Newsletter

Wall Street 'Kebakaran' karena Inflasi Tinggi, Waspada IHSG!

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
11 November 2021 06:21
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup cenderung beragam pada perdagangan Rabu (10/11/2021). Di mana investor cenderung merespons beragam dari data inflasi China pada periode Oktober 2021.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup menguat sedangkan rupiah terpantau melemah. Sementara pasar SBN terpantau bervariasi pada perdagangan kemarin.

IHSG ditutup menguat 0,2% ke level 6.683,146 pada perdagangan kemarin. IHSG sempat terkoreksi dari perdagangan awal sesi I hingga sesi II pukul 14:00 WIB kemarin n berbalik arah ke zona hijau di menit-menit terakhir.

Data perdagangan mencatat nilai transaksi pada perdagangan kemarin mengalami penurunan menjadi Rp 11,3 triliun di mana 229 saham menguat, 273 saham melemah, dan 170 lainnya stagnan. Investor asing kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 369 miliar di pasar reguler.

Adapun bursa Asia pada perdagangan kemarin secara mayoritas ditutup melemah. Indeks KOSPI Korea Selatan memimpin pelemahan bursa Asia pada perdagangan kemarin, di mana indeks saham acuan Negeri Ginseng tersebut ditutup ambles 1,09%.

IHSG bisa dibilang "masih selamat". Selain IHSG, indeks Hang Seng Hong Kong dan indeks Taiwan Capitalization Weighted Stock (TAIEX) juga berhasil bertahan di zona hijau kemarin.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Rabu:

Sedangkan untuk rupiah pada perdagangan Rabu kemarin ditutup cenderung melemah tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Melansir data Refinitiv, di pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.250 kala penutupan perdagangan.

Rupiah melemah tipis 0,07%. Sedangkan di kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor, rupiah berada di Rp 14.253, melemah 0,14% dibandingkan posisi sehari sebelumnya.

Sementara di Asia, mata uang di kawasan tersebut cenderung beragam pada perdagangan kemarin, di mana rupiah, rupee India, yen Jepang, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura terpantau melemah terhadap sang greenback. Sedangkan sisanya yakni yuan China, dolar Hong Kong, won Korea Selatan, baht Thailand, dan dolar Taiwan berhasil mempertahankan kekuatannya dihadapan greenback.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Rabu:

Adapun untuk pergerakan harga SBN pada perdagangan kemarin ditutup beragam, ditandai dengan beragamnya pergerakan imbal hasil (yield). Sejalan dengan beragamnya pergerakan harga dan yield, sikap investor di pasar SBN pun juga bervariasi.

SBN bertenor 1, 5, 15, dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan pelemahan harga dan kenaikan imbal hasil (yield). Sedangkan SBN berjatuh tempo 3, 10, 20, dan 25 tahun ramai dikoleksi oleh investor, ditandai dengan penguatan harga dan penurunan yield.

Dari SBN yang mengalami penguatan yield, SBN bertenor 1 tahun menjadi yang paling besar penguatannya kemarin, yakni menguat signifikan sebesar 44,9 basis poin (bp) ke level 3,386%. Sedangkan SBN yang mengalami pelemahan yield terbesar terjadi di SBN berjatuh tempo 3 tahun yang melemah 1,2 bp ke level 4,002%

Sementara untuk yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menurun 0,8 bp ke level 6,165%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan kemarin:

Kemarin, sentimen negatif datang dari Amerika Serikat (AS) yang merilis indeks harga grosir per Oktober melesat 8,6% secara tahunan, menjadi rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir, menurut data Departemen Tenaga Kerja AS. Kabar itu membalik rilis indeks harga produsen (producer price index/PPI) yang naik 0,6% secara bulanan, atau sesuai dengan ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones.

Di sisi lain, pasar juga merespons data inflasi China per Oktober 2021 yang dirilis pagi kemarin. Setelah rilis data inflasi Negeri Tirai Bambu tersebut, risiko stagflasi semakin besar. Stagflasi adalah fenomena ekonomi di mana harga naik (inflasi tinggi), tetapi aktivitas bisnis mengalami stagnasi, yang menyebabkan tingginya pengangguran dan berkurangnya daya beli konsumen.

Pemerintah China melaporkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) naik 1,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) di bulan Oktober, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7% YoY serta dibandingkan hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi 1,4% YoY.

Yang paling membuat cemas adalah inflasi dari sektor produsen (producer price index/PPI) yang meroket 13,5% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 10,7%. PPI di bulan Oktober tersebut menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 26 tahun terakhir. Ketika inflasi di produsen tinggi, maka ada risiko inflasi CPI juga akan melesat dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, produsen kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produknya.

Dari Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup berjatuhan pada perdagangan Rabu (10/11/2021), di tengah rilis data inflasi yang ternyata membumbung tinggi dan memicu kecemasan akan dampaknya terhadap pemulihan ekonomi.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,66% ke level 36.079,94, S&P 500 merosot 0,82% ke posisi 4.646,71, dan Nasdaq Composite ambruk 1,66% menjadi 15.622,71.

Imbal Hasil (yield) obligasi pemerintah AS (Treasury) bertenor 10 tahun, yang sebelumnya berada di kisaran level 1,4%, melonjak 11 basis poin ke kisaran level 1,5% pada perdagangan kemarin, setelah pembacaan inflasi dari sektor konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK).

Kenaikan imbal hasil mengindikasikan koreksi harga karena aksi jual investor. Inflasi tinggi menggerogoti keuntungan dari kupon obligasi.

Ketika yield Treasury melonjak, investor cenderung melepas saham teknologi yang sedang meninggi dan cenderung mengoleksi saham perbankan. Mereka juga mencari investasi alternatif lainnya yang dianggap sebagai aset lindung nilai (hedging), seperti emas dan bitcoin.

Sebelumnya, Indeks harga konsumen (IHK) AS dilaporkan melesat 6,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), atau lebih panas dari estimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 5,9%.

Angka itu juga menjadi yang tertinggi sejak tahun 1990. Secara bulanan (month-on-month/mom), IHK melompat 0,9% atau di atas estimasi yang sebesar 0,6%.

"Data CPI hari ini berkontribusi besar pada pelemahan pasar saham, dan sampai tingkat tertentu, pasar ekuitas akan menutup pasar obligasi, yang telah terjadi hampir sepanjang tahun ini," kata Liz Ann Sonders, kepala strategi investasi Charles Schwab, dikutip dari CNBC International.

Mengikuti data CPI, para analis menaikkan ekspektasi mereka tentang kapan kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pertama akan terjadi. Pasar melihat peluang bahwa kenaikan suku bunga penuh pertama The Fed akan terjadi pada Juli 2022.

Sebelumnya, indeks harga produsen (producer price index/PPI) dilaporkan naik 0,6% secara bulanan, atau sesuai ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones. Namun, indeks harga grosir per Oktober melesat 8,6% secara tahunan, menjadi rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir.

"Kisah buruk inflasi masih membayangi dan perlu diatasi. Kami menilai investor akan melihat inflasi melandai dalam beberapa bulan setelah The Fed [Federal Reserve] mempertahankan kebijakan akomodatif," tutur Brent Schutte, Direktur Investasi Northwestern Mutual Wealth Management Company, kepada CNBC International.

Saham teknologi berada di bawah tekanan pada perdagangan kemarin, karena potensi kenaikan suku bunga mendiskontokan nilai pendapatan masa depan dan karenanya dapat memukul saham yang sedang bertumbuh dengan sangat keras.

Saham teknologi Advanced Micro Devices ambruk 6,1%, Nvidia ambles 3,9%, dan Google-parent Alphabet merosot 2%.

Namun, saham perbankan mendapat dorongan dari lonjakan imbal hasil obligasi dan membatasi kerugian. Suku bunga yang lebih tinggi menandakan bahwa bank membebankan bunga yang lebih besar atas pinjaman, yang biasanya meningkatkan keuntungan. Saham Bank of America melesat hampir 0,8% dan saham Wells Fargo melonjak 0,9%.

Pelaku pasar di dalam negeri perlu mencermati sentimen dari pergerakan bursa saham Wall Street yang ditutup berjatuhan pada perdagangan Rabu kemarin, di mana Wall Street ambles karena pasar merespons negatif dari melonjaknya inflasi dari sektor konsumen (IHK) yang juga dapat memicu kecemasan akan dampaknya terhadap pemulihan ekonomi.

IHK AS dilaporkan melesat 6,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), atau lebih panas dari estimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 5,9%.

Angka itu juga menjadi yang tertinggi sejak tahun 1990. Secara bulanan (month-on-month/mom), IHK melompat 0,9% atau di atas estimasi yang sebesar 0,6%.

Tak hanya IHK yang melonjak, inflasi dari sektor produsen (PPI) pun juga melonjak pada periode bulan lalu. PPI AS dilaporkan naik 0,6% secara bulanan, atau sesuai ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones.

Namun, indeks harga grosir per Oktober melesat 8,6% secara tahunan, menjadi rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir.

Kenaikan inflasi hingga ke level tertinggi sejak tahun 1990 tersebut membuat imbal hasil Treasury acuan bertenor 10 tahun kembali menyentuh kisaran level 1,5%, setelah selama beberapa pekan sebelumnya berusaha untuk turun menjauhi level 1,5%.

Melonjaknya yield Treasury tentu menjadi sentimen negatif bagi pasar global, terutama bagi saham-saham teknologi yang berkorelasi negatif dengan pergerakan yield Treasury.

Tetapi, kenaikan yield Treasury menjadi pendorong saham perbankan di AS, karena adanya potensi kenaikan suku bunga, di mana bank dapat membebankan bunga lebih besar atas pinjaman yang tentunya berpengaruh terhadap keuntungan bank.

Selain dari AS, pasar juga mengkhawatirkan akan inflasi terbaru di China, di mana pada perdagangan kemarin inflasi periode Oktober dari sektor konsumen (IHK) dan sektor produsen (PPI) telah dirilis dan menunjukan kenaikan cukup signifikan.

Pemerintah China melaporkan IHK naik 1,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) di bulan Oktober, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7% YoY serta dibandingkan hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi 1,4% YoY.

Sedangkan PPI China juga meroket 13,5% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 10,7%. PPI di bulan Oktober tersebut menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 26 tahun terakhir.

Ketika inflasi di produsen tinggi, maka ada risiko IHK juga akan melesat dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, produsen kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produknya.

Investor juga mengkhawatirkan dari risiko stagflasi yang menyerang Negeri Panda. Stagflasi adalah fenomena ekonomi di mana harga naik (inflasi tinggi), tetapi aktivitas bisnis mengalami stagnasi, yang menyebabkan tingginya pengangguran dan berkurangnya daya beli konsumen.

Di kala inflasi China dan AS sedang meninggi, investor cenderung akan mencari investasi lainnya yang dapat dijadikan lindung nilai (hedging), seperti emas dan bitcoin. Oleh karena itu, kenaikan inflasi menjadi katalis positif bagi emas dan bitcoin pada hari ini.

Setelah China dan AS, Jepang juga akan merilis data inflasi dari sektor produsen (PPI) periode Oktober 2021 pada pagi hari ini.

Konsensus Tradingeconomics memperkirakan PPI Negeri Sakura pada bulan lalu naik 0,4% secara bulanan (mom), dan naik 7% secara tahunan (yoy).

Terlepas dari inflasi yang dapat mempengaruhi perekonomian global, pada hari ini, Inggris akan merilis data pembacaan awal (flash reading) dari pertumbuhan ekonomi kuartal ketiganya pada tahun ini.

Ekonom dalam polling Reuters memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris pada kuartal III-2021 akan kembali melambat menjadi 6,8% secara tahunan (yoy), dan melambat menjadi 1,5% secara kuartalan (quarter-to-quarter/QoQ).

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data Indeks Harga Produsen (PPI) Jepang Oktober 2021 (06:50 WIB),
  2. Rilis data tingkat pengangguran Australia periode Oktober 2021 (07:30 WIB),
  3. Road to CNBC Indonesia Awards dengan tema The Most Inspiring Financial Companies (12:00-14:00 WIB),
  4. Rilis data flash reading pertumbuhan ekonomi Inggris kuartal III-2021 (14:00 WIB),
  5. Rilis data neraca perdagangan Inggris periode September 2021 (14:00 WIB),
  6. Rilis data produksi industrial Inggris periode September 2021 (14:00 WIB),
  7. Rilis data produksi manufaktur Inggris periode September 2021 (14:00 WIB),
  8. Proyeksi makroekonomi bank sentral Eropa (ECB) (17:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51%

Inflasi (Oktober 2021, YoY)

1,66%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

5,17% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021)

0,8% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020)

US$ 0,4 miliar

Cadangan Devisa (Oktober 2021)

US$ 145,5 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular