
Omicron 'Bobol' Indonesia, Rupiah Kena Getahnya...

Setidaknya ada dua faktor yang membuat rupiah mengendur. Pertama adalah respons pasar atas keputusan bank sentral AS.
Pada Kamis dini hari, Komite Pembuat Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan 0-0,25%. Namun dalam hal program pembelian surat berharga (quantitative easing), ada perubahan.
Selama pandemi virus corona, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega memborong surat berharga di pasar senilai US$ 120 miliar per bulan. Gelontoran likuiditas itu diharapkan mampu menjadi 'pelumas' buat 'mesin' perekonomian.
Kini pandemi di Negeri Paman Sam sudah lebih terkendali. Kasus positif harian mencapai puncak pada 28 Agustus 2021, mencapai 321.208 orang dalam sehari.
Pada 16 Desember 2021, kasus positif harian tercatat 135.470 orang. Jadi dari titik puncak sudah terjadi penurunan 57,82%.
Ini membuat pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden berani mengendurkan pembatasan sosial (social distancing). Aktivitas dan mobilitas masyarakat meningkat, yang otomatis mendongrak pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi AS yang sempat mengalami resesi (pertumbuhan negatif atau kontraksi dua kuartal beruntun) kini sudah kembali positif. Pada kuartal II-2021, ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 4,89% dari periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy).
Seiring ekonomi yang bergerak cepat, permintaan pun melesat. Sayangnya, permintaan yang tinggi belum bisa diimbangi oleh kemampuan dunia usaha dalam menyediakan barang dan jasa. Akibatnya, inflasi pun melonjak.
Pada Oktober 2021, laju inflasi AS mencapai 6,5% yoy. Ini adalah yang tertinggi sejak 1982.
Merasa ekonomi sudah mulai bangkit, The Fed pun mengurangi quantitative easing. Kebijakan pengurangan quantitative easing ini akrab disebut tapering off.
Sejak bulan lalu, nilai tapering adalah US$ 15 miliar per bulan. Namun pekan ini The Fed mengumumkan bahwa mulai Januari 2022 'dosis' tapering akan ditambah menjadi US$ 30 miliar per bulan. Dengan demikian, program quantitative easing akan selesai dalam tiga bulan.
Quantitative easing selama ini membuat likuiditas melimpah. Istilahnya, ada 'hujan duit' yang merembes hingga ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kini 'hujan duit' itu mulai berkurang, dan bahkan bisa sepenuhnya reda dalam tiga bulan ke depan. Jadi aliran modal asing ke pasar keuangan negara-negara berkembang tidak akan sederas dulu, yang tentu akan mempengaruhi stabilitas rupiah.
Saat tapering selesai, selanjutnya The Fed tentu akan mulai memikirkan kenaikan suku bunga acuan. Apalagi kalau inflasi Negeri Stars and Stripes terus-terusan tinggi, kebutuhan untuk menaikkan suku bunga atas nama pengendalian inflasi menjadi lebih mendesak.
Saat suku bunga AS naik, pasar keuangan Negeri Adidaya akan semakin menarik. Arus modal akan berkerumun di sana dan negara-negara lain hanya kebagian 'remah rengginang'. Lagi-lagi ini menjadi risiko besar buat rupiah.
Halaman Selanjutnya --> Corona Omicron 'Bobol' Indonesia
(aji/aji)