IHSG Anjlok 2% Lebih, Ini Dia Biang Keladinya!

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
26 November 2021 16:36
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles lebih dari 2% pada penutupan perdagangan hari ini, Jumat (26/11/2021), di tengah besarnya aksi jual oleh investor asing dan adanya kekhawatiran memburuknya pandemi di tengah munculnya varian terbaru virus Covid-19 yang bisa mementahkan vaksin.

Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks acuan saham nasional tersebut ditutup anjlok 2,06%, meninggalkan level psikologis 6.600, ke posisi 6.561,55.

Hanya sebanyak 99 saham menguat, 476 saham melemah, dan 98 saham mendatar. Nilai transaksi mencapai Rp 16,28 triliun dan volume perdagangan 28,28 miliar.

Investor asing ramai-ramai keluar dari bursa domestik dengan catatan jual bersih Rp 196,08 miliar di pasar reguler dan Rp 64,77 miliar di pasar negosiasi dan pasar tunai.

Saham bank PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi yang paling banyak dilego asing dengan nilai jual bersih Rp 322,2 miliar sehingga membuat harga sahamnya drop 2,02%. Demikian pula saham e-commerce PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) juga dijual asing Rp 109,4 miliar dan membuat sahamnya anjlok 6,45%.

Trio saham bank pelat merah juga terkena aksi jual asing mencapai Rp 63,8 miliar. Saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) ambles 3,40% dengan nilai jual bersih Rp 81,0 miliar.

Kemudian, saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga merosot 4,18% di tengah aksi jual oleh asing Rp 78,1 miliar. Setali tiga uang, saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) juga dijual asing hingga mencapai Rp 70,3 miliar dan membuat saham BBRI turun 1,42%.

Lautan Merah Bursa Asia & Kontrak Berjangka Wall Street

Koreksi IHSG terjadi di tengah ambruknya mayoritas bursa di kawasan Asia. Sore ini, Indeks Nikkei Jepang memimpin dengan koreksi sebesar 2,53%, sementara Hang Seng Hong Kong drop 2,60%, KOSPI Korea Selatan drop 1,47%, indeks Strait Times Singapura ambles 2,02%. Tak ada bursa utama di Asia yang menguat.

Kontrak berjangka (futures) indeks bursa saham Amerika Serikat (AS) juga tertekan seiring kabar munculnya virus corona (Covid-19) varian terbaru dengan lonjakan mutasi, yakni B.1.1.529. Futures Dow Jones anjlok 2,09% sore ini, pukul 15.04 WIB. Kontrak berjangka Nasdaq juga minus 0,93% dan futures S&P 500 tergerus 1,70%.

Varian Covid-19 baru tersebut telah terdeteksi di Afrika Selatan dan bermutasi menjadi lebih resistensi melawan antibodi sehingga dikhawatirkan mengurangi efektivitas vaksin dan secara bersamaan lebih menular.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengatakan tengah meminta pertemuan darurat untuk memantau varian itu. Hal ini penting di tengah makin melonjaknya kasus Covid-19 di Eropa dan dunia yang memasuki musim liburan akhir tahun.

Selain itu, sentimen negatif lainnya juga datang dari rencana pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau tapering oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed).

Indikasi The Fed untuk menormalisasi kebijakan moneternya lebih cepat semakin menguat di pekan ini.

Sejak pekan lalu, beberapa pejabat elit The Fed menyuarakan untuk mempercepat laju tapering yang sudah dimulai bulan ini dan menaikkan suku bunga lebih awal guna meredam kenaikan inflasi yang berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.

Pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 80% The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan Juni 2022, lebih cepat dari sebelumnya semester II-2022.

Hal tersebut terlihat dari perangkat FedWatch milik CME Group, dimana ada probabilitas sebesar 19,5% saja The Fed mempertahankan suku bunga di 0% - 0,25%. Sementara probabilitas menaikkan suku bunga lebih dari 80%, yang dibagi menjadi beberapa basis poin kenaikan.

Namun, di dalam negeri juga ada sentimen yang rasanya mempengaruhi pasar. Kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan soal gugatan terhadap Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

UU Ciptaker, yang telah berlaku mulai November 2020, diputus inkonstitusional oleh MK dan mensyaratkan revisi dalam dua tahun ke depan. Meski demikian MK menegaskan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku secara konstitusional sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukannya.

MK juga menyatakan agar Pemerintah tidak menerbitkan peraturan baru yang bersifat strategis sampai dengan dilakukan perbaikan atas pembentukan UU Cipta Kerja.

Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menyebutkan putusan ini menimbulkan konsekuensi bagi para investor yang mana kebijakan dan aksi korporasi yang dilaksanakan saat ini bisa jadi ilegal setelah dua tahun, apabila pemerintah gagal melakukan perbaikan sesuai mandat dari MK.

"Sementara pemerintah diberikan waktu untuk memperbaiki (UU Cipta Kerja). Jika pun ada hanya terdapat sedikit preseden ketika suatu undang-undang dinyatakan inkonstitusional, tetapi diberlakukan secara sementara. Bagi investor, beragam aksi korporasi saat ini mungkin tidak sah setelah dua tahun, dalam skenario terburuk ketika Omnibus Law dibatalkan sepenuhnya," ujar Satria kepada CNBC Indonesia (25/11).

Sementara itu, ekonom Citibank Helmi Arman menyebutkan, putusan MK terkait UU Cipta Kerja dapat menjadi ancaman bagi prospek positif investasi.

Kepada CNBC Indonesia, Helmi menyebutkan bahwa tidak menutup kemungkinan beberapa keputusan investasi atau aksi korporasi bisa tertunda karena para ahli hukum masih membedah implikasi putusan pengadilan ini di sektornya masing-masing.

"Berdasarkan diskusi (Citibank) dengan pejabat pemerintah, pemahaman (Citibank) adalah bahwa semua peraturan teknis terkait omnibus law telah diterbitkan sebelum putusan pengadilan ini diumumkan. Namun putusan MK menghilangkan keleluasaan untuk merevisi peraturan tersebut jika diperlukan," ujar Helmi Arman kepada CNBC Indonesia.

Helmi juga menyoroti terkait batas waktu yang diberikan untuk mengubah undang-undang tersebut yang jatuh pada akhir tahun 2023, beberapa bulan sebelum pemilihan umum 2024. Ia menyebutkan masih belum diketahui apakah dalam proses revisi ini koalisi parlemen akan tetap fokus dan solid seperti ketika UU Cipta Kerja disahkan pada 2020 lalu serta seberapa besar ongkos politik yang dibutuhkan.

Helmi juga menunjukkan bahwa putusan pengadilan tersebut dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah dan parlemen terkait dengan penyusunan undang-undang di masa depan, misalnya RUU reformasi sektor keuangan yang akan dibahas pada tahun 2022.

"Namun di sisi lain pembahasan dan pengesahan RUU yang akan datang ini juga bisa melambat sebagai akibat (putusan MK terhadap UU Cipta Kerja)," tulis Helmi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular