Pasar saham Tanah Air terlihat lebih semarak pekan ini dibandingkan pekan sebelumnya. Volume transaksi saham minggu ini tercatat melibatkan 1,32 miliar unit saham berbanding 89,33 miliar minggu lalu.
Sementara frekuensi perdagangan saham adalah 6,21 juta kali, pekan sebelumnya 5,99 juta kali. Nilai transaksi minggu ini ada di Rp 58,83 triliun, pekan sebelumnya Rp 55,93 triliun.
Investor asing melakukan akumulasi jual senilai Rp 15,01 triliun. Sedangkan nilai saham yang dibeli lebih sedikit yaitu Rp 14,67 triliun. Dengan demikian investor asing mencatatkan jual bersih Rp 340 miliar.
Yang lalu biarlah berlalu. Meski indah, masa lalu tidak akan terulang kembali. Saatnya menatap ke depan dan bekerja keras agar masa depan lebih indah dari masa lalu yang sudah indah.
Untuk pekan depan, kira-kira apa saja sentimen yang bisa menggerakkan pasar? Apa yang harus menjadi perhatian investor?
Pertama, pelaku pasar perlu mencermati dinamika hubungan AS-China. Pada Senin waktu Washington, Presiden AS Joseph 'Joe' Biden dan Presiden China Xi Jinping akan melakukan pertemuan secara virtual.
"Kedua pemimpin akan berdiskusi seputar cara-cara untuk mengatasi persaingan. Juga mencari cara bagaimana kepentingan AS bisa terwakili. Presiden Biden akan dengan jelas menyatakan maksud dan tujuan AS. Beliau juga akan menyatakan, baik secara jelas maupun tersirat, mengenai sejumlah hal yang kami khawatirkan," papar Jen Psaki, Juru Bicara Gedung Putih, seperti dikutip dari Reuters.
Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump, hubungan AS-China memburuk. Perang dagang meletus kala Washington dan Beijing 'berbalas pantun' dengan saling mengenakan bea masuk untuk impor dari masing-masing negara.
Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) kemudian memperparah situasi. Trump selalu menyalahkan China atas pandemi global tersebut. Eks juragan properti itu bahkan sering menyebut virus corona sebagai virus China.
Kepemimpinan AS berganti, Biden resmi menjadi presiden untuk masa jabatan 2020-2024. Presiden boleh berganti, tetapi ternyata Biden juga 'galak' terhadap China.
Biden kerap mengkritik bahkan mengecam aksi China di Laut China Selatan. Dalam pertemuan tingkat tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), Biden berkomitmen untuk mewujudkan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Namun dia merasa ulah China membuat tensi meninggi.
Isu Taiwan juga membuat hubungan kedua negara agak panas. Beijing murka ketika Anthony Blinken, Menteri Luar Negeri AS, menyatakan bahwa Negeri Adikuasa dan sekutunya akan bertindak jika menggunakan upaya militer untuk 'menyenggol' Taiwan.
"Kalau AS benar-benar ingin ada kedamaian di Selat Taiwan, maka mereka seharusnya menolak upaya pro-kemerdekaan di sana," tegas Wang Yi, Diplomat Senior China, seperti dikutip dari Reuters.
Nah, pembicaraan Biden-Xi diharapkan mampu meredakan berbagai friksi ini. Sebab kalau dua perekonomian terbesar di dunia terlibat pertengkaran, maka dampaknya akan luar biasa. Gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah...
Sentimen kedua adalah hasil konferensi PBB untuk iklim di Glasgow (Skotlandia). Perdebatan keras terjadi kala harus membuat keputusan soal nasib batu bara.
Awalnya, disepakati menghapuskan secara berkala (phase out) pembangkit listrik bertenaga batu bara. Namun negara-negara berkembang seperti China dan India menolak, melakukan lobi, dan berhasil mengganti frasa phase out menjadi phase down (mengurangi secara bertahap).
'Revisi ini mencerminkan kepentingan nasional kami dan negara-negara berkembang lainnya. Kami menjadi suara negara-negara berkembang. Kami berupaya membuat kesepakatan yang masuk akal bagi negara berkembang dan sesuai dengan isu iklim," tegas Bhupender Yadav, Menteri Lingkungan dan Iklim India, sebagaimana diwartakan Reuters.
Bagaimana pun, sepertinya cepat atau lambat batu bara memang harus pergi. Para aktivis lingkungan menilai kesepakatan COP26 adalah gelas yang setengah penuh, bukan setengah kosong.
"Mereka boleh mengubah frasa, tetapi tidak mengubah sinyal bahwa era batu bara akan selesai. Jika Anda adalah pimpinan perusahaan batu bara, maka COP26 adalah hasil yang buruk," kata Jennifer Morgan, Direktur Eksekutif Greenpeace, juga dikutip dari Reuters.
So, layak untuk disimak bagaimana hasil konferensi di Glasgow terhadap pasar, terutama batu bara. Kebetulan harga batu bara sedang ambles, minus empat minggu berturut-turut.
Apakah COP26 akan membawa 'huru-hara' di pasar batu bara? Apakah harga bakal anjlok lagi? Bagaimana nasib saham emiten batu bara di Bursa Efek Indonesia?
Kita tunggu jawabannya esok hari...
Halaman Selanjutnya --> Monitor Rilis Data Perdagangan dan Pengumuman Bunga Acuan
Sentimen ketiga, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Oktober 2021. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 46,06% dibandingkan Oktober 2020 (year-on-year/yoy). Melambat dibandingkan September yang tumbuh 47,64%.
Sedangkan impor diperkirakan tumbuh 58,35%. Jauh lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yang tumbuh 40,31%.
Meski impor tumbuh lebih cepat ketimbang ekspor, tetapi neraca perdagangan diperkirakan masih surplus US$ 3,89 miliar. Kalau terwujud, maka neraca perdagangan Indonesia akan mengalami surplus selama 18 bulan beruntun alias 1,5 tahun.
Surplus neraca perdagangan akan sangat membantu kinerja transaksi berjalan. Saat transaksi berjalan semakin sehat, maka nilai tukar rupiah akan lebih stabil.
Sentimen keempat, masih dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) untuk menentukan suku bunga acuan. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,5%.
Pada kuartal III-2021, ekonomi Indonesia tumbuh 3,51% yoy. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 7,07%, terbaik sejak 2004. Risiko perlambatan ini yang membuat BI mungkin mempertimbangkan untuk tetap mempertahankan kebijakan moneter akomodatif, salah satunya suku bunga rendah.
"Kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif kemungkinan masih berlanjut untuk mendukung momentum pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini. Namun jika bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) mempercepat kenaikan suku bunga acuan, BI mungkin akan mengkaji ulang arah kebijakan moneternya. Terutama jika tahun depan tekanan inflasi sudah mulai terasa," jelas Radhika Rao, Ekonom DBS, dalam risetnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA