Newsletter

Inflasi AS Nyaris 7%, Bagaimana IHSG Hari Ini?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
13 December 2021 06:18
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri terpantau beragam pada pekan lalu. Di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah terpantau menguat, sedangkan harga surat berharga negara (SBN) atau obligasi pemerintah terpantau melemah.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat 1,75% secara point-to-point pada pekan lalu. Pada perdagangan Jumat (10/11/2021), IHSG ditutup menguat 0,14% ke level 6.652,92.

Nilai transaksi pada pekan lalu tercatat mencapai Rp 75,4 triliun. Investor asing masih melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 1,3 triliun pada pekan lalu.

Tetapi di pasar tunai dan negosiasi, asing tercatat membeli bersih (net buy) sebesar Rp 5,4 triliun. Sehingga jika ditotal, maka asing melakukan net buy sebesar Rp 4,1 triliun sepanjang pekan lalu.

Sedangkan dari pasar mata uang dalam negeri, kinerja rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu juga terpantau cukup positif. Meskipun masih berada di kisaran level Rp 14.300.

Menurut data Refinitiv, rupiah menguat 0,17% ke posisi Rp 14.370/US$ secara point-to-point pada pekan lalu. Pada pekan sebelumnya, rupiah mencatatkan kinerja negatif, alias melemah dihadapan dolar AS.

Namun pada perdagangan akhir pekan lalu, rupiah tercatat melemah 0,14% dihadapan sang greenback (dolar AS).

Di pasar SBN, harga obligasi pemerintah RI mayoritas melemah atau mengalami kenaikan imbal hasil (yield) sepanjang pekan lalu. Mengacu pada data Refinitiv, hanya SBN bertenor 1, 10, dan 30 tahun yang mengalami penguatan harga dan penurunan yield-nya.

Yield SBN bertenor 1 tahun turun signifikan sebesar 12,1 basis poin (bp) ke level 3,247%. Sedangkan yield SBN berjatuh tempo 30 tahun turun 2,7 bp ke level 6,804%.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan obligasi acuan negara melemah 8,5 bp ke level 6,308% sepanjang pekan lalu.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Membaiknya pasar keuangan global salah satunya disebabkan oleh sentimen positif hasil penelitian awal dari produsen vaksin Pfizer/BioNTech yang menyebutkan bahwa dosis ketiga vaksin kerja sama mereka tampaknya mampu memberikan perlindungan yang kuat terhadap virus corona (Covid-19) varian Omicron. Sementara vaksin dua dosis awal mungkin tidak cukup untuk mencegah infeksi.

Sebelumnya, CEO Pfizer juga menyebutkan bahwa meski Omicron tampaknya lebih menular tetapi menyebabkan penyakit yang tidak terlalu parah, seperti varian Delta. Walaupun dia kembali menekankan bahwa lebih banyak pekerjaan perlu dilakukan untuk mengetahui dengan pasti.

Selanjutnya, kinerja positif IHSG dan rupiah pada pekan lalu juga didorong oleh kebijakan pemerintah yang batal menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 selama periode libur natal dan tahun baru (nataru) di semua daerah. Selain itu pemerintah juga mampu menekan angka kasus konfirmasi dan kematian Covid-19 harian.

Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) juga mengumumkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan November 2021 naik menjadi 118,5 dari bulan sebelumnya 113,4.

Khusus pasar saham dalam negeri, sepanjang bulan Desember, pasar saham dalam negeri sejatinya cenderung positif, karena juga dibantu oleh aktivitas window dressing yang mungkin akan dilakukan oleh manajer investasi untuk mempercantik portofolio yang dimiliki.

Jika melihat faktor musiman Desember yang salah satunya didorong oleh aktivitas window dressing, maka ada kecenderungan bahwa IHSG mencatatkan koreksi terbilang sangat minim.

Dalam 10 tahun terakhir, pada bulan Desember, kinerja bulanan IHSG konsisten positif dengan rerata imbal hasil 3,23%. Biasanya kenaikan IHSG juga akan dilanjutkan ke awal tahun berikutnya dan fenomena ini dinamai January Effect.

Saham-saham yang menjadi sasaran window dressing bulan Desember adalah saham blue chip yang nilai kapitalisasi pasarnya besar sehingga bobotnya terhadap indeks juga besar.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street pada perdagangan pekan lalu terpantau menghijau. Meskipun pasar kembali dikhawatirkan dari virus corona (Covid-19) varian Omicron dan kembali tingginya inflasi di Negeri Paman Sam.

Secara point-to-point pada pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terbang 4,02%, S&P 500 melonjak 3,83%, dan Nasdaq Composite melesat 3,61%.

Pada Jumat (10/12/2021) pekan lalu, ketiga indeks utama di Wall Street tersebut juga ditutup menguat. Dow Jones menguat 0,6% ke level 35.970,988, S&P 500 melesat 0,96% ke 4.712,05, dan Nasdaq tumbuh 0,73% ke 15.630,60.

Meskipun sentimen negatif dari Omicron tak lagi menjadi kekhawatiran pasar di AS pada pekan lalu tetapi mereka tetap memantau perkembangan terbarunya.

Kabar baik seputar Covid-19 datang dari perusaahan produsen vaksin, yakni Pfizer dan BioNTech yang mengatakan bahwa data awal penelitian di lab mereka, tiga dosis vaksin buatan mereka mampu meredam Omicron secara efektif.

Dalam pengumuman Rabu (8/12/2021) lalu, Pfizer-BioNTech menyebutkan bahwa dosis ketiga vaksin kerja sama mereka tampaknya mampu memberikan perlindungan yang kuat terhadap varian omicron, sementara vaksin dua dosis awal mungkin tidak cukup untuk mencegah infeksi.

Temuan mereka, bersama dengan data dari studi laboratorium terpisah, mengkonfirmasi bahwa varian baru lebih terampil menghindari perlindungan kekebalan yang diberikan oleh vaksin yang ada daripada jenis sebelumnya, tetapi sejauh mana kemampuannya untuk melemahkan pertahanan tubuh masih belum diketahui pasti.

Sebenarnya, sebelum Pizer merilis keterangan terkait keampuhan vaksinnya, banyak investor yang sudah mengantisipasi bahwa varian baru akan dapat 'dijinakkan', sehingga optimisme pasar sudah terbentuk lebih dahulu sejak beberapa peneliti di Afrika Selatan mengatakan bahwa data awal penelitian Omicron menunjukan gejala yang lebih ringan dari varian lainnya, termasuk varian Delta.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada Rabu pekan lalu pun mengatakan bahwa varian Omicron dapat mengubah arah pandemi.

Hingga saat ini, para ilmuwan di seluruh dunia masih berusaha keras untuk menentukan seberapa menular dan mematikan Omicron serta seberapa efektif vaksin yang ada melawan varian tersebut.

Selain dari perkembangan dari kabar Omicron, optimisme pasar di AS juga terbentuk setelah data klaim pengangguran pada pekan yang berakhir 5 Desember 2021.

Pemerintah AS melaporkan bahwa pada pekan sebelumnya, hanya ada 184.000 pengangguran baru yang mengajukan tunjangan, atau lebih baik dari proyeksi ekonom dalam polling Dow Jones yang memprediksi angka 211.000.

Namun, optimisme pasar sempat memudar karena potensi meningginya inflasi Negeri Paman Sam pada November lalu. Mereka cenderung wait and see, terlihat dari pergerakan bursa saham global yang sempat terkoreksi pada Kamis (9/12/2021).

Tetapi pada perdagangan Jumat pekan lalu, bursa saham AS kembali diperdagangkan di zona hijau, meskipun inflasi di Negeri Paman Sam kembali melonjak pada bulan lalu.

Inflasi AS per November melejit hingga 6,8% (tahunan) atau melampaui proyeksi ekonomi dalam survey Dow Jones yang memperkirakan angka 6,7%, menjadi penguatan yang terbesar sejak Juni 1982. Inflasi bulanan tercatat 0,8%, juga lebih tinggi dari prediksi sebesar 0,7%.

"Angkanya menunjukkan posisi tertinggi dalam beberapa dekade, tetapi ia masih sejalan dengan ekspektasi. Sebenarnya bagus, karena pasar telah memfaktorkan itu di harga saham, terhitung kabar yang melegakan," tutur Ryan Detrick, Kepala Perencana Pasar LPL Financial kepada CNBC International.

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksi akan bereaksi terhadap lonjakan inflasi tersebut, dengan memangkas pembelian surat berharga di pasar dari US$ 120 miliar menjadi US$ 30 miliar. Jika itu terjadi, capital outflow dalam skala masif berpeluang terjadi.

Di tengah minimnya sentimen hari ini, pelaku pasar global bakal mencermati sentimen dari melonjaknya kembali inflasi di Amerika Serikat (AS) pada bulan November lalu.

Inflasi AS per November melejit hingga 6,8% (tahunan), atau melampaui proyeksi ekonomi dalam survey Dow Jones yang memperkirakan angka 6,7%, menjadi penguatan yang terbesar sejak Juni 1982. Inflasi bulanan tercatat 0,8%, juga lebih tinggi dari prediksi sebesar 0,7%.

Pasar akan memfokuskan perhatiannya ke rapat keputusan suku bunga acuan terbaru pada pekan ini, di mana bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkannya pada Rabu (15/12/2021) siang waktu AS atau Kamis (16/12/2021) dini hari WIB.

Konsensus ekonom yang dihimpun Tradingeconomics memprediksi The Fed masih akan kembali menahan tingkat suku bunga di level 0,25% pada bulan ini.

Tingginya inflasi serta perekonomian yang kuat membuat The Fed mempertimbangkan untuk mempercepat tapering atau nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini senilai US$ 15 miliar setiap bulan.

Nilai QE bank sentral paling powerful di dunia ini sebesar US$ 120 miliar, dan tapering sudah mulai dilakukan pada November lalu. Artinya, hingga QE menjadi nol diperlukan waktu selama 8 bulan.

The Fed diperkirakan akan meningkatkan tapering hingga menjadi US$ 30 miliar per bulan, sehingga QE akan menjadi nol dalam waktu 4 sampai 5 bulan. Selain itu, The Fed juga diprediksi akan memberikan indikasi agresif menaikkan suku bunga di tahun depan.

Untuk saat ini, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga dua hingga tiga kali di tahun depan.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 42,4% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (0,25%) menjadi 0,25% - 0,5% pada Juni 2022.

Kemudian, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga lagi pada bulan September dan Desember 2022, masing-masing sebesar 25 basis poin.

Selanjutnya, pasar global juga akan memantau beragam rilis data ekonomi di berbagai dunia, terutama di Asia, terkhusus China dan Eropa.

Dari China, data produksi industri dan penjualan eceran per November pada Rabu (15/12/2021). Produksi industri China diramal akan naik menjadi 3,8%, dari bulan sebelumnya 3,5%. Sementara, data pertumbuhan penjualan eceran China diprediksi akan tetap di level 4,9%.

Sementara di Eropa, akan ada rilis data tingkat pengangguran Inggris per Oktober pada Selasa (14/12/2021). Analis memperkirakan tingkat pengangguran Britania akan turun menjadi 4,2%, dari bulan sebelumnya 4,3%. Apabila kembali turun, itu berarti tingkat pengangguran di Britania akan turun selama 5 bulan beruntun.

Pada hari selanjutnya, Rabu (15/12/2021), Inggris juga akan merilis data tingkat inflasi per November, yang diprediksi akan naik menjadi 4,7% secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan posisi bulan sebelumnya sebesar 4,2% yang merupakan tertinggi sejak Desember 2011.

Selain beberapa data ekonomi China dan Inggris, pasar juga akan memantau data Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) periode November 2021 yang akan dirilis di beberapa negara, seperti Prancis, Jerman, Britania Raya, hingga AS.

Sementara itu dari dalam negeri, selain terus menyimak perkembangan kabar soal galur Covid-19 Omicron, investor juga akan memperhatikan sejumlah rilis data ekonomi, di mana bakal ada 3 data utama yang bakal dipublikasikan pada pekan ini.

Pertama, Bank Indonesia (BI) akan merilis data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) edisi Desember pada Selasa (14/12/2021).

Sebelumnya, dalam rilis pada 15 November 2021, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan III 2021 tercatat sebesar 423,1 miliar dolar AS atau tumbuh 3,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 2,0% (yoy). Perkembangan tersebut disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan ULN sektor publik dan sektor swasta.

"ULN Indonesia pada triwulan III 2021 tetap terkendali, tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga di kisaran 37,0%, menurun dibandingkan dengan rasio pada triwulan sebelumnya sebesar 37,5%," jelas BI dalam rilis pers.

Kedua, pada Rabu (15/12), Badan Pusat Statistik (BPS) akan menerbitkan data neraca dagang alias perkembangan ekspor-impor Indonesia per November 2021.

Konsensus ekonom yang dihimpun Tradingeconomics memprediksi, neraca dagang Indonesia akan kembali surplus menjadi sebesar US$ 4,34 miliar per November 2021, dari bulan sebelumnya surplus US$ 5,73 miliar.

Ketiga, pada Kamis (16/12/2021), akan ada keputusan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI edisi Desember mengenai tingkat suku bunga. Ekonom yang disurvei Tradingeconomics meramal, BI akan kembali mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 3,5%. Hingga November lalu, BI berarti sudah menahan suku bunga di level 3,5% selama 9 bulan beruntun.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1.       Rilis data Index Tankan produsen Jepang periode kuartal IV-2021 (06:50 WIB),
  2.       Rilis data Index Tankan manufaktur Jepang periode kuartal IV-2021 (06:50 WIB),
  3.       Rilis data Index Tankan non-manufaktur Jepang periode kuartal IV-2021 (06:50 WIB),
  4.       Penawaran Umum Perdana (IPO) PT Wahana Inti Makmur Tbk.
  5.       Rilis data Inflasi Konsumen Harapan Amerika Serikat periode November 2021 (23:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51%

Inflasi (November 2021, YoY)

1,75%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (November 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

5,82% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021)

1,5% PDB

Cadangan Devisa (November 2021)

US$ 145,9 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular