Corona Omicron Tebar Ancaman, Saatnya Masuk ke Saham Farmasi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 November 2021 16:50
Virus Outbreak US Testing
Foto: REUTERS/Jon Nazca

Jakarta, CNBC Indonesia - Virus corona varian B.1.1.529 atau yang disebut Omicron mulai menebar ancaman sejak Jumat (26/11). Omicron dikatakan lebih mudah menyebar ketimbang varian delta, dan pertama kali ditemukan di Afrika Selatan. Kini, Omicron sudah menyebar ke beberapa negara, termasuk di Eropa dan Asia.

Alhasil bursa saham global rontok sejak Jumat pekan lalu. Bursa saham Eropa yang paling parah, sebab Benua Biru sedang mengalami lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19). Indek FTSE 100 Inggris merosot 3,6$, kemudian DAX Jerman, CAC Prancis, hingga FTSE MIB Italia ambrol lebih dari 4%, mencatat hari terburuk sejak Juni 2020.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) juga tidak lepas dari aksi jual. Indeks Dow Jones tercatat jeblok hingga 2,5%, menjadi penurunan paling parah sepanjang tahun ini. Indeks S&P 500 dan Nasdaq juga merost lebih dari 2%.

Bursa saham Asia juga senasib, dan masih berlanjut pada perdagangan hari ini, Senin (29/11), meski tidak separah Jumat lalu. Indeks Nikkei Jepang hari ini merosot 1,6% sementara Jumat lalu lebih dari 2,5%. Hang Seng Hong Kong turun 12%, Shanghai Composite melemah 0,12%. Penurunan Shanghai Composite sejak Jumat lalu memang tidak besar seperti bursa saham Asia lainnya.

Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru sukses menguat 0,7% setelah sempat anjlok lebih dari 1% di awal perdagangan.

Meski bursa saham berguguran, tetapi saham sektor farmasi justru menguat. Di Amerika Serikat, saham-saham farmasi memimpin penguatan. Apalagi setelah mengumumkan langkah cepat untuk menghadapi Omicron.

Saham Moderna misalnya, melesat lebih dari 20% pada perdagangan Jumat setelah mengatakan akan melakukan uji coba tiga vaksin booster untuk melawan Omicron, dan akan mengembangkan booster yang spesifik untuk melawannya.

Kemudian Pfizer juga menguat 6,1% setelah mengatakan bisa memodifikasi vaksin mereka secepat mungkin jika diperlukan untuk melawan Omicron. Pfizer mengatakan akan mendapat lebih banyak data mengenai Omicron dalam dua pekan, dan bisa memodifikasi vaksin mRNA mereka dalam waktu 6 pekan dan siap didistribusikan dalam waktu 100 hari.

"Masuk akal jika melihat saham seperti Pfizer menguat dalam kondisi saat ini," kata Jim Cramer dari CNBC International dalam Squawk on the Street, sebagaimana diwartakan CNBC International, Jumat (26/11).

Meski demikian, ia juga tidak merekomendasikan untuk melalukan aksi beli sampai ada kejelasan penyebaran Omicron, sekaligus menegaskan untuk tidak perlu panik.

"Ketika saya membaca ada satu kasus Omicron di Belgia dan satu di Bostwana, kita bisa saja melihat ada kasus juga di negara ini (Amerika Serikat). Saya tidak akan merekomendasikan untuk membeli apapun hari ini sampai kita yakin itu tidak akan terjadi. Dan saya tidak bisa yakin itu tidak akan terjadi," kata Jim Cramer, dalam acara Squawk on the Street, sebagaimana diwartakan CNBC International, Jumat (26/11).

Hal yang sama terjadi di dalam negeri pada hari ini. Duo saham pelat merah PT Indofarma Tbk. (INAF) dan Tbk. PT Kimia Farma (KAEF) masing-masing melesat lebih dari 6%.
Sementara emiten produsen peralatan dan perlengkapan medis berteknologi tinggi (HiTech Healthcare Solutions), serta produk swab antigen test PT Itama Ranoraya Tbk. (IRRA) memimpin kenaikan dengan melonjak lebih dari 9%.

jkse

Secara umum saham sektor kesehatan yang termasuk di dalamnya emiten pengelola rumah sakit mencatat penguatan 1,17% hari ini.

Jika melihat ke belakang saat Indonesia mengalami lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19), indeks sektor kesehatan (IDXHEALTH) memang mencatat kenaikan tajam.

Jika dilihat sejak pertengahan Juni hingga pertengahan Juli, saat kasus Covid-19 mulai menanjak hingga mencatat rekor tertinggi, indeks sektor kesehatan melesat lebih dari 18%. Tetapi begitu kasus Covid-19 melandai, indeks ini juga ikut terkoreksi, bahkan turun cukup tajam nyaris kembali ke posisi pertengahan Juni. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Emas Kembali Menjadi Pilihan?

Seperti biasa, emas yang merupakan aset aman (safe haven) selalu dilirik pelaku pasar ketika terjadi gejolak di pasar finansial atau pelambatan ekonomi global. Pada Jumat pekan lalu, harga emas dunia sempat melesat kembali ke atas US$ 1.800/troy ons, tetapi akhirnya mengakhiri perdagangan di bawahnya.

"Pergerakan emas di hari Jumat menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan emas. Kekhawatiran akan virus corona Omicron akan mendorong kenaikan harga emas," kata Craig Erlam, analis pasar senior di OANDA, sebagaimana dilansir Kitco, Jumat (26/11).

xau

Para ekonom dan analis lainnya juga melihat Omicron akan membawa harga emas naik, tetapi jika virus baru tersebut berdampak pada aktivitas ekonomi dan arah kebijakan moneter.

Saat ini, tingginya inflasi membuat beberapa bank sentral, termasuk The Fed (bank sentral AS), mulai mengetatkan kebijakan moneternya. Hal tersebut yang membuat emas pada pekan lalu jeblok nyaris 3%.

Rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed minggu lalu menunjukkan banyak anggota dewan siap untuk mempercepat normalisasi jika inflasi terus tinggi, emas melemah tipis saja.

Pasca rilis notula tersebut, pelaku pasar kini melihat ada probabilitas The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan Juni 2022, lebih cepat dari sebelumnya semester II-2022. Selain itu, pasar juga melihat suku bunga akan dinaikkan sebanyak 3 kali.

Suku bunga merupakan salah satu "musuh" utama emas, ketika suku bunga di AS naik maka daya tarik emas sebagai aset tanpa imbal hasil akan menurun. Selain itu, opportunity cost berinvestasi emas juga akan mengalami peningkatan.

Inflasi yang tinggi menjadi alasan The Fed diperkirakan akan agresif menaikkan suku bunga, tetapi jika Omicron berdampak pada pelambatan ekonomi, dan The Fed akhirnya tidak agresif dalam menaikkan suku bunga, tentunya berpeluang mendongkrak harga emas.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular