Dejavu The Fed & Serangan Rusia 2014, Dampaknya Ngeri Bagi RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia akhirnya menyerang Ukraina sejak Kamis kemarin. Hal ini menjadi dejavu, sebab Rusia pernah menyerang Ukraina di tahun 2014 lalu dan saat itu bank sentral Amerika Serikat (AS) sedang melakukan normalisasi kebijakan moneter.
Dua peristiwa tersebut terjadi lagi di tahun ini.
Direktur Pelaksana Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF), Kristalina Georgieva, mengatakan perang yang terjadi di Ukraina memberikan risiko yang signifikan ke kawasan tersebut dan ke perekonomian dunia.
IMF juga dikatakan saat ini masih terus menilai dampak yang ditimbulkan dari perang Rusia dan Ukraina. Ia juga mengatakan siap membantu Ukraina dan negara-negara yang terdampak dari perang tersebut, sebagaimana dilansir AFP, Kamis (24/2).
Indonesia meski jauh dari lokasi peperangan juga bisa terkena dampaknya, terutama akibat kenaikan harga komoditas energi. Minyak mentah jenis Brent melesat ke atas US$ 100/barel untuk pertama kalinya sejak tahun 2014.
Kenaikan harga minyak akan memberikan beban terhadap subsidi energi. Pada tahun ini anggaran subsidi energi dalam APBN 2022 sebesar Rp 134,02 triliun. Terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG Tabung 3 kg sebesar Rp 77,54 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 56,47 triliun.
"Ada konsekuensi beban subsidi energi," kata Ekonom Maybank, Myrdal Gunarto, kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/2/2022).
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, juga melihat efek yang sama terhadap APBN. Hanya saja diperkirakan tekanannya tidak akan begitu besar. Sebab Indonesia masih ekspor minyak dan gas, sehingga ketika ada kenaikan harga maka bisa berdampak positif terhadap penerimaan.
"Di nota keuangan APBN 2022 di sini pemerintah bikin simulasi, setiap kenaikan minyak mentah RI, naik 1 dolar AS per barel akan dongkrak penerimaan PPnBM dan PPh Migas Rp 3 triliun," jelasnya kepada CNBC Indonesia.
"Di sisi lain memang spending akan meningkat Rp 2,6 triliun. Tapi net-nya masih ada Rp 400 miliar efek surplus ke APBN," tambah Josua.
Tingginya harga komoditas, seperti batu bara hingga crude palm oil (CPO), juga akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan negara. Khususnya pada pos bea keluar dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
"Nah kenaikan harga komoditas ini menguntungkan kita, karena ekspor kita komoditas," pungkasnya.
Namun, efek tidak langsung yang ditimbulkan dari kenaikan harga minyak mentah bisa memberikan dampak yang lebih besar ke Indonesia.
Kenaikan harga minyak mentah, begitu juga dengan gas alam hingga batu bara berisiko memicu kenaikan inflasi yang saat ini sedang menjadi masalah di negara-negara Barat.
Di Amerika Serikat misalnya, inflasi di bulan Januari sebesar 7,5% tertinggi dalam 4 dekade terakhir, yang membuat The Fed (bank sentral AS) akan agresif menaikkan suku bunga.
Jika inflasi semakin tinggi, maka The Fed bisa semakin agresif dalam menaikkan suku bunga. Jika itu terjadi, maka dolar AS berisiko menguat tajam dan bisa memberikan dampak buruk ke rupiah.
Normalisasi kebijakan The Fed sebelumnya pernah terjadi pada tahun 2013 lalu. Kebetulan di tahun 2014, Rusia menyerang Ukraina hingga mencaplok wilayah Krimea. Saat itu dampaknya ke Indonesia sangat besar.
Peristiwa di 2022 ini menjadi dejavu nyaris satu dekade yang lalu, di mana The Fed menormalisasi kebijakan moneternya dan Rusia menyerang Ukraina.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Jeblok Ekonomi Bisa Merosot
(pap/pap)