
Gegara Perang, Ekonomi Dunia Lesu! Indonesia Juga Begitu?
Dengan menggantungkan sekitar 50% pertumbuhannya pada konsumsi domestik, perekonomian Indonesia kerap tidak linier dengan perkembangan ekonomi global. Pada 2019, saat perekonomian global tumbuh di bawah 3%, ekonomi Indonesia justru perkasa dengan tumbuh 5,17%. Sebaliknya, saat perekonomian global sudah mampu tumbuh di atas 5% pada tahun lalu, ekonomi Indonesia masih tumbuh di level 3%.
Fenomena ini terkait erat dengan belum terlalu terlibatnya Indonesia dalam rantai pasokan dunia. Dengan kondisi tersebut, Indonesia relatif tidak terlalu terekspos dari perkembangan dunia.
Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan The Evolution of Indonesia's Participation in Global Value Chains menyebutkan partisipasi Indonesia dalam rantai pasok global relatif lebih rendah karena memilih fokus untuk memenuhi konsumsi domestik. Dalam rantai pasok global, Indonesia lebih berperan kepada pemasok komoditas dari pada menyuplai produk manufaktur ke pengguna.
Laporan tersebut meneliti peran Indonesia dalam industri/sektor hulu penyedia input antara (backward linkage) dan industri/sektor hilir pengguna output (forward linkage) selama periode 2000-2017. Partisipasi Indonesia dalam forward linkages turun dari 21,5% pada 2000 ke 12,9% pada 2017. Sementara itu, partisipasi di backward linkages turun dari 16,9% dari 2000 menjadi 10,1% di 2017.
Menyusul terjadinya perang Rusia-Ukraina, perdagangan global diperkirakan akan melambat. Namun di sisi lain, perang membuat harga komoditas melambung. Kondisi tersebut akan sangat menguntungkan Indonesia yang masih banyak menggantungkan ekspor kepada komoditas.
Ekspor Indonesia pada tahun lalu bahkan mencatat rekor bulanan empat kali dan menorehkan pencapaian terbesarnya pada November 2021 yakni US$ 22,84 miliar karena terbantu komoditas. Total ekspor tahun lalu mencapai US$ 231,52 miliar. Level tersebut menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah dan melewati catatan tahun 2011 (US$203,6 miliar) di mana pada saat itu juga terjadi booming harga komoditas.
"Kalau kita lihat komposisi ekspor pada 1970 sampai 1986 lebih besar migas setelah periode itu beralih ke non-migas terutama CPO,"ujar Kepala Badan Pusat Statistik Margo Yuwono, Selasa (15/3/2022).
Berbeda dengan ekspor, pasar keuangan Indonesia lebih terekspos kepada perkembangan global terutama setelah Indonesia menganut sistem devisa bebas pada 1982. Bila pasar keuangan global goyang, Indonesia juga akan menanggung dampaknya dari banyaknya capital outflow serta melemahnya rupiah. Kondisi tersebut terjadi pada krisis finansial 2008 dan 2018 saat pasar keuangan dunia goyang karena Yunani mengalami gagal bayar utang.
Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti melihat pasar keuangan Indonesia pada tahun ini relatif lebih tahan terhadap goncangan global. Memang terjadi arus modal keluar (capital outflow) sebesar Rp 30 triliun di pasar Surat Berharga Negara dan Rp 4 triliun dari pasar saham di Maret. Imbal hasil (yield) SBN mengalami kenaikan tetapi tidak melonjak.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, yield Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10 tahun sempat menanjak setelah Rusia menyerang Ukraina dari 6,51% pada 28 Februari menjadi 6,798% pada 8 Maret tetapi yield sudah kembali turun pada hari ini (6,726%).
"Memang di market terjadi risk off dan ada penyesuaian yield tetapi tidak terlalu frontal. Sekarang masih manageable. Ada outflow tetapi dari sisi domestik kita cukup strong," tutur Destry dalam konferensi pers, Kamis (17/3/2022).
Lebih kuatnya investor domestik tercermin dari meningkatnya porsi kepemilikan dalam SBN. Bila pada awal akhir 2018, porsi kepemilikan asing di surat utang pemerintah berkisar 38% maka pada tahun ini menurun drastis ke kisaran 18%. Kepemilikan asing yang mengecil akan membantu menurunkan eksposur pasar keuangan Indonesia dari goncangan global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]