Kenaikan komoditas juga akan membantu net ekspor kita," tutur David, kepada CNBC Indonesia.

Dampak positif dari kenaikan harga komoditas pernah dirasakan pemerintah pada tahun 2011-2014 ketika terjadi booming commodity.
Pada tahun 2011, misalnya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp 213,8 triliun, melonjak dibandingkan tahun 2010 (Rp 168,8 triliun). Penerimaan tersebut di atas target APBN 2011 yang ditargetkan Rp 191,98 triliun.

Pada tahun 2011, penerimaan SDA migas mencapai Rp 205,8 sementara dari SDA non migas mencapai Rp 20,3 triliun. Kenaikan penerimaan tersebut membantu menurunkan defisit pada tahun 2011. Realisasi defisit anggaran hanya menembus 1,14% dari PDB, jauh di bawah yang ditetapkan dalam APBN-P 2011 yakni 2,1% dari PDB. Padahal, subsidi energi pada tahun tersebut menembus Rp 255,6 triliun.

Kenaikan harga komoditas juga mendongkrak penerimaan negara dari Rp 168,8 triliun pada 2010 menjadi Rp 240,8 triliun pada 2011. PNBP Sumber Daya Alam melorot menjadi Rp 101 triliun pada 2015 seiring berakhirnya booming komoditas.


Tanda-tanda melonjaknya penerimaan sudah terlihat pada Februari. Penerimaan bea keluar pada Januari-Februari 2022, menembus Rp 6,57 triliun atau melompat 177,3% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Lonjakan didorong kenaikan harga CPO di pasar internasional.

Meningkatnya penerimaan karena harga komoditas membuat pemerintah optimis bahwa defisit bisa ditekan di bawah estimasi yang ditetapkan dalam APBN yakni 4,85% dari PDB. Sekaligus, mengurangi penerbitan utang.

Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Deni Ridwan mengatakan pemerintah berencana mengurangi penerbitan SBN tahun ini hingga Rp 100 triliun seiring dengan optimalisasi penerimaan negara. Dalam APBN 2022, penerbitan SBN Netto ditetapkan sebesar Rp 991,29 triliun.


"Penerbitan SBN akan selalu mempertimbangkan kondisi pasar keuangan, kebutuhan pembiayaan dan kondisi kas negara sehingga penerbitan yang dilakukan dapat sesuai dengan rencana kebutuhan dan pada window yang tepat," tutur Deni, kepada CNBC Indonesia.

Keberadaan Bank Indonesia sebagai standby buyer juga membuat pemerintah tidak terburu-buru dalam mengambil utang jika yield yang diminta terlalu tinggi.


Tidak terburu-burunya pemerintah dalam menyerap utang bisa dilihat dalam penerbitan SUN dan sukuk dalam dua pekan terakhir.

Pada lelang SUN 15 Maret lalu, pemerintah hanya mengambil utang Rp 17,25 triliun, di bawah target indikatifnya yang ditetapkan Rp 20-30 triliun.

Merujuk pada data Kementerian Keuangan, yield tertinggi yang masuk untuk tenor 10 tahun (FR0091, pada hari ini tercatat 6,90%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pada lelang sebelumnya (6,60%).


Pada tenor lima tahun (FR0090), yield tertinggi yang masuk tercatat 5,70%, sementara pada lelang sebelumnya sebesar 5,40%.

"Dengan mempertimbangkan yield SBN yang wajar di pasar sekunder dan rencana kebutuhan pembiayaan tahun 2022 serta kondisi kas pemerintah yang masih memadai, maka pemerintah memutuskan untuk memenangkan permintaan sebesar Rp 17,25 triliun," tutur Deni pada Selasa (15/3).


Dalam catatan Kementerian Keuangan, ada SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) sebesar Rp 84,9 triliun dalam APBN 2021 dan Rp 245,6 triliun dalam APBN 2020.


Pada tahun 2021, pemerintah menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) atau kumpulan dari SILPA tahun-tahun sebelumnya, sebesar Rp 143,8 triliun untuk membiayai defisit.


Dalam empat tahun terakhir, pemerintah giat meningkatkan penjualan surat utang ke masyarakat. Kepemilikan investor ritel dalam surat utang pemerintah melonjak menjadi 5,58% pada Maret 2022. Jumlah tersebut meningkat drastis dibandingkan akhir 2017 yang masih ada di kisaran 2,85%.


Peningkatan proporsi ritel ini akan mengurangi tekanan saat tekanan global meningkat seperti sekarang ini.

"Ini memberi kita kemampuan untuk bermanuver terutama ketika pasar global dan pasar luar negeri masih dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan seperti saat ini," tutur Sri Mulyani, pekan lalu.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular