Piye Mr Erdogan, Lira Turki Lagi-lagi Nyungsep Paling Dalam
Jakarta, CNBC Indonesian - Lira Turki menjadi salah satu mata uang di dunia yang mengalami penurunan terburuk tahun ini. Mata uang tersebut mencapai posisi terendah sebagai mata uang pasar berkembang dengan kinerja terburuk tahun ini, Selasa (16/11/2021).
Dilansir dari AFP, lira turun hampir 4% menjadi 10,41 terhadap dolar sebelum mencatat kembali beberapa kerugian menjelang pertemuan bank sentral, yang diperkirakan akan menurunkan suku bunga untuk bulan ketiga berturut-turut pada Kamis (18/11/2021).
Penurunan ini bersamaan dengan Menteri Keuangan Lutfi Elvan yang mengatakan kepada forum bisnis bahwa pemerintah masih fokus pada pencapaian stabilitas harga dan membendung kerugian lira.
Selama ini bank Turki, yang secara nominal independen, telah tunduk pada tekanan terus-menerus untuk menurunkan biaya melakukan bisnis guna merangsang pertumbuhan dari Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Meski begitu, dorongan Erdogan telah menempatkan ekonomi Turki di jalur untuk berkembang sekitar 10% tahun ini. Namun tingkat inflasi tahunan resmi mencapai hampir 20% dan lira kehilangan lebih dari seperempat nilainya terhadap dolar tahun ini.
"Ada risiko yang berkembang bahwa kepatuhan bank sentral yang berkelanjutan terhadap tekanan dari Presiden Erdogan untuk penurunan suku bunga mengakibatkan penurunan tajam dan tidak teratur dalam mata uang selama beberapa hari dan minggu mendatang," kata analis Capital Economics Jason Tuvey dalam sebuah catatan penelitian.
Sejak Agustus, bank sentral telah menurunkan suku bunga kebijakan sebesar 300 basis poin menjadi 16 persen. Ini artinya Turki memiliki suku bunga riil negatif, yakni kebijakan yang mendevaluasi aset lira dan memberikan insentif tambahan bagi orang untuk membeli mata uang asing dan emas.
Selain mendapat tekanan Erdogan, lira juga telah berada di bawah tekanan akibat kekhawatiran Federal Reserve AS dapat menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang diharapkan untuk melawan lonjakan inflasi. Tentu hal ini membuat kepemilikan dolar lebih menarik dan menguras investasi dari pasar negara berkembang.
Tetapi para analis menyalahkan sebagian besar masalah Turki pada kebijakan ekonomi yang tidak konvensional. Kebanyak ini berfokus pada pertumbuhan ekonomi dengan harga inflasi yang tinggi dan mata uang yang terdepresiasi.
Menurut analis, langkah seperti itu dapat membantu eksportir dan bisnis besar. Tetapi merugikan warga biasa yang melihat harga melonjak untuk barang sehari-hari.
Bahkan bisnis besar sudah mulai menyatakan kekhawatiran bahwa Turki mungkin sedang menuju krisis mata. Sebab mereka memiliki miliaran utang dalam denominasi dolar yang akan jatuh tempo dalam beberapa bulan ke depan.
(sef/sef)