
Lira Turki Rekor Terlemah, Ada Apa Lagi di Negeri Erdogan?

Kondisi internal kurang menguntungkan, eksternal juga menekan. Kurs lira pun semakin terpuruk.
Dolar AS sedang kuat-kuatnya di pekan ini. Indeks dolar AS Rabu lalu melesat nyaris 1%, kemarin 0,32% dan hari ini naik lagi sebesar 0,09% ke 95,265 yang merupakan level tertinggi dalam 16 bulan terakhir.
Melesatnya indeks dolar AS terjadi setelah inflasi di Amerika Serikat dilaporkan terus menanjak.
Departemen Tenaga Kerja AS pada Rabu lalu melaporkan CPI bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990. Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Tingginya inflasi di AS tersebut membuat yield obligasi AS (Treasury) tenor melesat 13 basis poin di hari Rabu. Kenaikan yield tersebut merupakan respon pelaku pasar yang mengantisipasi kemungkinan bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga lebih cepat guna meredam inflasi.
Berdasarkan perangkat FedWatch miliki CME Group, pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 43,2% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% pada bulan Juli tahun depan.
Selain itu di akhir 2022, pasar melihat ada probabilitas sebesar 31,4% suku bunga berada di 0,75%-1,00%.
Artinya, pasca rilis data inflasi tersebut, pasar melihat The Fed berpeluang menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun depan. Alhasil rupiah melemah tipis-tipis 2 hari beruntun, sebelum menguat hari ini.
Ketika The Fed diperkirakan akan agresif menaikkan suku bunga di tahun depan, bank sentral Turki justru agresif menurunkan. Perbedaan outlook kebijakan moneter tersebut membuat kemerosotan lira tak terbendung.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]