Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham nasional sepekan ini anjlok, menyusul sentimen mayor dari bursa global menyusul penemuan varian baru virus Covid-19. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pekan ini drop 2,36% menjadi 6.561,553 dari posisi penutupan akhir pekan lalu di level 6.720,263. Penurunan terbesar terjadi pada hari terakhir perdagangan di mana IHSG ambles 2,06% dalam sehari.
Koreksi mingguan itu berbalik dari reli sepekan sebelumnya yang sebesar 1,04%. Tekanan tersebut juga membuat IHSG longsor melewati dua level psikologis, dari 6.700 menjadi 6.500, dan menghapus seluruh reli yang dikumpulkan sepanjang November.
Sebelumnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada perdagangan Jumat (19/11), setelah membukukan penguatan 2 pekan beruntun. Saat itu, harga obligasi (Surat Berharga Negara/SBN), juga mencatat penguatan, hanya rupiah yang stagnan di pekan ini.
Di pekan depan, beberapa faktor akan mempengaruhi pergerakan pasar finansial dalam negeri, salah satu yang paling penting adalah terkait informasi lebih lanjut serta perkembangan penyebaran varian baru Omicron serta efek tapering yang akan dilakukan oleh The Fed.
Sementara itu, nilai tukar rupiah sepanjang pekan ini konsisten melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah tingginya inflasi di Negara Adidaya di tengah program pengurangan pembelian obligasi (tapering off).
Mata Uang Garuda berada di level Rp 14.300 per dolar AS pada Jumat (27/11/2021), atau melemah dari posisi penutupan Kamis sebesar 0,22%. Sepanjang pekan, rupiah juga terhitung melemah, yakni sebesar 0,46% (65 poin). Sepekan sebelumnya, kurs rupiah juga melemah, sebesar 0,48%, ke Rp 14.233/dolar AS.
Pelemahan terjadi konsisten selama 5 hari beruntun sepekan ini, dengan posisi stagnan hanya pada Rabu tatkala dolar AS menguat berkat kabar positif dari data klaim tunjangan pengangguran sepekan di angka 199.000, atau terendah lebih dari 50 tahun. Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2021 juga direvisi naik menjadi 2,1%.
Akibatnya, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik menjadi 1,68% hari ini, dari posisi pekan lalu 1,55%. Kenaikan imbal hasil mengindikasikan penurunan harga di pasar karena aksi jual dan secara bersamaan membuat ekspektasi kupon obligasi lebih tinggi ke depan. Hal ini akan memicu aksi beli obligasi pemerintah AS sehingga dolar AS menguat.
Untuk pekan depan, dari dalam negeri akan minim sentimen. Tetapi yang bisa menjadi perhatian adalah kemungkinan diumumkannya diperbaharuinya pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Sebelum varian Omicron muncul, pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) di Indonesia relatif sudah sangat terkendali. Namun pemerintah tentu akan mengantisipasi kembali terjadinya lonjakan di akhir tahun ini, apalagi dengan sudah dekatnya libur Natal dan tahun Baru.
Pemerintah memang telah mengungkapkan akan melaksanakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 di seluruh Indonesia pada momen liburan Natal dan Tahun Baru. PPKM level 3 dijadwalkan mulai diberlakukan mulai dari tanggal 24 Desember 2021 hingga 2 Januari 2022.
Tapi investor tetap harus memperhatikan pengumuman selanjutnya dari pemerintah, khusunya apabila pemerintah memutuskan untuk menaikkan level PPKM. Terlebih lagi, pemerintah juga baru saja resmi melarangpelaku perjalanan dari Afrika Selatan. Visa kunjungan dan visa tinggal terbatas juga ditangguhkan sementara bagi warga negara Botswana, Namibia, Zimbabwe, Lesotho, Mozambique, Eswatini, dan Nigeria.
Sementara itu dari luar negeri sentimen cukup banyak. Yang pertama dari Eropa yang bergelut mengatasi lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19), apalagi setelah ditemukannya kasus varian baru di benua biru tersebut.
Padahal aktivitas bisnis di seluruh kawasan Uni Eropa baru saja mengalami kebangkitan, hal ini terlihat dari hasil survei dan data yang dikumpulkan oleh IHS Markit. Indikator awal Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) di wilayah tersebut diprediksi naik untuk pertama kalinya dalam empat bulan di bulan November, menjadi 55,8 dibandingkan dengan posisi terendah enam bulan pada Oktober lalu di 54,2.
Kedua adalah terkait potensi ancaman dari penyebaran varian baru yang memaksa berbagai negara mulai membatasi kunjungan luar negeri, meskipun sebagian besar negara saat ini masih membatasi kedatangan dari beberapa negara Afrika bagian Selatan, kecuali Israel yang resmi menutup perbatasannya untuk kedatangan dari negara mana pun.
Tiga negara besar di daratan Eropa yaitu Inggris, Jerman dan Italia menyebutkan telah menemukan kasus terkait Omicron pada hari Sabtu lalu. Selain itu ada juga Hong Kong dan Belgia yang melaporkan kasus terkait Omicron di masing-masing negara.
BioNTech juga mengatakan pada hari Jumat bahwa pihaknya mengharapkan lebih banyak data tentang varian virus corona baru yang mengkhawatirkan yang terdeteksi di Afrika Selatan dalam waktu dua minggu untuk membantu menentukan apakah vaksinnya yang diproduksi dengan mitra Pfizer Inc harus dikerjakan ulang.
Pfizer dan BioNTech mengatakan bahwa jika perlu mereka berharap dapat mengirimkan vaksin baru yang disesuaikan dengan varian yang muncul dalam waktu sekitar 100 hari.
Ketakutan akan ancaman gelombang baru dari varian Omicron mampu membuat bursa-bursa utama Asia rontok berjamaah, dengan depresiasi terbesar dialami indeks Hang Seng Hong Kong yang turun nyaris 3% pada perdagangan Jumat (26/11) lalu.
Sentimen ketiga adalah terkait percepatan tapering yang mungkin akan dilaksanakan oleh The Fed.
Awal bulan ini The Fed memang telah mengumumkan untuk melakukan pengurangan US$ 15 miliar setiap bulan atas pembelian surat utang, dari total sebelumnya mencapai US$ 120 miliar per bulan.
Terbaru, kekhawatiran tentang inflasi mendominasi pertemuan The Fed November, dengan beberapa pembuat kebijakan menyarankan bahwa bank sentral harus bergerak lebih cepat dalam mengurangi program pembelian obligasi untuk memberikan fleksibilitas untuk menaikkan suku bunga lebih cepat jika diperlukan, berdasarkan risalah hasil pertemuan.
Inflasi telah meningkat selama setahun terakhir, memberikan tantangan bagi The Fed, yang bertanggung jawab untuk mempertahankan harga yang stabil dan mendorong lapangan kerja maksimum.
Inflasi telah naik salah satunya karena gangguan rantai pasokan, melonjaknya permintaan barang dan kenaikan upah telah mendorong harga lebih tinggi; pembuat kebijakan mencatat bahwa kenaikan harga sewa dan energi juga berperan.
Data yang dirilis pada hari Rabu (24/11) menunjukkan bahwa harga naik pada laju tercepat dalam tiga dekade karena konsumen dihadapkan pada harga yang lebih tinggi untuk gas dan makanan.
Tekanan dari pembuat kebijakan yang meminta agar inflasi dapat terkontrol dikatakan analis Goldman Sachs dalam catatan harian pada hari Kamis (25/11) dapat menjadikan Federal Reserve AS kemungkinan akan menggandakan laju pengurangan pembelian obligasi bulanannya mulai Januari 2022 menjadi $30 miliar.
Meskipun kalender tapering dipercepat, Goldman mengharapkan The Fed mulai menaikkan suku bunga hanya dari Juni sebanyak tiga kali pada tahun 2022. Bank investasi AS adalah salah satu dari beberapa bank yang baru-baru ini menaikkan ekspektasi kenaikan suku bunga mereka untuk tahun 2022 menjadi tiga, dari semula dua.
Terakhir investor juga perlu mencermati perkembangan harga komoditas, khususnya batu bara, CPO dan minyak mentah.
Akhir pekan ini harga minyak AS jenis West Texas Intermediate (WTI) per barelnya juga anjlok US$ 10,24, atau 13,06%, menjadi US$ 68,15 pada Jumat (26/11) waktu AS dan merupakan salah satu penurunan tertajam sejak penutupan ekonomi global tahun lalu yang menyebabkan harga minyak berubah negatif untuk pertama kalinya di seluruh AS.
Harga minyak mentah Brent juga ikut turun US$ 9,50, atau 11,55%, menjadi US$ 72,72 per barel akibat dari kekhawatiran terhadap pasar tentang kemungkinan pembatasan perjalanan global akibat kemunculan varian baru.
Penurunan perjalanan dan potensi lockdown baru dapat menekan permintaan, tepat ketika pasokan akan meningkat.
OPEC+ sedang memantau perkembangan varian virus corona baru, sumber Reuters mengatakan pada hari Jumat, dengan beberapa menyatakan kekhawatiran bahwa hal itu dapat memperburuk prospek pasar minyak kurang dari seminggu sebelum pertemuan untuk menetapkan kebijakan.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, sudah menghadapi pelepasan stok minyak yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk mencoba menurunkan harga. Namun, sebuah sumber mengatakan Rusia, anggota utama OPEC+, belum khawatir tentang varian virus.
Sebelumnya, OPEC+ telah menolak seruan AS untuk berbuat lebih banyak untuk menurunkan harga minyak. Pertemuan minggu depan akan membahas output Januari.
Selanjutnya, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) anjlok 2,97% di pekan ini, setelah pekan lalu sempat mengalami kenaikan tipis. Meski demikian, sepanjang tahun ini harga CPO melesat lebih dari 30%.
Kontrak berjangka minyak sawit mentah (CPO) di Bursa Malaysia Derivatives diperkirakan akan diperdagangkan lebih rendah minggu depan di tengah kekhawatiran atas varian baru COVID-19 di Afrika Selatan yang mengurangi sentimen pasar.