Setengah Asetnya Beku Kena Sanksi, Rusia Sebut Andalkan China

Feri Sandria, CNBC Indonesia
14 March 2022 17:10
Anggota delegasi, yang dipimpin oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping, menghadiri pertemuan di Beijing, China (4/2/2022) (via REUTERS/SPUTNIK)
Foto: Anggota delegasi, yang dipimpin oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping, menghadiri pertemuan di Beijing, China (4/2/2022) (via REUTERS/SPUTNIK)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia mengatakan pada hari Minggu (13/3) kemarin bahwa mereka mengandalkan China untuk membantu negara tersebut menahan pukulan ekonomi akibat sanksi Barat, yang dikatakan telah membekukan hampir setengah dari cadangan emas dan mata uang asingnya.

"Kami memiliki sebagian dari cadangan emas dan valuta asing dalam mata uang China, yuan. Dan kami melihat tekanan yang diberikan oleh negara-negara Barat pada China untuk membatasi perdagangan timbal balik dengan China. Tentu saja, ada tekanan untuk membatasi akses ke cadangan itu," kata Menteri Keuangan Anton Siluanov, dilansir Reuters.

"Tetapi saya pikir kemitraan kami dengan China masih akan memungkinkan kami untuk mempertahankan kerja sama yang telah kami capai, dan tidak hanya mempertahankan, tetapi juga meningkatkannya di lingkungan di mana pasar Barat [menutup diri]."

Negara-negara Barat telah memberlakukan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya pada perusahaan dan sistem keuangan Rusia sejak menyerang Ukraina pada 24 Februari atau yang menurut pihak Moskow disebut sebagai "operasi militer khusus."

Komentar Siluanov dalam sebuah wawancara TV menandai pernyataan paling jelas dari Moskow bahwa mereka akan mencari bantuan dari China untuk meredam dampak negatif dari sanksi ekonomi yang secara luas dikenakan oleh banyak negara.

Kedua negara telah mempererat kerja sama dalam beberapa waktu terakhir karena sama-sama di bawah tekanan kuat Barat, khususnya terkait hak asasi manusia - tuduhan genosida etnis Uyghurs dan kamp pendidikan ulang Xinjiang - serta sejumlah masalah lainnya.

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping bertemu di Beijing pada 4 Februari dan mengumumkan kemitraan strategis yang mereka katakan bertujuan untuk melawan pengaruh Amerika Serikat, menggambarkannya sebagai persahabatan tanpa batas.

Sanksi terhadap cadangan devisa Rusia menjadi salah satu tindakan yang memberikan pukulan paling berat bagi ekonomi Rusia secara luas.

Sebulan yang lalu, Siluanov mengatakan Rusia akan mampu menahan sanksi berkat cadangan yang melimpah dan bahkan mempertimbangkan untuk menawarkan Eurobonds kepada investor asing begitu volatilitas pasar mereda.

Pada hari Minggu dia mengatakan sanksi telah membekukan sekitar US$ 300 miliar dari US$ 640 miliar yang dimiliki Rusia dalam cadangan emas dan valasnya.

Bank sentral Rusia menerbitkan data tentang struktur cadangan devisa Rusia dengan jeda setidaknya enam bulan. Terbaru, pada Juni 2021, euro berkontribusi atas 32,3% kepemilikan valas Rusia, dolar AS 16,4% turun drastis dari 45% pada 2013 sebelum aneksasi krimea, renminbi 13,1%, poundsterling 6,5%, mata uang lain 10%, dan emas 21,7%.

Berdasarkan negara pemegang cadev bank sentral Rusia, China memimpin dengan menggenggam 14,2%, terbesar dari negara lain, dengan Jepang memegang 12,3% dan Jerman 11,8%.

Siluanov juga mengatakan Rusia akan memenuhi kewajiban utang negaranya dan akan membayar dengan mata uang rubel kepada pemegang utangnya sampai cadangan negara dicairkan.

Moskow dijadwalkan untuk melakukan pembayaran bunga senilai US$ 117 juta atau setara dengan Rp 1,68 triliun (Rp 14.350/US$) Rabu ini pada dua obligasi berdenominasi dolar, menurut keterangan JPMorgan. Namun kontrak obligasi tidak memberikan Rusia pilihan untuk membayar dalam rubel.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(fsd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Dapat Untung dari Konflik Rusia-Ukraina, Kok Bisa Ya?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular