AS Hampir Bebas Masker, Gimana Nasib Saham Produsen Masker?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
15 March 2022 19:49
Vaksinasi Covid-19 di Sparrow Laboratories Drive-Thru Services di Lansing, Michigan, AS, amerika serikat

Jakarta, CNBC Indonesia - Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat menyebut, sekitar 98% populasi AS tinggal di lokasi di mana tingkat Covid-19 cukup rendah, sehingga orang tidak perlu memakai masker di dalam ruangan.

Seperti diketahui, CDC pada 25 Februari 2022 lalu secara dramatis telah melonggarkan pedoman Covid-19 tentang kapan orang Amerika harus mengenakan masker di dalam ruangan, dengan mengatakan mereka dapat melepasnya di negara-negara yang memiliki tingkat kasus Covid-19 rendah atau sedang.

Bulan lalu, CDC awalnya mengatakan 70% dari wilayah yang mencakup 72% orang Amerika dapat melepaskan masker. Mengutip Reuters, Jumat (11/03/2022), informasi terbaru dari CDC mengatakan bahwa 98% orang Amerika yang tinggal di 94% wilayah AS dapat terbebas dari masker.

Sementara ini pada dasarnya merupakan kabar yang baik, tetapi bagaimana dengan nasib perusahaan yang memproduksi atau menjadi penyuplai masker Covid-19 di AS?

Nasib Perusahaan Masker Asal AS

Berdasarkan penelusuran cepat Tim Riset CNBC Indonesia, setidaknya ada 3 perusahaan publik AS yang ikut menjadi penyuplai masker N95, yang telah banyak diminati oleh petugas kesehatan seiring pagebluk Covid-19.

Ketiganya adalah Honeywell International, 3M, dan Kimberly-Clark. Honeywell melantai di bursa Nasdaq, sedangkan 2 nama terakhir di Bursa Saham New York (NYSE).

Sebenarnya, ketiga perusahaan tersebut tidak hanya berfokus memproduksi masker. Ketiganya merupakan saham industri dengan pelbagai segmen, mulai dari consumer goods sampai kertas.

Melansir The Street (14/2/2022), 3M mengumumkan bahwa penjualan masker perusahaan kemungkinan akan melambat tajam seiring penurunan kasus Covid-19 dan pada gilirannya turut membebani keuntungan perusahaan.

Dalam presentasi menjelang acara hari investor tahunan, manajemen 3M mengatakan bahwa penurunan yang diharapkan dalam "permintaan alat respirator sekali pakai terkait Covid" akan memukul penjualan organik sebesar 2 basis persentase dan menggerus US$ 0,45 dari total laba per saham (EPS) perusahaan.

Dalam paparannya, manajemen mengharapkan pertumbuhan penjualan organik sekitar 2% hingga 5% tahun ini, dengan laba di sekitar US$ 10,15 hingga US$ 10,65 per saham. Hal ini seiring perusahaan berkomitmen menggelontorkan dana sekitar US$ 4 miliar untuk penelitian dan pengembangan (R&D) dan belanja modal atawa capex.

Sementara, pesaing utama 3M dalam bisnis masker respirator, Honeywell, sebelumnya mengatakan pada awal Februari bahwa perlambatan penjualan masker akan menekan sekitar 1% terhadap pertumbuhan penjualan organik.

Honeywell sendiri memproyeksikan pertumbuhan organik di rentang 5% sampai 8% tahun ini.

Asal tahu saja, penjualan masker respirator N95, yang meningkat selama gelombang Omicron yang melanda AS akhir tahun lalu, membantu 3M membukukan laba kuartal keempat yang lebih kuat dari perkiraan sebesar US$ 2,31 per saham dengan pendapatan US$ 8,61 miliar pada akhir Januari.

Selain tiga nama di atas, melansir The Wall Street Journal, pada 14 Februari 2022, Canada Goose Holdings Inc., perusahaan pakaian mewah Kanada yang juga ikut membuat peralatan pelindung selama pagebluk, mengatakan penjualan produk masker perusahaan telah turun drastis.

Pendapatan lain-lain Canada Goose, yang mencakup penjualan produk untuk penanganan Covid-19, juga turun menjadi US$ 4 juta dalam tiga bulan terakhir tahun 2021, dari sebesar US$ 13,8 juta setahun sebelumnya.

Sejurus dengan proyeksi perlambatan tersebut, saham Honeywell, 3M, dan Kimberly-Clark ambles sejak awal tahun (ytd). (Lihat grafik berikut ini).

Kinerja 3 Saham Produsen Masker ASFoto: Refinitiv
Kinerja 3 Saham Produsen Masker AS

Saham Honeywell merosot 11,41%, 3M anjlok 19,28%, dan Kimberly-Clark terjungkal hingga minus 16,37% secara ytd.

Bagaimana nasib emiten RI >>> Baca di halaman selanjutnya

Sejatinya, emiten yang terjun di bisnis masker di Indonesia juga pada mulanya bukan produsen masker.

Sejumlah emiten yang masuk ke bisnis pembuatan masker kain, termasuk alat pelindung diri (APD) lainnya seperti hazmat, merupakan emiten tekstil dan garmen.

Emiten-emiten yang dimaksud adalah PT Pan Brothers Tbk (PBRX), PT Trisula Textile Industries (BELL), PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY), dan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL).

Nah, melihat peluang peningkatan penggunaan masker untuk mencegah penyebaran virus Covid-19, emiten-emiten tersebut tergiur untuk mencari peruntungan dengan melakukan diversifikasi usaha.

Dalam pernyataan di keterbukaan BEI, pada 13 Juli 2021, manajemen Pan Brothers (PBRX), misalnya, menyatakan tekanan akibat pagebluk Covid-19 membuat perusahaan memutuskan untuk menambah lini bisnis dengan terjun dalam produksi dan ekspor APD, seperti hazmat dan gaun perlindungan medis, dan masker kain.

Kemudian, pada tahun lalu, dalam public expose, pada 27 Mei 2021, BELL juga menyatakan memiliki usaha penunjang perdagangan besar alat laboratorium, farmasi, dan kedokteran, yaitu memproduksi kain sebagai bahan untuk produk APD berupa masker dan baju hazmat serta mengedarkan secara komersial APD tersebut.

Demikian pula dengan SRIL alias Sritex yang ikut masuk ke lini bisnis baru dalam produksi pakaian APD dan masker kain. Hal tersebut terungkap dalam keterbukaan informasi pada 11 Mei 2021.

Asal tahu saja, saat ini emiten milik keluarga Lukminto sedang berusaha terbebas dari jerat pailit.

Sejauh penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, detail penjualan masker emiten-emiten tersebut sejauh ini tidak tertera, baik di laporan keuangan atau public expose di website BEI maupun perusahaan.

Namun, secara umum, kinerja keuangan emiten di atas cenderung masih tertekan.

PBRX, misalnya, mencatatkan penurunan laba bersih 1,19% secara tahunan (yoy) per akhir kuartal III 2021 menjadi US$ 19,02 juta. Pendapatan bersih PBRX juga turun 3,05% menjadi US$ 507,82 juta per 30 September 2021.

Demikian pula dengan kinerja saham perusahaan. Saham PBRX ambles 8,63% dalam sebulan ke Rp 127/unit, sedangkan secara ytd anjlok 17,53%.

Kemudian, saham BELL terjungkal 27,08% dalam sebulan belakangan dan 'terjun bebas' 52,05% secara ytd.

Selanjutnya, saham POLY merosot 9,28% dalam sebulan terakhir, tetapi masih naik 7,32% sejak awal tahun.

Adapun, saham SRIL masih disuspensi (penghentian sementara perdagangan).

Asal tahu saja, pada 18 Mei 2021, pihak BEI melakukan suspensi saham SRIL di seluruh pasar lantaran perusahaan menunda untuk membayarkan pokok dan bunga dari surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN) Sritex tahap III tahun 2018 ke-6.

Suspensi tersebut diperpanjang oleh pihak bursa pada 1 November 2021 setelah perusahaan belum menyampaikan laporan keuangan per kuartal I 2021 hingga tanggal 29 Oktober 2021.

Kabar teranyar, pada Senin kemarin (14/3), Sritex baru saja merilis laporan keuangan per kuartal II 2021.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular