
Urusan Default Rusia Belum Kelar, Apa Dampaknya ke Indonesia?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia mengeklaim sudah sudah memproses pembayaran bunga surat utang senilai US$117 juta yang jatuh tempo pada Rabu (16/3/2022). Namun, proses tersebut belum selesai karena persoalan alat pembayaran.
Dilansir dari CNN, Rusia dikabarkan menggunakan aset-aset mereka yang dibekukan di luar negeri sebagai dana pembayaran bunga surat utang mereka. Di satu sisi, langkah Rusia tersebut bisa menghindarkan mereka dari risiko gagal bayar atau default. Namun, di sisi lain upaya tersebut belum menyelesaikan masalah, yakni tuntasnya pembayaran bunga utang.
Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov mengatakan Rusia sudah menunaikan kewajibannya dalam memproses pembayaran tetapi apakah pembyaran mereka sampai ke kreditor itu persoalan lain dan bukan ditentukan mereka.
"Permintaan pembayaran bunga surat utang sebesar US$117 juta sudah dibayar. Kami punya uang nya, kamu sudah memproses pembayaran sekarang bola berada di tangan pengadilan Amerika Serikat," tutur Siluanov, seperti dikutip dari CNN.
Seorang sumber dari Kementerian Keuangan Amerika Serikat mengatakan bahwa Amerika Serikat akan mengizinkan pembayaran ini berjalan.
Negara-negara Barat telah memberikan sejumlah sanksi kepada Rusia setelah negara tersebut menyerang Ukraina, akhir Februari lalu.
Di antaranya adalah dengan membekukan aset-aset Rusia yang berada di luar negeri serta mengeluarkan beberapa Bank Rusia dari sistem pembayaran internasional SWIFT.
Sanksi tersebut menghalangi Rusia dalam mengakses setengah dari cadangan mata uang asing mereka yang bernilai US$ 315 miliar. Padahal, dana tersebut akan digunakan untuk membayar kreditor.
Ancaman defaultnya Rusia membayangi perekonomian global dalam dua pekan terakhir. Bila Rusia gagal maka dikhawatirkan berdampak buruk kepada pasar keuangan dunia.
Lalu, bagaimana dampaknya kepada Indonesia jika proses pembayaran bunga surat utang Rusia gagal dan Rusia dinyatakan default?
Direktur Surat Utang Negara pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) Deni Ridwan mengatakan dampak default Rusia ke Indonesia tidak terlalu signifikan.
"Hubungan antara financial sector Rusia dengan Indonesia relatif terbatas, jadi dampak secara langsung ke Indonesia tidak terlalu signifikan," tutur Deni, kepada CNBC Indonesia.
Hal senada disampaikan Reny Eka Putri, Senior Quantitative Analyst (Senior Analis) Bank Mandiri. Renny mengatakan masih ada risiko default karena sanksi yang dijatuhkan sejumlah negara kepada Rusia.
"Untuk risiko default Rusia tampaknya memang akan terjadi karena sanksi yang dijatuhkan sebagai dampak invasi Rusia ke Ukraina. Namun, apakah dampaknya seperti Yunani kita harus menelusuri faktor-faktor risiko tambahan yang akan terjadi selanjutnya," tutur Renny, kepada CNBC Indonesia.
Permasalahan default pernah dialami Yunani pada 2015 lalu setelah negara tersebut gagal membayar utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Utang Yunani pada saat itu mencapai 323 miliar euro, atau hampir 180% dari produk domestik bruto (PDB).
Renny menjelaskan risiko dari krisis yang dialami Rusia tidak hanya default tetapi lebih kepada dampak ikutannya.
"Kekhawatiran terhadap Rusia tidak hanya potensi default, namun juga ancaman resesi ekonomi, pemutusan akses dana bantuan IMF, pelemahan nilai tukar, dan bank runs. Jika kondisi ini semakin parah tentu akan membuat perekonomian Rusia semakin terpuruk," ujarnya.
Bila krisis Rusia memburuk maka bisa berdampak pada meningkatnya inflasi global. Pasalnya, Rusia merupakan produsen utama dunia untuk beberapa komoditas seperti palladium.
"(Dampak) yang paling utama potensi inflasi global meningkat karena beberapa pasokan komoditas impor yang berasal dari Rusia dan Ukraina dapat terhambat," tambahnya.
Sebagai catatan, krisis keuangan Yunani dimulai sejak 2008 dan menyeret negara-negara Eropa lain seperti Portugal dan Italia.
Krisis Yunani membuat pasar keuangan global bergejolak dan menimbulkan sentimen risk aversion aset negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia.
Investor asing di Indonesia mengalihkan investasinya ke negara lain dengan instrumen yang relatif lebih aman, seperti surat utang pemerintah Amerika Serikat (AS. Kondisi tersebut membuat capital outflow mengalir deras, menaikkan yield surat utang pemerintah, hingga menggoyang stabilitas rupiah.
William Jackson, kepala ekonom di Capital Economics untuk emerging market mengatakan eksposur perbankan global ke Rusia tidaklah terlalu besar. Rusia tidak masuk dalam penyebab sistemik keuangan dan tidak masuk kategori pemain utama dalam sistem keuangan global.
"Default lebih kepada kepada simbolis tetapi bagi pasar keuangan global tidak terlalu signifikan," tuturnya, seperti dikutip New York Post.
Meskipun sanksi membatasi Rusia dalam menggunakan cadangan mata uang asing mereka tetapi keuangan negara tersebut dalam kondisi bagus. Terlebih, kebanyakan kreditor adalah bank lokal bukan investor asing.
Dengan fakta tersebut, Jeffrey Roach, kepala ekonom LPL Financial, mengatakan default utang Rusia tidak akan memberikan dampak sedramatis default Yunani.
(mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Duh! Pefindo Turunkan Peringkat Waskita Beton Jadi Default