Sederet Skandal Asuransi RI, dari Jiwasraya Hingga Unit Link

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan terdapat sejumlah masalah yang dialami oleh industri asuransi di dalam negeri. Tiga isu utamanya adalah operasional, pengelolaan investasi, serta produk dan distribusi.
Dalam bahan paparan yang disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Riswinandi saat ini manajemen perusahaan masih belum optimal dan pengawasan internal dan aktuaris tidak optimal.
Selain itu manajemen perusahaan belum sepenuhnya independen dalam menempatkan investasi di perusahaan yang terafiiasi.
Masalah lainnya adalah penempatan produk yang tidak disesuaikan dengan profil risiko yang dimiliki oleh masing-masing nasabah.
Karena kurang baiknya pengelolaan ini, industri asuransi dalam negeri sempat mengalami masalah seperti yang dialami oleh empat perusahaan berikut.
1. AJB Bumiputera 1912
OJK menyebutkan nilai utang klaim perusahaan ini mencapai Rp 8,4 triliun dari sebanyak 494.178 pemegang polis. Ini merupakan berdasarkan data terbaru yang dimiliki otoritas.
Di sisi lain, dilihat dari indikator kesehatan perusahaan asuransi pada umumnya, Bumiputera jauh di bawah syarat. Hal ini terlihat dari rasio kecukupan investasi yang mencapai 12%, jauh dari yang seharusnya 100%.
Sedangkan, rasio likuiditas sebesar 16% dari yang harusnya minimal 100%. Sedangkan, risk based capital (RBC) Bumiputera tercatat mencapai minus 1.164,77 persen per Desember 2021.
OJK telah memberikan perusahaan untuk mencari jalan untuk menyelesaikan kewajiban klaimnya dengan tenggat waktu pada 23 Desember 2021, namun masih belum tuntas. Perusahaan juga sudah dikenakan sanksi peringatan SP 1 kepada perusahaan terkait utang klaim tersebut dan saat ini OJK sedang dalam proses untuk peningkatan sanksi administratif.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Riswinandi mengatakan izin usaha dari perusahaan ini bisa dicabut jika perusahaan tidak kunjung melakukan perbaikan.
Regulator sebetulnya telah memberikan diskresi terhadap manajemen dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kondisi perusahaan.
"Kita kasih diskresi kasih kesempatan mereka untuk bekerja dan kelihatanya kita akan lakukan pembatalan. Sehingga, kalau dibatalkan mereka tidak dapat memenuhi, tentu ujungnya sesuai dengan pengawasan yang paling konservatif, tidak dapat dilanjutkannya usaha ini," kata Riswinandi, dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI, DPR RI pekan lalu.
Dalam proses penyelesaian ini Badan Perwakilan Anggota (BPA) yang baru hingga saat ini belum terbentuk karena adanya sengketa dari perwakila masing-masing daerah.
Saat ini BPA di AJB masih kosong. Padahal peran BPA ini adalah sebagai perwakilan dari pemegang polis yang nantinya akan berperan untuk menentukan kebijakan perusahaan.
"Mereka sudah bekerja dan udah menetapkan sembilan calon BPA dari 11 daerah. Tapi dua daerah ini masih bentruran, Sumbagsel dan DKI-Banten. Belum ada kesepakatan dari dua BPA," terang dia.
Padahal BPA ini yang akan menjadi representasi dari para pemegang polis untuk menetapkan dan menentukan pokok-pokok kebijaksanaan perusahaan.