Jakarta, CNBC Indonesia - Industri keuangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami transformasi yang cukup signifikan. Mulai dari digitalisasi yang dilakukan oleh bank konvensional yang menawarkan kemudahan transaksi mobile tanpa perlu ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
Maraknya adopsi dompet digital yang di didorong kehadiran berbagai perusahaan rintisan (start up) hingga kemunculan bank digital dan meluasnya jangkauan layanan teknologi finansial (fintech) dalam membentuk ekosistem keuangan baru.
Bank-bank dengan modal mini menjadi perhatian banyak investor. Mulai dari investor retail hingga para taipan seperti menaruh harapan besar terhadap potensi bisnis baru yang terlihat dari melonjaknya harga saham bank yang dianggap akan menjadi masa depan layanan keuangan Indonesia.
Apalagi pemerintah juga terlihat antusias dengan perkembangan bank digital tanah air dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya merilis aturan terkait bank digital yang tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum pada bulan Agustus.
Tidak hanya itu, Akhir Oktober lalu OJK mengambil langkah yang turut dinanti publik dengan meluncurkan cetak biru transformasi digital perbankan dalam upaya mempercepat transformasi digital pada industri perbankan nasional.
Prospek masa depan yang didukung oleh kerangka aturan dan kebijakan yang diterapkan pemerintah serta antusiasme investor membuat penyedia layanan teknologi finansial (fintech) tertarik untuk memiliki bank mini yang kelak akan disulap menjadi bank digital.
Layanan yang ditawarkan oleh fintech seperti pinjaman online kepada para pengguna tentu dapat dimaksimalkan apabila perusahaan memiliki bank digital yang dikelola sendiri. Hal ini tentu dapat menekan biaya operasional serta dapat sedikit mengurangi ketergantungan terhadap pihak ketiga.
Kolaborasi antara bank digital dan fintech merupakan simbiosis mutualisme yang dapat memperbesar jangkauan bisnis, dengan bank digital dapat fokus mengumpulkan dana dari nasabah sedangkan fintech fokus menyalurkan dana tersebut kepada para peminjam.
Layanan finansial teknologi sebenarnya telah banyak yang bergabung dengan bank mini, akan tetapi perusahaan tersebut bukan merupakan perusahaan induk yang fokus utama layanan teknologi finansial. Contoh dari perusahaan yang dimaksud adalah Gopay yang merupakan anak usaha Gojek yang merupakan salah satu pemegang saham utama di Bank Arto.
Saat ini setidaknya sudah terdapat dua perusahaan yang fokus utamanya adalah penyedia layanan teknologi finansial yang sudah memiliki bank mini dan juga telah bertindak sebagai pengendali.
Kredivo
Keluarga Sundjono Suriadi yang semula mengendalikan PT Bank Bisnis Internasional Tbk (BBSI) melaporkan penjualan sahamnya sebanyak 16% pada 15 Oktober 2021 lalu. Nilai penjualan ini mencapai Rp 439,69 miliar, belum termasuk penjualan di tahap awal.
Pembelinya yakni anak perusahaan fintech Singapura di Indonesia, PT FinAccel Teknologi Indonesia atau perusahaan pembiayaan dengan brand Kredivo.
Berdasarkan laporan keuangan yang terbit di BEI, pada akhir tahun 2020 keluarga Sundjono Suriadi menguasai 82% saham di Bank Bisnis setelah sukses melakukan IPO pada 7 September 2020. Keluarga Sundjono Suriadi menguasai BBSI melalui kepemilikan langsung atas nama Sundjono Suriadi (32%) sebagai pengendali dan saham yang dipegang Purnawan Suriadi melalui kepemilikan di dua perusahaan yaitu PT Sun Land Investama (35%) dan PT Sun Antarnusa (15%) yang merupakan pemegang saham BBSI. Sedangkan 18% sisanya adalah milik masyarakat.
Setelah manuver Kredivo tersebut, komposisi kepemilikan saham Bank Bisnis berubah total dengan Kredivo (40%) menjadi pengendali, total kepemilikan keluarga Sundjono Suriadi berkurang menjadi 43,70% dan masyarakat sebesar 16,30%
Induk Kredivo pada Agustus lalu telah menyatakannya rencananya untuk menjadi perusahaan terbuka dengan mencatatkan sahamnya di Bursa Amerika Serikat (AS). FinAccel menyebutkan jalan yang akan ditempuh adalah melalui merger dengan VPC Impact Acquisition Holdings II, sebuah perusahaan cangkang (SPAC) yang terdaftar di bursa Nasdaq, AS.
VPC Impact Acquisition Holdings II merupakan perusahaan cangkang yang berkantor di Chicago dan terdaftar di NASDAQ dengan kapitalisasi pasar US$ 317,17 miliar.
Layanan keuangan yang mulanya dimiliki oleh dimiliki oleh Koperasi Induk/Pusat Militer dan Polisi menjadi perusahaan pertama yang melantai di bursa pada tahun 2015. Dalam penawaran perdana tersebut perusahaan berhasil memperoleh Rp 34,5 miliar dengan melepas 11,93 miliar saham.
Setelah IPO, PT Gozco Capital menjadi pengendali dan pemegang saham mayoritas Bank Yudha Bhakti (BBYB) sebesar 53,82%. Tidak lama setelahnya Asabri juga menjadi pemegang saham utama yang secara gencar menambah kepemilikan modal di perusahaan tersebut.
Akan tetapi kepemilikan mereka mulai tergerus setelah fintech Akulaku mulai masuk ke bank mini ini. Akulaku merupakan fintech yang disokong oleh anak usaha Alibaba sebagai investor, situs resmi Akulaku mencatat bahwa perusahaan berhasil menyelesaikan pembiayaan Seri D dan melakukan kerja sama dengan Ant Finansial yang dikabarkan mencapai US$ 100 juta atau setara dengan Rp 1,45 triliun (kurs 14.500).
PT Akulaku Silvrr Indonesia pertama kali masuk di BBYB pada awal tahun 2019 dengan mengakuisisi 8,9% saham PT Bank Yudha Bhakti Tbk (BBYB) dari PT Gozco Capital pada harga Rp 338 per lembar saham dengan nilai total Rp 158 miliar. Akibat akuisisi ini, porsi kepemilikannya menyusut menjadi 33,26% dari sebelumnya 42,16%. Setelah itu Akulaku kembali menambah kepemilikan sahamnya melalui rights issue menjadi sebesar 24,98%.
Akulaku resmi menjadi pemegang saham pengendali BBYB setelah mendapat restu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana terungkap dalam rancangan pengambilalihan Bank Neo Commerce oleh Akulaku yang dipublikasikan pada Rabu (28/7/2021) di situs resmi BBYB.
Dokumen tersebut sudah mendapat persetujuan dari OJK berdasarkan Surat Nomor SR-16/PB.1/2021 yang dikeluarkan pada 26 Juli 2021.
Pengumuman ringkasan rancangan pengambilalihan ini sehubungan dengan kepemilikan Akulaku atas 1.664.157.909 saham BBYB atau sekitar 24,98% BBYB sebagai akibat dari pelaksanaan penawaran umum terbatas III (PUT III) atau rights issue.
Aksi itu mengakibatkan Akulaku menjadi pemegang saham terbesar di BBYB, dan setelah Akulaku lulus uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) sebagai pemegang saham pengendali BBYB.
Sementara itu dua pemegang saham utama sebelumnya perlahan mulai keluar dan mengurangi kepemilikan sahamnya di BBYB, dengan Asabri merupakan yang paling agresif. Saat ini Gozco Capital diketahui memiliki 16,53% saham BBYB, sedangkan Asabri sudah tidak diketahui secara pasti apakah masih memiliki atau tidak saham BBYB, terakhir hingga 23 Agustus 2021 saham yang dimiliki oleh Asabri diketahui hanya tersisa 0,53%.