Presiden Jokowi Ngeri Sama Tapering, Sehoror Itukah?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 November 2021 15:45
Pidato Kunci Presiden RI, Jokowi pada Kompas100 CEO Forum, 18 November 2021. (Tangkapan Layar Youtube)
Foto: Pidato Kunci Presiden RI, Jokowi pada Kompas100 CEO Forum, 18 November 2021. (Tangkapan Layar Youtube)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian dunia belum pulih dari hantaman pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), tetapi berbagai masalah baru terus bermunculan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara mengenai masalah-masalah yang dihadapi saat ini.

Jokowi yang berbicara di Kompas CEO forum mengatakan dunia saat ini dalam kompleksitas masalah yang tinggi, yang mau tidak mau harus dihadapi. Salah satu yang disebutkan Jokowi adalah tapering off.

"Orang juga takut dengan tapering off, dan bingungnya negara-negara sekarang ini berkaitan dengan global supply chain dan ketergantungan kita pada satu, dua, tiga negara. Dan juga kesulitan kontainer hampir semua ini disrupsi yang mengacaukan," jelasnya.

Tapering off merupakan kebijakan pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed).

Ketika pandemi Covid-19 melanda, The Fed bertindak cepat menyelamatkan perekonomiannya Paman Sam dengan membabat habis suku bunganya menjadi 0,25% pada Maret tahun lalu.

Tidak hanya itu, bank sentral di bawah pimpinan Jerome Powell ini juga kembali mengaktifkan QE, yakni pembelian obligasi pemerintah serta efek beragun aset. Nilai QE tersebut sebesar US$ 120 miliar per bulan, tujuannya menyediakan likuiditas di perekonomian.

Kini, perekonomian AS sudah mulai pulih dari kemerosotan hingga resesi akibat kebijakan lockdown guna meredam penyebaran virus corona. The Fed pun mulai menormalisasi kebijakannya, yang pertama dilakukan yakni mengurangi nilai QE (tapering off).

The Fed sudah resmi mengumumkan tapering pada 4 November lalu dengan nilai US$ 15 miliar setiap bulannya. Artinya, jika QE sebelumnya sebesar US$ 120 miliar, maka di bulan ini berkurang menjadi US$ 105 miliar, dan di Desember US$ 90 miliar. Begitu seterusnya, setiap bulan dikurangi sebesar US$ 15 miliar hingga akhirnya menjadi nol.

Lantas kenapa tapering menjadi sesuatu hal yang mengerikan, membuat orang-orang takut?

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Jeblok, PBD Merosot

Jawabannya ada di tahun 2013. Sebelum tahun ini, The Fed pernah melakukan tapering di tahun itu dan hasilnya gejolak di pasar finansial global. Tapering The Fed memicu lonjakan yield obligasi AS (Treasury), sebab pasar setelah QE berakhir, maka langkah selanjutnya yang akan diambil adalah menaikkan suku bunga.

Alhasil, terjadi capital outflow yang sangat besar dari negara-negara emerging market termasuk Indonesia dan kembali ke Amerika Serikat. Pasar finansial global seketika terguncang, aset-aset berisiko berguguran, dolar AS menguat sangat tajam. Fenomena tersebut disebut taper tantrum.

Rupiah menjadi salah satu korban tapering. The Fed saat itu mengumumkan tapering pada pertengahan 2013, dan berdampak pada pelemahan rupiah hingga tahun 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ kemudian terus melemah hingga mencapai puncaknya pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Jebloknya kinerja rupiah berdampak besar dan buruk bagi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi menjadi melambat, beban pembayaran utang pemerintah juga jadi membengkak.
Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% year-on-year (YoY). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia sulit kembali ke atas 5%.

Maka, wajar tapering membuat orang-orang takut seperti kata Jokowi. Tetapi tapering kali ini berbeda, tidak ada taper tanrum seperti di tahun 2013. Penyebabnya, komunikasi yang baik dari The Fed ke pasar finansial global.

Ketua The Fed, Jerome Powell, jauh-jauh hari sudah mengindikasikan akan melakukan tapering, sehingga pasar lebih siap. Pergerakan rupiah pun masih stabil, tidak ada gejolak yang berlebihan di bulan ini.

Tetapi, bukan berarti semua aman-aman saja. Pasar obligasi Indonesia mengalami capital outflow yang cukup besar di bulan ini.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, terjadi capital outflow lebih dari Rp 23 triliun pada periode 1 - 15 November.

Capital outflow tersebut berisiko terus berlanjut sebab The Fed diprediksi akan agresif menaikkan suku bunga di tahun depan.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Bisa 3 Kali Menaikkan Suku Bunga

Normalisasi kebijakan The Fed kali ini sebenarnya bisa lebih agresif ketimbang di 2013. The Fed yang kala itu dipimpin Ben Bernanke mengumumkan tapering pada Juni 2013, tetapi baru resmi dilakukan pada Januari 2014, dan QE resmi berakhir pada Oktober 2014.

Setelah itu, The Fed baru menaikkan suku bunga pertama kali pada Desember 2015 sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5%. Artinya, rentang waktu lebih dari satu tahun suku bunga baru dinaikkan setelah QE selesai di Oktober 2014.

Sementara kali ini, pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga hanya satu bulan setelah QE selesai pada bulan Juni nanti. Sebabnya, inflasi yang sangat tinggi di AS.

Pada Rabu pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.

Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.

Ketika inflasi di AS terus tinggi dan meninggi, maka The Fed bukan tidak mungkin prediksi pasar menjadi kenyataan. Tidak hanya sekali, The Fed bahkan diperkirakan bisa menaikkan suku bunga hingga 3 kali di semester II-2022, artinya sangat agresif.

fedFoto: Fedwatch CME Group

Kenaikan pertama sebesar 25 basis poin diperkirakan terjadi pada Juli 2022, dengan probabilitas sebesar 43%, berdasarkan data Fedwatch milik CME Group. Kenaikan kedua diperkirakan di September 2022, dan sekali lagi di penghujung tahun.

Jika skenario tersebut terjadi, ada risiko capital outflow yang besar dari dalam negeri. Oleh karena itu, pasar saat ini menanti respon dari Bank Indonesia (BI), bagaimana outlook kebijakan moneternya. Apakah ahead the curve atau behind the curve?

Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.

Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral AS (The Fed). Saat itu Perry sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.

Tetapi, jika BI mendahului The Fed menaikkan suku bunga, dukungan kebijakan moneter untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi akan berkurang. Sehingga tahun 2022 akan menjadi tantangan bagi perekonomian Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular