Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia baru saja memulai invasinya ke Ukraina. Atas perintah Presiden Vladimir Putin, militer Rusia mulai memborbardir Ukraina. Ledakan dilaporkan terjadi di beberapa wilayah, termasuk ibu kota Kyiv.
"Saya telah membuat keputusan operasi militer," kata Putin dalam pernyataan mengejutkan di televisi sesaat sebelum pukul 6.00 pagi waktu setempat.
Putin mengumumkan operasi militer tersebut demi membela separatis di wilayah timur Ukraina, yakni Donestk dan Luhansk. Di awal pekan ini, Putin sudah mengakui kemerdekaan kedua wilayah tersebut, dan menempatkan pasukannya di sana untuk "menjaga perdamaian "
Akibat aksinya tersebut, Amerika Serikat (AS) dan Negara-Negara Barat memberikan sanksi ekonomi ke Negeri Beruang Merah. Tetapi, Putin sepertinya tidak gentar, dan justru benar-benar melakukan invasi pada hari ini.
AS dan sekutu jauh-jauh hari sebenarnya sudah memperingatkan akan potensi invasi tersebut.
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, bahkan mengatakan Rusia sedang merencanakan perang dahsyat di Eropa.
"Bukti menunjukkan Rusia merencanakan perang di Eropa dan akan akan menjadi yang terbesar sejak 1945," kata Johnson dalam wawancaranya dengan BBC, Minggu (20/2).
"Semua tanda menunjukkan rencana tersebut sudah dimulai. Intelijen menunjukkan Rusia akan menginvasi dan mengepung ibu kota Kyiv," tambah Johson.
Langkah invasi yang dilakukan Putin memberikan dampak yang besar di segala aspek, termasuk ke pasar finansial hingga ke perekonomian global.
Bursa saham global langsung rontok, aset aman (safe haven) seperti emas melesat naik, begitu juga dengan minyak mentah.
Harga minyak mentah meroket nyaris 7%. Minyak jenis Brent bahkan menembus level US$ 100/barel untuk pertama kalinya sejak tahun 2014. Meroketnya harga minyak mentah berisiko mendorong kenaikan inflasi.
Seperti diketahui, Amerika Serikat dan Eropa kini sedang menghadapi masalah inflasi yang tinggi. Di AS misalnya, inflasi di bulan Januari sebesar 7,5% tertinggi dalam 4 dekade terakhir, yang membuat The Fed (bank sentral AS) akan agresif menaikkan suku bunga.
Perang yang dilakukan Putin pun membuat situasi bagi bank sentral semakin rumit, sebab inflasi bisa semakin tinggi lagi.
Ahli strategi pasar JP Morgan Aset Management, Hugh Gimber, mengatakan konflik di Ukraina akan lebih memberikan tekanan bagi bank sentral, dan risiko kesalahan mengambil kebijakan menjadi semakin besar.
"Kita tahu, memasuki tahun 2022 bank sentral menghadapi situasi yang sulit untuk bisa mengambil kebijakan yang seimbang. Terlalu cepat menaikkan suku bunga akan berdampak pelambatan ekonomi yang dalam, sebaliknya terlalu lambat menaikkan suku bunga inflasi dalam jangka menengah bisa lepas kendali," kata Gimber kepada CNBC International, Selasa (22/2).
Gimber menambahkan invasi yang dilakukan Rusia bisa membuat bank sentral semakin pusing, sebab harga energi akan terus naik dan mendorong inflasi. Menurutnya, bank sentral akan lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada secara agresif menaikkan suku bunga guna melandaikan inflasi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Dampaknya Bagi Indonesia
Invasi yang dilakukan Rusia tentunya akan berdampak secara global. Dana Moneter International (IMF) sebelumnya menurukan proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini menjadi 4,4%, salah satu pertimbangannya adalah risiko geopolitik.
Indonesia juga akan terkena dampaknya, tetapi menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, tidak akan signifikan. BI juga masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,75% - 5,5% di tahun ini.
Menurut Perry, proyeksi tersebut sudah memperhitungkan risiko geopolitik, serta penyebaran virus corona varian Omicron.
Sementara itu untuk kebijakan moneter, Perry mengatakan tidak akan ikut-ikutan menaikkan suku bunga mengikuti The Fed. Sebab, inflasi di Indonesia masih rendah sehingga belum dibutuhkan penyesuaian kenaikan bunga acuan.
Kondisi geopolitik yang panas antara Rusia dan Ukraina juga menurutnya belum memberikan dampak besar terhadap inflasi dalam negeri.
Selain itu, BI ingin menjaga suku bunga acuan rendah sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang dinilai belum normal akibat pandemi Covid-19.
"Kami tidak mau ikut-ikutan. Kenaikan FFR (suku bunga The Fed) tidak selalu diikutkan dengan kenaikan BI Rate," tegasnya dalam pertemuan dengan sejumlah Pemimpin Redaksi Media, Rabu (23/2/2022).
Kebijakan The Fed menaikkan bunga acuannya, ujar Perry, dilakukan sebagai bentuk normalisasi kebijakan moneter. The Fed menganggap kondisi ekonomi di AS sudah normal atau kembali ke level sebelum pandemi. Ini salah satunya ditandai dengan kenaikan laju inflasi yang tinggi. Sehingga penyesuaian suku bunga acuan perlu dilakukan.
Untuk Indonesia, normalisasi kebijakan moneter belum perlu dilakukan. Perry mengatakan, BI memprediksi kondisi ekonomi Indonesia akan normal kembali di kuartal III-2022.
"Namun baru betul-betul normalnya itu tahun depan. Ini dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
"Triwulan tiga kami mulai ancer-ancer, karena ingin respons di 2023 dan 2024. Kenapa suku bunga 3,5% akan kami pertahankan? Sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental dalam setahun dua tahun ke depan," imbuhnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Stabilitas Rupiah dan Inflasi Jadi Kunci
Selama nilai tukar rupiah stabil dan inflasi masih rendah BI sepertinya masih belum akan menaikkan suku bunganya. Apalagi, sejauh ini meski The Fed akan menaikkan suku bunga bulan depan, pasar obligasi dan saham Indonesia tetap mengalami capital inflow.
Rupiah memang cukup kuat di bulan ini. Bahkan dengan perang yang terjadi pada hari ini, pelem ahan rupiah tidak terlalu besar.
"Nilai tukar stabil dan cenderung menguat karena fundamental bagus, current account bagus, dan neraca perdagangan surplus. Investor asing mulai membeli SBN (surat berharga negara) yang membuat supply atau pasokan dolar AS di dalam negeri bertambah dan rupiah stabil," jelas Perry dalam pertemuan dengan sejumlah Pemimpin Redaksi Media, Rabu (23/2/2022).
Perry bahkan mengatakan, BI tidak melakukan intervensi terhadap penguatan dan kestabilan nilai tukar rupiah belakangan ini. Menurutnya, pergerakan rupiah tersebut sesuai dengan mekanisme pasar saja.
Aliran modal memang sedang deras masuk pasar SBN. Di pasar obligasi sekunder juga terjadi hal yang sama. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan ini hingga 18 Februari aliran modal asing masuk ke pasar obligasi cukup besar, hampir Rp 14,5 triliun.
Capital inflow tersebut sekaligus membalikkan outflow sekitar Rp 4 triliun yang terjadi pada bulan Januari lalu. Dengan demikian sepanjang tahun ini (year-to-date) hingga 18 Februari lalu terjadi inflow lebih dari Rp 10 triliun di pasar obligasi.
Sementara itu dari pasar saham, investor asing hari ini tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) senilai Rp 821 miliar di pasar reguler. Ditambah pasar nego dan tunai totalnya menjadi Rp 881 miliar. Sebelumnya net buy juga tercatat sekitar Rp 2,3 triliun dalam 3 hari di pekan ini, dan dalam 2 minggu sebelumnya Rp 10 triliun.
Namun, situasi tersebut tentunya bisa berubah jika nilai tukar rupiah mengalami gejolak yang hebat, dan inflasi akhirnya menanjak akibat kenaikan harga minyak mentah.
Meski demikian untuk saat ini situasi di dalam negeri masih mendukung untuk menjaga kebijakan moneter tetap longgar.
TIM RISET CNBC INDONESIA