
Membaca Kinerja GoTo dengan 'Aturan 40'

Jika perusahaan startup ingin mencetak angka positif di bottom line (kolom rugi-laba) di laporan keuangan mereka, caranya sangatlah mudah, yakni berhenti melakukan pengeluaran berlebihan untuk ekspansi (pos marketing dan promosi). Intinya, setop strategi bakar uang!
Jika mengacu pada laporan keuangan GoTo, dua pos yang bisa dikategorikan bakar uang tersebut nilainya mencapai Rp 23,07 triliun (per 2021), yakni pos Promosi bagi Pelanggan (senilai Rp 10,97 triliun) dan Pos Penjualan dan Pemasaran (senilai Rp 12,1 triliun).
Artinya, jika ingin menyenangkan investor tradisionalis yang hanya mengacu aspek profitabilitas dalam menilai prospek saham, maka GoTo bisa seketika mencetak laba bersih setidaknya Rp 300 miliar dengan menghentikan atau mengerem aksi bakar duit di dua pos tersebut.
Angka Rp 300 miliar muncul jika kedua pos tersebut ditiadakan, sehingga rugi bersih Rp 22,8 triliun pun lenyap. Itu belum memasukkan faktor pengurangan di pos Riset dan Pengembangan, yang bersama Beban Administrasi dan Beban Operasi totalnya mencapai Rp 13,8 triliun.
Namun konsekuensinya, perseroan akan kehilangan peluang untuk memperlebar penguasaan pasarnya di Asia Tenggara dalam waktu singkat, kalah dibandingkan dengan kompetitornya di tingkat global dan bahkan berisiko gagal mendisrupsi pasar konvensional di Indonesia.
Sebagai contoh, tarif promo yang berjalan puluhan tahun di GoTo membantu meningkatkan akuisisi pengguna dan membangun komunitas. Hasilnya, perseroan menarik 100 juta pengguna aktif bulanan (monthly active users).
Berkat bakar uang juga pengguna Tokopedia kini mencapai 176 juta orang, sukses menjadi e-commerce dengan pengguna terbanyak di Indonesia mengalahkan Shopee yang hanya 113 juta pengguna. Sementara itu, GoJek sukses menyediakan layanannya di 99% kota di Indonesia.
Strategi jor-joran beriklan dan mengembangkan pasar itu bukanlah hal aneh di industri startup. Untuk mengukur tingkat ekspansi dengan strategi demikian, dipakailah istilah burn rate atau tingkat belanja startup untuk mengembangkan pasarnya yang memicu arus kas negatif.
Burn rate dinilai masih wajar dilakukan selama berimbas positif pada valuasi perseroan yang terlihat dari kenaikan pendapatan dan penguasaan pasar. Lalu, dikembangkanlah prinsip 'Aturan 40' atau Rule of 40.
Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh pemodal ventura di Foundry Group Brad Feld, untuk menentukan dan membuat justifikasi apakah sebuah perusahaan startup masih bisa dikatakan tumbuh sehat dan prospektif meski belum beroleh laba atau masih "bakar uang".
Dalam artikel berjudul "The Rule of 40% for a Healthy SaaSÂ Company" (3/2/2015), pemodal yang sudah malang melintang di dunia startup sejak 1990 ini menyebutkan Aturan 40 lebih relevan diberlakukan untuk startup yang valuasinya sudah melewati US$ 1 juta.
Aturan emas ini sudah diuji terhadap emiten konstituen Nasdaq oleh Tomasz Tunguz, Direktur Pelaksana Redpoint Ventures. Hasilnya, Aturan 40 sangat relevan untuk mengukur prospek perusahaan teknologi, terutama yang pendapatannya sudah di atas US$ 50 juta (Rp 715 miliar).
(ags/ags)