
Tapering Mulus! Siap-siap The Fed Naikkan Suku Bunga di 2022

Jakarta, CNBC Indonesia - Momen yang ditunggu-tunggu pasar finansial dunia akhirnya tiba, bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) resmi mengumumkan tapering atau pengurangan pembelian obligasi di pasar.
Tetapi tidak seperti 2013 yang memicu gejolak atau dikenal dengan istilah taper tantrum, pengumuman tapering kali ini disambut positif oleh pelaku pasar.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, The Fed sudah mengucurkan program pembelian aset (quantitative easing/QE) sekitar 4,3 triliun. Hal tersebut tercermin dari nilai Balance Sheet The Fed yang hingga 27 Oktober lalu mencapai US$ 8,56 triliun, dibandingkan posisi awal Maret 2020 lalu US$ 4,24 triliun.
Kebijakan tersebut terbilang sangat agresif, sebab saat krisis finansial melanda AS di tahun 2008 The Fed juga melakukan hal yang sama. Nilai Balance Sheet juga melonjak US$ 3 triliun, tetapi terjadi dalam tempo 3 tahun hingga 2011.
Semakin besar QE yang digelontorkan maka Balance Sheet The Fed akan membengkak.
Kamis (4/11) dini hari waktu Indonesia (Rabu waktu Amerika Serikat), The Fed mengumumkan tapering atau pengurangan nilai program QE sebesar US$ 15 miliar per bulan dari saat ini US$ 120 miliar per bulan dan akan dilakukan mulai November ini.
Rinciannya, sebesar US$ 10 miliar untuk pembelian obligasi (Treasury) yang saat ini senilai US$ 80 miliar per bulan, dan US$ 5 miliar untuk pembelian efek beragun aset yang saat ini sebesar US$ 40 miliar per bulan.
Keputusan tersebut sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar, The Fed tidak melakukan tapering lebih agresif. Alhasil, bursa saham AS (Wall Street) melesat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, yang menjalar ke pasar Asia pagi ini.
Dari pasar mata uang, indeks dolar AS mengalami pelemahan, meski rupiah juga melemah hari ini tetapi tidak terjadi gejolak yang berlebihan.
Artinya, The Fed sukses meredam taper tantrum yang di 2013 membuat rupiah terus tertekan hingga tahun 2015, dengan persentase pelemahan sekitar 50%. Selain mata uang, pasar saham juga mengalami gejolak, begitu juga dengan aset safe haven seperti emas.
Sehingga taper tantrum menjadi salah satu yang paling ditakuti pelaku pasar di tahun ini, dan akhirnya tidak terjadi.
Salah satu kunci kesuksesan The Fed meredam terjadinya taper tantrum yakni komunikasi yang baik dengan pasar. Ketua The Fed, Jerome Powell, sejak awal tahun ini sudah memberikan sinyal akan melakukan tapering, sehingga pasar sudah bersiap jauh-jauh hari. Pergerakan semua aset sudah memperhitungkan terjadinya tapering.
Berbeda dengan 2013, pasar dibuat kaget dengan keputusan The Fed yang akhirnya memicu capital outflow dari negara emerging market, hingga terjadi taper tantrum.
Meski memutuskan tapering dilakukan US$ 15 miliar setiap bulannya, tetapi The Fed juga membuka peluang menyesuaikan besarnya nilai tersebut, bisa dikurangi atau ditambah, tergantung kondisi ekonomi. Artinya, The Fed masih fleksibel dan hal tersebut juga berdampak positif ke pasar finansial.
"Anggota Komite menilai pengurangan nilai program pembelian aset sebesar US$ 15 miliar setia bulannya adalah tepat, tetapi Komite juga siap menyesuaikan besarnya jika dibutuhkan seandainya terjadi perubahan kondisi ekonomi," kata Komite tersebut sebagaimana dilansir CNBC International.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Naikkan Suku Bunga Tahun Depan?
The Fed dalam pengumuman kebijakan moneter dini hari tadi mempertahankan suku bunga acuannya sebesar 0,25%. The Fed juga tidak menyebutkan secara spesifik kapan suku bunga akan dinaikkan.
Jika melihat nilai tapering sebesar US$ 15 miliar per bulan dan dimulai November ini, maka perlu waktu 8 bulan hingga QE menjadi nol. Artinya, QE baru akan selesai pada bulan Juli 2022.
Setelah QE selesai, maka langkah selanjutnya adalah menaikkan suku bunga. Meski pada pengumuman kali ini tidak menyebutkan secara spesifik kapan suku bunga dinaikkan, tetapi pada September lalu mayoritas anggota komite kebijakan moneter (Federal Open Market Committee/FOMC) melihat suku bunga akan naik pada tahun depan.
Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot.
Dalam dot plot edisi September, sebanyak 9 orang dari 18 anggota FOMC kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.
Peluang kenaikan suku bunga di tahun depan semakin menguat setelah ketua The Fed, Jerome Powell, mengatakan pasar tenaga kerja bisa mencapai "tenaga kerja maksimum" pada pertengahan tahun depan.
Pasar tenaga kerja merupakan salah satu acuan The Fed untuk menetapkan suku bunga, ketika sudah mencapai "tenaga kerja maksimum" maka suku bunga kemungkinan besar akan segera dinaikkan.
Selain pasar tenaga kerja, inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) juga menjadi pertimbangan. The Fed menetapkan target inflasi PCE rata-rata 2% dan sudah tercapai.
Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat lalu melaporkan inflasi PCE tumbuh 4,4% year-on-year (YoY) di bulan September, menjadi yang tertinggi sejak tahun 1991, dan naik dari bulan sebelumnya 4,3% YoY.
Kemudian inflasi inti PCE tumbuh 3,6% YoY, sama dengan pertumbuhan bulan Agustus, tetapi juga berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.
The Fed memperkirakan inflasi tersebut masih akan tinggi, dan baru akan melandai pada pertengahan tahun depan.
Dengan proyeksi tersebut, peluang suku bunga dinaikkan di semester II-2022 cukup besar.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 38% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25%-0,5% di bulan September tahun depan. Kemudian ada probabilitas sebesar 32,9% suku bunga akan dinaikkan menjadi 0,5%-0,75% pada bulan Desember 2022.
Artinya, pasar memperhitungkan The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI 10 Negara 'Terparah' Bila Dihantam Tapering, Ini Sebabnya