Rusia Kena Azab, Terancam Gagal Bayar Utang Akibat Perang

Feri Sandria, CNBC Indonesia
14 March 2022 12:20
Hobi Presiden Rusia Vladimir Putin Naik Mobil Jadul
Foto: Presiden Rusia Vladimir Putin mengendarai Volga putih 1956 miliknya saat ia tiba di upacara pembukaan terowongan baru di jalan raya yang mengarah dari resor Laut Hitam Sochi ke resor ski gunung, Jumat (19/8/2005). (AP Photo/ITAR-TASS, Presidential Press Service)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia terancam mengalami gagal membayar (default) atas utang luar negerinya setelah sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya dikenakan Barat kepada negara Beruang Merah atas invasinya ke Ukraina.

Biaya invasi Rusia ke Ukraina akan menjadi jauh lebih jelas minggu ini, dengan default yang sebelumnya tidak terpikirkan kini terasa semakin dekat. Hal ini menyebabkan kemungkinan akan ada lebih banyak tindakan darurat dari bank sentral dan kehancuran pasar saham apabila diputuskan untuk dibuka kembali.

"Operasi khusus" Moskow di negara tetangga eks Soviet telah memutus Rusia dari rantai penting pasar keuangan global, memicu krisis ekonomi terburuknya sejak jatuhnya Uni Soviet pada 1991.

Rabu ini (16/3) bisa menandai level terendah lainnya. Pemerintah Rusia diperkirakan akan membayar US$ 117 juta atau setara dengan Rp 1,68 triliun (Rp 14.350/US$) untuk dua obligasi berdenominasi dolar. Pemerintah telah memberikan sinyal ketidaksanggupan dan mengancam akan membayar dalam rubel atau sama saja dengan default.

Ancaman Gagal Bayar Utang RusiaFoto: Refinitiv
Ancaman Gagal Bayar Utang Rusia

Secara teknis Rusia memang memiliki masa tenggang 30 hari, tetapi itu tidak berarti banyak. Jika gagal bayar terjadi, ini akan menjadi default internasional pertama sejak revolusi Bolshevik lebih dari seabad yang lalu.

Raksasa energi yang dikelola negara, Gazprom dan Rosneft telah melakukan pembayaran obligasi internasional dalam beberapa hari terakhir dan sekitar US$ 200 miliar dari cadangan devisa pemerintah yang tidak terkena sanksi memang meninggalkan sepotong harapan, meskipun peluang itu tampak suram.

Selain hiruk pikuk pembayaran utang, Rabu ini juga pasar keuangan Rusia juga dapat ramai karena alasan lain.

Dilansir Reuters, surat kabar keuangan Vedomosti Rusia melaporkan bank sentral dan beberapa sumber dari Bursa Moskow mengatakan bahwa perdagangan ekuitas dan obligasi lokal yang ditangguhkan dapat dilanjutkan pada saat itu.

Ini akan menimbulkan kekacauan setidaknya dalam jangka pendek. Perusahaan-perusahaan besar Rusia yang juga terdaftar di pasar London dan New York, sahamnya telah merosot hampir tajam ketika krisis pecah dan sekarang perdagangannya turut dihentikan.

"Ada banyak lembaga keuangan yang memegang aset Rusia dan ingin mereka lepas tetapi tidak bisa," kata ahli strategi mata uang Rabobank Jane Foley.

"Mereka tidak memiliki pilihan nyata selain bertahan yang berarti bahwa ketika mereka diizinkan untuk berdagang, penjualannya bisa sangat [besar]."

Dampak perang tidak akan selesai sampai di situ - gagal bayar dan hancurnya bursa saham. Bank sentral Rusia dijadwalkan bertemu pada hari Jumat setelah menaikkan suku bunga lebih dari dua kali lipat menjadi 20% dan menerapkan kontrol yang luas akan valuta asing untuk mencegah krisis keuangan besar-besaran.

Bank investasi Barat seperti JPMorgan sekarang memperkirakan ekonomi negara pimpinan Vladimir Putin ini akan jatuh 7% tahun ini karena kombinasi kekhawatiran akan penarikan dana besar-besaran (bank run), dampak negatif sanksi ekonomi dan lonjakan inflasi instan yang disebabkan oleh pelemahan rubel hingga 40%.

Pelemahan RubelFoto: Refinitiv
Pelemahan Rubel

Sebelum memutuskan untuk menyerang Ukraina, ekonomi Rusia diprediksi tumbuh 3% di awal tahun. Ini juga berarti penurunan peak-to-trough (PTR) sekitar 12%, yang akan lebih besar dari penurunan 10% dalam krisis rubel 1998, koreksi 11% selama krisis keuangan global dan kontraksi 9% dari pandemi COVID-19 .

"[Bank sentral Rusia] mungkin akan menaikkan suku bunga sedikit lebih jauh, itu akan menjadi asumsi paling aman saat ini," kata Arthur Budaghyan, kepala strategi pasar berkembang di BCA Research, lembaga yang berbasis di Kanada.

Namun, langkah yang lebih penting saat ini adalah pengetatan kebijakan terkait pengendalian modal lebih lanjut untuk menjaga sistem keuangan tetap tertutup dan aman.

"Memastikan bank dapat berfungsi, tetap dapat memproses pembayaran dan menjaga kredit mengalir ke perekonomian sehingga setidaknya dapat berfungsi dalam beberapa kapasitas jauh lebih penting," kata Budaghyan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular