Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia hari ini terkoreksi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah kompak melemah.
Pada Jumat (26/11/2021) pukul 11:20 WIB,IHSG berada di 6.603,63. Anjlok 1,43% dari posisi penutupan hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, rupiah melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Pada pukul 11:21 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.315 di mana mata uang Tanah Air terdepresiasi 0,35%.
Memang betul, hampir seluruh indeks saham dan mata uang utama Asia melemah. Sepertinya investor sangat cemas dengan perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang kembali ganas, terutama di Eropa.
Namun, di dalam negeri juga ada sentimen yang rasanya mempengaruhi pasar. Kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan soal gugatan terhadap Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
UU Ciptaker, yang telah berlaku mulai November 2020, diputus inkonstitusional oleh MK dan mensyaratkan revisi dalam dua tahun ke depan. Meski demikian MK menegaskan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku secara konstitusional sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukannya.
MK juga menyatakan agar Pemerintah tidak menerbitkan peraturan baru yang bersifat strategis sampai dengan dilakukan perbaikan atas pembentukan UU Cipta Kerja.
Berdasarkan catatan CNBC Indonesia, hingga Februari 2021 pemerintah telah menyelesaikan 51 peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja, dua di antaranya terkait Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Sedangkan 49 peraturan pelaksanaan lainnya terdiri dari 45 PP dan 4 Peraturan Presiden (Perpres) yang disusun bersama-sama oleh 20 kementerian/lembaga (K/L) sesuai klasternya masing-masing.
Putusan yang 'membingungkan' tersebut mendapatkan beragam tanggapan dari berbagai elemen mulai dari masyarakat sipil, kalangan buruh, pemerintah hingga pelaku bisnis dan investor.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pemerintah menghargai putusan MK dan akan mengikuti segala putusan yang disampaikan dan akan melakukan perbaikan UU sesuai dengan rekomendasi MK saat putusan ini.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut kalangan buruh mengapresiasi putusan MK tersebut dan mengatakan "masih ada keadilan yang bisa ditegakkan dalam proses perjuangan buruh dalam melawan oligarki partai politik di parlemen dan pemerintah untuk mengurangi hak buruh bahkan menghancurkan masa depan buruh."
Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menyebutkan putusan ini juga menimbulkan konsekuensi bagi para investor yang mana kebijakan dan aksi korporasi yang dilaksanakan saat ini bisa jadi ilegal setelah dua tahun, apabila pemerintah gagal melakukan perbaikan sesuai mandat dari MK.
"Sementara pemerintah diberikan waktu untuk memperbaiki (UU Cipta Kerja). Jika pun ada hanya terdapat sedikit preseden ketika suatu undang-undang dinyatakan inkonstitusional, tetapi diberlakukan secara sementara. Bagi investor, beragam aksi korporasi saat ini mungkin tidak sah setelah dua tahun, dalam skenario terburuk ketika Omnibus Law dibatalkan sepenuhnya," ujar Satria kepada CNBC Indonesia (25/11).
Undang-undang Cipta Kerja, yang disetujui pada akhir tahun 2020, oleh sebagian kalangan dianggap telah menjadi landasan reformasi struktural di Indonesia, khususnya terkait arus masuk investasi asing langsung dalam jangka menengah. Selain itu, UU Cipta Kerja juga merupakan fondasi dibentuknya dana kekayaan negara (sovereign wealth fund/SWF) Indonesia.
Oktober tahun lalu, jelang disahkannya UU Cipta Kerja, Bank Dunia menyatakan dukungan terhadap UU tersebut. Bank Dunia menyebut UU Cipta Kerja merupakan upaya reformasi besar untuk menjadikan Indonesia lebih kompetitif dan mendukung cita-cita jangka panjang negara untuk menjadi masyarakat yang sejahtera.
Lembaga keuangan internasional yang pernah dipimpin Sri Mulyani tersebut menambahkan UU Cipta Kerja dapat mendukung pemulihan ekonomi yang tangguh dan pertumbuhan jangka panjang di Indonesia.
"Dengan penghapusan aturan ketat pada investasi dan memberi sinyal bahwa Indonesia terbuka untuk bisnis, ini dapat membantu menarik investor, menciptakan lapangan kerja, dan membantu Indonesia memerangi kemiskinan," tulis World Bank dalam keterangan resminya.
Ekonom Citibank, Helmi Arman, menyebutkan putusan MK terkait UU Cipta Kerja dapat menjadi ancaman bagi prospek positif investasi.
Kepada CNBC Indonesia, Helmi menyebutkan bahwa tidak menutup kemungkinan beberapa keputusan investasi atau aksi korporasi bisa tertunda karena para ahli hukum masih membedah implikasi putusan pengadilan ini di sektornya masing-masing.
"Berdasarkan diskusi (Citibank) dengan pejabat pemerintah, pemahaman (Citibank) adalah bahwa semua peraturan teknis terkait omnibus law telah diterbitkan sebelum putusan pengadilan ini diumumkan. Namun putusan MK menghilangkan keleluasaan untuk merevisi peraturan tersebut jika diperlukan," ujar Helmi Arman kepada CNBC Indonesia.
Ekonom Citibank tersebut juga menyoroti terkait batas waktu yang diberikan untuk mengubah undang-undang tersebut yang jatuh pada akhir tahun 2023, beberapa bulan sebelum pemilihan umum 2024. Ia menyebutkan masih belum diketahui apakah dalam proses revisi ini koalisi parlemen akan tetap fokus dan solid seperti ketika UU Cipta Kerja disahkan pada 2020 lalu serta seberapa besar ongkos politik yang dibutuhkan.
Helmi juga menunjukkan bahwa putusan pengadilan tersebut dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah dan parlemen terkait dengan penyusunan undang-undang di masa depan, misalnya RUU reformasi sektor keuangan yang akan dibahas pada tahun 2022.
"Namun di sisi lain pembahasan dan pengesahan RUU yang akan datang ini juga bisa melambat sebagai akibat (putusan MK terhadap UU Cipta Kerja)," tulis Helmi.
Meski dengan keputusan inkonstitusional bersyarat, kalangan buruh merespons positif hal tersebut hal tersebut diungkapkan oleh Said Iqbal, Presiden KSPI yang resmi mengajukan permohonan uji materi UU Cipta Kerja ke MK pada 12 November 2020.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) selaku penggugat menilai UU Cipta Kerja cacat prosedur dari tahap awal hingga penetapannya.
Presiden KSPI Said Iqbal menilai kecacatan formil diawali dengan tidak dilibatkannya serikat buruh dalam perencanaan, pembentukan, hingga penetapan aturan tersebut.
Selain itu, UU Cipta Kerja diubah berkali-kali baik dari segi halaman maupun pasal-pasal yang ada. Ia menduga ada perubahan substansi pasal, sebab saat ditanya majelis hakim keterangan pemerintah dan DPR dinilai berbelit-belit.
Sebelum resmi disahkan dan masih menjadi RUU, KSPI juga telah memberikan alasan mengapa beberapa poin dalam RUU Cipta Kerja saat itu harus disoroti sebab dinilai merugikan kaum buruh. Poin-poin tersebut termasuk terkait upah minimum, pesangon, perjanjian kerja waktu tertentu (PWKT) dan hak cuti.
Sementara itu, pihak pelaku usaha dihadapkan oleh ketidakpastian bisnis terkait masa depan UU Cipta Kerja, terkhusus jika secara resmi dibatalkan permanen dua tahun mendatang.
Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menyebutkan beberapa ketidakpastian yang mungkin dialami termasuk:
- Besaran pesangon bagi perusahaan yang memberhentikan pekerja.
- Tata ruang dan peraturan lingkungan untuk industri yang membangun pabrik baru.
- Kepemilikan asing dan peraturan lainnya terkait merger dan akuisisi (M&A).
- Keberlanjutan teknis Omnibus Law yang saat ini berlaku, karena pemerintah sekarang dilarang mengeluarkan peraturan perundang-undangan lanjutan (peraturan pemerintah/menteri).
TIM RISET CNBC INDONESIA