Omicron 'Bobol' Indonesia, Rupiah Kena Getahnya...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 December 2021 07:12
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarna, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat tipis sepanjang pekan ini. Mata uang Tanah Air mengawali pekan dengan apik, baru terpeleset jelang akhir finis.

Kemarin, US$ 1 setara dengan Rp 14.365 kala penutupan perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,17% dari hari sebelumnya.

Dengan demikian, rupiah membukukan penguatan 0,03% selama minggu ini secara point-to-point. Rupiah menguat dua pekan beruntun, karena minggu lalu mencatatkan apresiasi 0,17%.

Mengawali pekan ini, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,21%. Hari berikutnya mata uang Ibu Pertiwi terapresiasi 0,07%.

Hari ketiga, langkah rupiah mulai limbung. Kala itu, rupiah berakhir stagnan, tidak melemah tetapi tidak menguat.

Pada hari keempat, rupiah benar-benar melemah dengan depresiasi 0,07%. Akhirnya, kemarin pelemahan rupiah pun berlanjut.

Halaman Selanjutnya --> The Fed Naikkan 'Dosis' Tapering

Setidaknya ada dua faktor yang membuat rupiah mengendur. Pertama adalah respons pasar atas keputusan bank sentral AS.

Pada Kamis dini hari, Komite Pembuat Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan 0-0,25%. Namun dalam hal program pembelian surat berharga (quantitative easing), ada perubahan.

Selama pandemi virus corona, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega memborong surat berharga di pasar senilai US$ 120 miliar per bulan. Gelontoran likuiditas itu diharapkan mampu menjadi 'pelumas' buat 'mesin' perekonomian.

Kini pandemi di Negeri Paman Sam sudah lebih terkendali. Kasus positif harian mencapai puncak pada 28 Agustus 2021, mencapai 321.208 orang dalam sehari.

Pada 16 Desember 2021, kasus positif harian tercatat 135.470 orang. Jadi dari titik puncak sudah terjadi penurunan 57,82%.

Ini membuat pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden berani mengendurkan pembatasan sosial (social distancing). Aktivitas dan mobilitas masyarakat meningkat, yang otomatis mendongrak pertumbuhan ekonomi.

Ekonomi AS yang sempat mengalami resesi (pertumbuhan negatif atau kontraksi dua kuartal beruntun) kini sudah kembali positif. Pada kuartal II-2021, ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 4,89% dari periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy).

Seiring ekonomi yang bergerak cepat, permintaan pun melesat. Sayangnya, permintaan yang tinggi belum bisa diimbangi oleh kemampuan dunia usaha dalam menyediakan barang dan jasa. Akibatnya, inflasi pun melonjak.

Pada Oktober 2021, laju inflasi AS mencapai 6,5% yoy. Ini adalah yang tertinggi sejak 1982.

Merasa ekonomi sudah mulai bangkit, The Fed pun mengurangi quantitative easing. Kebijakan pengurangan quantitative easing ini akrab disebut tapering off.

Sejak bulan lalu, nilai tapering adalah US$ 15 miliar per bulan. Namun pekan ini The Fed mengumumkan bahwa mulai Januari 2022 'dosis' tapering akan ditambah menjadi US$ 30 miliar per bulan. Dengan demikian, program quantitative easing akan selesai dalam tiga bulan.

Quantitative easing selama ini membuat likuiditas melimpah. Istilahnya, ada 'hujan duit' yang merembes hingga ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Kini 'hujan duit' itu mulai berkurang, dan bahkan bisa sepenuhnya reda dalam tiga bulan ke depan. Jadi aliran modal asing ke pasar keuangan negara-negara berkembang tidak akan sederas dulu, yang tentu akan mempengaruhi stabilitas rupiah.

Saat tapering selesai, selanjutnya The Fed tentu akan mulai memikirkan kenaikan suku bunga acuan. Apalagi kalau inflasi Negeri Stars and Stripes terus-terusan tinggi, kebutuhan untuk menaikkan suku bunga atas nama pengendalian inflasi menjadi lebih mendesak.

Saat suku bunga AS naik, pasar keuangan Negeri Adidaya akan semakin menarik. Arus modal akan berkerumun di sana dan negara-negara lain hanya kebagian 'remah rengginang'. Lagi-lagi ini menjadi risiko besar buat rupiah.

Halaman Selanjutnya --> Corona Omicron 'Bobol' Indonesia

Faktor kedua yang menjadi tekanan bagi rupiah adalah kehadiran virus corona varian omicron di Nusantara. Pada Kamis lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan sudah ada pasien positif omicron yaitu tenaga kebersihan di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RDSC) Wisma Atlet.

Varian omicron kali pertama terdeteksi di Afrika Selatan dan kini sudah menyebar ke lebih dari 70 negara, termasuk Indonesia. Meski sejauh ini varian omicron hanya menyebabkan gejala ringan, tetapi penyebarannya sangat cepat.

Gara-gara varian omicron, berbagai negara mengalami lonjakan kasus positif harian. Di Inggris, varian omicron bertanggung jawab atas 60% kasus positif harian di ibu kota London.

Varian omicron datang pada saat yang tidak tepat, yaitu jelang akhir tahun. Semestinya ini adalah periode 'hura-hura', masyarakat meningkatkan mobilitas untuk berlibur. Apalagi ketika Idul Fitri lalu ada larangan mudik, akhir tahun bisa menjadi ajang 'balas dendam'.

Namun varian omicron membuat peta permainan berubah. Ada kekhawatiran masyarakat kembali mengerem aktivitas di luar rumah. Jika ini terjadi, maka roda ekonomi akan sulit berputar sekencang yang diharapkan.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun bergerak cepat untuk meredam penyebaran varian omicron. Pemerintah kembali memperketat pintu masuk bagi para pendatang dari luar negeri. Pemerintah juga akan memperketat protokol perjalan domestik pada musim liburan Hari Natal-Tahu Baru.

Well, ini artinya prospek kebangkitan ekonomi Ibu Pertiwi bisa tertahan. Ketidakpastian ini membuat investor (terutama asing) ragu dan keluar dari pasar keuangan Indonesia. Tidak heran rupiah pun 'goyah'.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular