Gegara Perang, Ekonomi Dunia Lesu! Indonesia Juga Begitu?

Maesaroh, CNBC Indonesia
18 March 2022 14:24
Pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak
Foto: Pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak (Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR)

Jakarta- CNBC Indonesia - Bank Indonesia dan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menurunkan perkiraan mereka terhadap pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini. Penurunan pertumbuhan dikhawatirkan akan ikut berdampak kepada perekonomian Indonesia.

Gubenur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Kamis (17/3), memperkirakan pertumbuhan ekonomi global lebih lemah karena meletusnya perang Rusia-Ukraina, meningkatnya ketidakpastian, serta masih lambatnya pertumbuhan di sejumlah negara seperti China, Amerika Serikat (AS), dan Eropa.

"Yang semula pertumbuhan ekonomi global bisa mencapai 4,4%, pada asesmen terkini bisa turun jadi 4,2%. Bahkan kalau berlanjut bisa 3,8%, tergantung seberapa lama eskalasi ini berlanjut," tutur Perry dalam konferensi pers virtual, Kamis (17/3/2022)

Sementara itu, Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann (18/3) mengatakan konflik Rusia-Ukraina kemungkinan akan memangkas pertumbuhan ekonomi pada tahun ini sebesar 1% ke bawah 3%. Level tersebut lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya sebesar 4,5%.

Kendati memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global, Bank Indonesia tetap mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 4,7-5,5%. Perry menilai pertumbuhan ekonomi domestik masih kuat seiring dengan meredanya penyebaran Covid-19, perbaikan konsumsi rumah tangga dan investasi non-bangunan, serta tetap positifnya pertumbuhan konsumsi Pemerintah. Kinerja ekspor diperkirakan tetap tetap baik terutama karena kenaikan harga komoditas.

Mengamini pernyataan Perry, ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman juga meyakini pertumbuhan ekonomi masih akan kuat pada tahun ini. "Walau proyeksi global menurun kami masih melihat dampak ke Indonesia akan terbatas, jadi proyeksi kami masih 5,17% untuk 2022," tutur Faisal, kepada CNBC Indonesia.

Dia menjelaskan Indonesia kembali bisa menggantungkan pertumbuhan ekonominya kepada konsumsi rumah tangga pada tahun ini setelah dua tahun bertumpu pada ekspor. Terlebih, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kian longgar seiring menurunnya kasus Covid-19.

"Kami melihat sumber pertumbuhan bergeser dari belanja pemerintah dan ekspor pada 2021, menjadi konsumsi rumah tangga sejalan pelonggaran PPKM dan investasi seiring dengan membaiknya demand domestik," ujarnya.


Senada, ekonom OCBC Wellian Wiranto juga meyakini ekonomi Indonesia tidak akan terlalu berdampak terhadap penurunan ekonomi global. Ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 5% pada tahun ini.

"Indonesia bisa melepaskan diri dari dampak penurunan pertumbuhan global dan bisa tumbuh 5% tahun ini," tutur Wellian kepada CNBC Indonesia.

Dengan menggantungkan sekitar 50% pertumbuhannya pada konsumsi domestik, perekonomian Indonesia kerap tidak linier dengan perkembangan ekonomi global. Pada 2019, saat perekonomian global tumbuh di bawah 3%, ekonomi Indonesia justru perkasa dengan tumbuh 5,17%. Sebaliknya, saat perekonomian global sudah mampu tumbuh di atas 5% pada tahun lalu, ekonomi Indonesia masih tumbuh di level 3%.

Fenomena ini terkait erat dengan belum terlalu terlibatnya Indonesia dalam rantai pasokan dunia. Dengan kondisi tersebut, Indonesia relatif tidak terlalu terekspos dari perkembangan dunia.


Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan The Evolution of Indonesia's Participation in Global Value Chains menyebutkan partisipasi Indonesia dalam rantai pasok global relatif lebih rendah karena memilih fokus untuk memenuhi konsumsi domestik. Dalam rantai pasok global, Indonesia lebih berperan kepada pemasok komoditas dari pada menyuplai produk manufaktur ke pengguna.

Laporan tersebut meneliti peran Indonesia dalam industri/sektor hulu penyedia input antara (backward linkage) dan industri/sektor hilir pengguna output (forward linkage) selama periode 2000-2017. Partisipasi Indonesia dalam forward linkages turun dari 21,5% pada 2000 ke 12,9% pada 2017. Sementara itu, partisipasi di backward linkages turun dari 16,9% dari 2000 menjadi 10,1% di 2017.

Menyusul terjadinya perang Rusia-Ukraina, perdagangan global diperkirakan akan melambat. Namun di sisi lain, perang membuat harga komoditas melambung. Kondisi tersebut akan sangat menguntungkan Indonesia yang masih banyak menggantungkan ekspor kepada komoditas.

Ekspor Indonesia pada tahun lalu bahkan mencatat rekor bulanan empat kali dan menorehkan pencapaian terbesarnya pada November 2021 yakni US$ 22,84 miliar karena terbantu komoditas. Total ekspor tahun lalu mencapai US$ 231,52 miliar. Level tersebut menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah dan melewati catatan tahun 2011 (US$203,6 miliar) di mana pada saat itu juga terjadi booming harga komoditas.

"Kalau kita lihat komposisi ekspor pada 1970 sampai 1986 lebih besar migas setelah periode itu beralih ke non-migas terutama CPO,"ujar Kepala Badan Pusat Statistik Margo Yuwono, Selasa (15/3/2022).

Berbeda dengan ekspor, pasar keuangan Indonesia lebih terekspos kepada perkembangan global terutama setelah Indonesia menganut sistem devisa bebas pada 1982. Bila pasar keuangan global goyang, Indonesia juga akan menanggung dampaknya dari banyaknya capital outflow serta melemahnya rupiah. Kondisi tersebut terjadi pada krisis finansial 2008 dan 2018 saat pasar keuangan dunia goyang karena Yunani mengalami gagal bayar utang.

Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti melihat pasar keuangan Indonesia pada tahun ini relatif lebih tahan terhadap goncangan global. Memang terjadi arus modal keluar (capital outflow) sebesar Rp 30 triliun di pasar Surat Berharga Negara dan Rp 4 triliun dari pasar saham di Maret. Imbal hasil (yield) SBN mengalami kenaikan tetapi tidak melonjak.


Berdasarkan data Kementerian Keuangan, yield Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10 tahun sempat menanjak setelah Rusia menyerang Ukraina dari 6,51% pada 28 Februari menjadi 6,798% pada 8 Maret tetapi yield sudah kembali turun pada hari ini (6,726%).

"Memang di market terjadi risk off dan ada penyesuaian yield tetapi tidak terlalu frontal. Sekarang masih manageable. Ada outflow tetapi dari sisi domestik kita cukup strong," tutur Destry dalam konferensi pers, Kamis (17/3/2022).

Lebih kuatnya investor domestik tercermin dari meningkatnya porsi kepemilikan dalam SBN. Bila pada awal akhir 2018, porsi kepemilikan asing di surat utang pemerintah berkisar 38% maka pada tahun ini menurun drastis ke kisaran 18%. Kepemilikan asing yang mengecil akan membantu menurunkan eksposur pasar keuangan Indonesia dari goncangan global.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular