Analisis Saham

Membaca Kinerja GoTo dengan 'Aturan 40'

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
18 March 2022 10:55
Gojek dan Tokopedia Bentuk GoTo
Foto: Gojek dan Tokopedia Bentuk GoTo (Dok. GoTo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertanyaan publik 10 tahun lebih atas jeroan duet Gojek-Tokopedia, di PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk, terjawab sudah. Prospektus penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) membuka kinerja dan prospek perseroan sebenarnya.

Perseroan resmi menerbitkan prospektus IPO pada Selasa (15/3/2022) yang memuat informasi detil mengenai isi perusahaan, mulai dari kinerja operasi, kinerja keuangan, hingga pemegang saham pengendali kepada publik.

Berdasarkan prospektus tersebut, startup dengan ekosistem terbesar di Indonesia ini akan menawarkan sebanyak-banyaknya 48 miliar saham baru seri A (dan mungkin ditingkatkan hingga maksimal 52 miliar saham baru), mewakili 4,35% dari modal ditempatkan dan disetor.

GoTo menargetkan bisa menghimpun dana dari masyarakat senilai Rp 17,9 triliun, dengan harga penawaran di kisaran Rp 316-Rp 346/unit saham. Sekitar 90% dana hasil IPO akan digunakan sebagai penyertaan di ketiga unit usahanya yakni GoJek, Tokopedia dan GoPay.

Respon publik pun beragam. Namun mayoritas tentu saja menyorot soal profitabilitas, mengingat decacorn (sebutan untuk perusahaan rintisan atau startup dengan valuasi di atas US$ 10 miliar atau Rp 140 triliun) ini masih merugi.

Perseroan sendiri secara terbuka mengakui hal tersebut, dengan menyatakan bahwa profitabilitas di masa mendatang bergantung pada kemampuan manajemen untuk mengembangkan dan memasarkan bisnisnya secara efisien.

Pernyataan tersebut adalah wujud keterbukaan atau transparansi perseroan kepada publik, yang disampaikan dalam prospektus sebagai pengungkapan risiko yang dihadapi, sekalipun rugi bersih tersebut cenderung menurun dari tahun ke tahun.

"Perusahaan tidak dapat menjamin bahwa Perusahaan akan dapat membukukan laba bersih di masa mendatang. Keberhasilan perusahaan teknologi lain tidak dapat digunakan sebagai indikasi kinerja keuangan Perusahaan di masa mendatang," tulis manajemen di prospektus (halaman 114).

Titik inilah yang membedakan cara pandang dan karakteristik investor di pasar modal terhadap saham GOTO. Mereka yang menganggap bahwa nilai saham IPO harus dilihat berdasarkan rasio profitabilitas dan prospek dividennya akan menganggap GOTO sebagai saham yang tak menarik.

Maklum saja, startup berskala unicorn memang masih jadi "barang asing" di bursa nasional, dengan hanya PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) yang sudah tercatat (dan masih merugi Rp 1,32 triliun).

Sebaliknya, investor yang familiar dengan dunia startup dan modal ventura menilai profitabilitas bukan indikator utama dalam menilai prospek saham startup yang hendak IPO.

Pandangan ini sudah sangat dipahami di negara maju sejak tahun 1997, ketika Amazon mencatatkan saham di bursa Amerika Serikat (AS) dan masih memikul rugi bersih US$ 5,8 juta. Facebook pun ketika listing memikul rugi bersih US$ 157 juta (per kuartal II-2012).

Jika perusahaan startup ingin mencetak angka positif di bottom line (kolom rugi-laba) di laporan keuangan mereka, caranya sangatlah mudah, yakni berhenti melakukan pengeluaran berlebihan untuk ekspansi (pos marketing dan promosi). Intinya, setop strategi bakar uang!

Jika mengacu pada laporan keuangan GoTo, dua pos yang bisa dikategorikan bakar uang tersebut nilainya mencapai Rp 23,07 triliun (per 2021), yakni pos Promosi bagi Pelanggan (senilai Rp 10,97 triliun) dan Pos Penjualan dan Pemasaran (senilai Rp 12,1 triliun).

Artinya, jika ingin menyenangkan investor tradisionalis yang hanya mengacu aspek profitabilitas dalam menilai prospek saham, maka GoTo bisa seketika mencetak laba bersih setidaknya Rp 300 miliar dengan menghentikan atau mengerem aksi bakar duit di dua pos tersebut.

Angka Rp 300 miliar muncul jika kedua pos tersebut ditiadakan, sehingga rugi bersih Rp 22,8 triliun pun lenyap. Itu belum memasukkan faktor pengurangan di pos Riset dan Pengembangan, yang bersama Beban Administrasi dan Beban Operasi totalnya mencapai Rp 13,8 triliun.

Namun konsekuensinya, perseroan akan kehilangan peluang untuk memperlebar penguasaan pasarnya di Asia Tenggara dalam waktu singkat, kalah dibandingkan dengan kompetitornya di tingkat global dan bahkan berisiko gagal mendisrupsi pasar konvensional di Indonesia.

Sebagai contoh, tarif promo yang berjalan puluhan tahun di GoTo membantu meningkatkan akuisisi pengguna dan membangun komunitas. Hasilnya, perseroan menarik 100 juta pengguna aktif bulanan (monthly active users).

Berkat bakar uang juga pengguna Tokopedia kini mencapai 176 juta orang, sukses menjadi e-commerce dengan pengguna terbanyak di Indonesia mengalahkan Shopee yang hanya 113 juta pengguna. Sementara itu, GoJek sukses menyediakan layanannya di 99% kota di Indonesia.

Strategi jor-joran beriklan dan mengembangkan pasar itu bukanlah hal aneh di industri startup. Untuk mengukur tingkat ekspansi dengan strategi demikian, dipakailah istilah burn rate atau tingkat belanja startup untuk mengembangkan pasarnya yang memicu arus kas negatif.

Burn rate dinilai masih wajar dilakukan selama berimbas positif pada valuasi perseroan yang terlihat dari kenaikan pendapatan dan penguasaan pasar. Lalu, dikembangkanlah prinsip 'Aturan 40' atau Rule of 40.

Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh pemodal ventura di Foundry Group Brad Feld, untuk menentukan dan membuat justifikasi apakah sebuah perusahaan startup masih bisa dikatakan tumbuh sehat dan prospektif meski belum beroleh laba atau masih "bakar uang".

Dalam artikel berjudul "The Rule of 40% for a Healthy SaaS Company" (3/2/2015), pemodal yang sudah malang melintang di dunia startup sejak 1990 ini menyebutkan Aturan 40 lebih relevan diberlakukan untuk startup yang valuasinya sudah melewati US$ 1 juta.

Aturan emas ini sudah diuji terhadap emiten konstituen Nasdaq oleh Tomasz Tunguz, Direktur Pelaksana Redpoint Ventures. Hasilnya, Aturan 40 sangat relevan untuk mengukur prospek perusahaan teknologi, terutama yang pendapatannya sudah di atas US$ 50 juta (Rp 715 miliar).

Oleh karena itu, mungkin saat ini pertanyaan yang lebih relevan untuk menguji sejauh mana prospek kinerja GoTo dan sahamnya adalah dengan mengukur kesehatan dan aspek keberlanjutan burn rate yang dijalankan.

Jika mengacu pada Aturan 40 tersebut, maka publik perlu melihat apakah aksi bakar uang itu berimbas positif terhadap penguasaan pasarnya, dan terutama terhadap kontribusi pendapatan per tahunnya (sekalipun belum ada margin laba).

Hal ini juga yang diperhatikan dari saham Amazon dan Facebook yang melantai di bursa ketika keduanya masih memikul rugi bersih. Investor memperhatikan keunggulan model bisnis mereka, besarnya penguasaan pasar, dan imbasnya ke neraca keuangan yakni pendapatan. Bukan laba.

Pada saat Amazon melantai, perseroan menggunakan neraca tahun 1996 dengan nilai pendapatan US$ 15,7 juta, yang kemudian melonjak 841% menjadi US$ 147,8 juta (1997) dan 312% menjadi US$ 609,8 juta (1998). Artinya, Aturan 40 berlaku di Amazon.

Facebook pun demikian. Pendapatan jelang listing (2011) adalah US$ 1,13 miliar, naik 40% menjadi US$ 1,58 miliar (2012), lompat 63,3% menjadi US$ 2,58 miliar (2013), dan lanjut reli sebesar 49,2% pada 2014 menjadi US$ 3,85 miliar.

Semuanya tumbuh di atas 40% dan terbukti kinerja emiten yang sekarang bernama Meta tersebut memang berkelanjutan yang berujung pada laba bersih US$ 64 juta pada kuartal IV-2012, atau US$ 53 juta selama setahun penuh 2012. Bagi Amazon, laba bersih dicetak 7 tahun setelah IPO, yakni pada 2004 senilai US$ 588 juta.

GoTo juga menunjukkan kecenderungan pertumbuhan serupa, di mana pendapatan 2018 tercatat Rp 1,44 triliun dan tumbuh di atas 40% di tahun-tahun selanjutnya. Pada 2019 pendapatan naik 59,7% ke Rp 2,3 triliun, lalu menguat 44,78% ke Rp 3,3 triliun (2020), dan lanjut melesat 88% menjadi Rp 6,28 triliun (2021).

Hal ini menunjukkan bahwa aksi bakar uang yang dilakukan GoTo masih bisa dijustifikasi sesuai dengan Aturan 40, karena berujung pada peningkatan omzet perseroan di atas 40%, yang secara bersamaan diikuti dengan peningkatan nilai transaksi bruto (gross transaction value/GTV).

Nilai transaksi bruto adalah ukuran yang lazim digunakan oleh perusahaan berbasis digital, untuk mengukur nilai transaksi yang diproses oleh pelanggannya melalui situs web atau aplikasi yang mereka kembangkan.

Besarnya GTV menunjukkan tingginya utilitas aplikasi digital mereka. GTV Tokopedia mencapai Rp 60,7 triliun (kuartal III-2021), atau melesat 67% secara tahunan, atau sesuai dengan prinsip Aturan 40 (Rule of 40).

Jika ditarik lebih panjang, nilai transaksi bruto GoTo secara rerata per tahun (compounded annual growth rate/CAGR), tumbuh 46% per tahun dalam kurun waktu 2018-2020, dengan pendapatan bruto tumbuh 56% per tahun dalam kurun waktu yang sama.

Oleh karena itu, aksi bakar uang GoTo demi mengembangkan sayapnya ke pasar regional bisa dibilang masih berkelanjutan, karena masih berujung pada pertumbuhan positif dari sisi pendapatan maupun dari sisi pengembangan pasar.

Namun, ada satu pembuktian sederhana mengenai prospek kinerja emiten, jika mengikuti saran investor berbasis nilai (value investor) Warren Buffet, yakni lihatlah apakah produk perseroan-dalam hal ini GoTo-Anda gunakan dan digunakan orang-orang terdekat Anda tiap hari?

"You should invest in companies that you both understand and believe will offer long-term value," tutur pria berjulukan Oracle of Omaha ini kepada CNBC International (23/11/2020).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular