Lama Gak Kedengaran, Ini Kabar Buruk buat Saham ANTM-INCO dkk

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
03 November 2021 08:20
nikel
Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham emiten nikel tampaknya mulai ditinggalkan kembali oleh investor pasar modal, setidaknya dalam sepekan terakhir ini, setelah sempat melesat pada awal hingga pertengahan bulan Oktober lalu seiring dengan tren kenaikan harga nikel.

Lantas, bagaimana kinerja saham nikel setidaknya dalam 3 bulan terakhir?

Berikut ini kinerja saham emiten dalam sepekan dan 3 bulan terakhir, mengacu pada data Bursa Efek Indonesia (BEI), per penutupan Selasa (2/11/2021).

Kinerja Saham-saham Nikel dalam Sebulan dan 3 Bulan

Ticker

Harga Terakhir (Rp)

% 1 Pekan

% 3 Bulan

HRUM

7575

-5.31

26.78

NIKL

1105

-3.07

0.45

TINS

1540

-5.23

-5.81

ANTM

2310

-3.75

-10.81

INCO

4760

-2.06

-11.85

NICL

71

-7.79

-63.96

Sumber: Bursa Efek Indonesia (BEI) | Harga terakhir per 2 November 2021

Mengacu pada tabel di atas, saham emiten milik taipan Kiki Barki PT Harum Energy Tbk (HRUM) menjadi yang paling melejit dalam 3 bulan terakhir, yakni 26,78%. Namun, dalam sebulan dan sepekan belakangan, saham HRUM turun signifikan sebesar 9,01% da 5,31%

Akan tetapi, sebagai catatan, bisnis tradisional HRUM adalah batu bara sehingga sentimen utama penyokong pergerakan saham ini adalah harga batu bara. Harum memang mulai masuk ke tambang nikel seiring dengan prospek baterai listrik di Tanah Air.

Dalam sebulan terakhir, saham-saham batu bara memang sedang mengalami tren penurunan. Saham PT Indika Energy Tbk (INDY) dan PT Adaro Energy Tbk (ADRO), misalnya, masing-masing ambles 20,70% & 11,56% dalam sebulan.

Di bawah saham HRUM, ada saham NIKL yang masih bisa naik dalam 3 bulan terakhir, yakni sebesar 0,45%. Saham NIKL sempat menyentuh harga tertinggi dalam 3 bulan terakhir pada 19 Oktober 2021 di Rp 1.175/saham.

Kemudian, dua saham emiten BUMN, PT Timah Tbk (TINS) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) ambles 10,81% dan 11,85% dalam 3 bulan terakhir. Adapun dalam sepekan, saham TINS dan ANTM sama-sama anjlok 5,23% dan 3,75%.

Seperti saham NIKL, saham TINS juga tercatat pernah menyentuh level tertinggi sejak Agustus lalu di Rp 1.725/saham pada 18-19 Oktober 2021.  Sementara, saham ANTM menembus level tertinggi dalam sebulan juga pada 19 Oktober 2021 di Rp 2.530/saham. 

Lebih lanjut, saham INCO juga tergerus 2,06% dalam sepekan dan 'terjun bebas' 11,85% dalam 3 bulan belakangan. Tidak ketinggalan, saham INCO pun menyentuh level tertinggi setidaknya sejak awal September 2021 di harga Rp 5.125/saham pada 18 Oktober 2021.

Terakhir, saham NICL yang mencatatkan penurunan harga saham tertinggi dalam 3 sebulan terakhir dan selama sepekan terakhir, yaitu secara berturut-turut sebesar 63,96% dan 7,79%.

Setelah menembus level Rp 318/saham pada 15 Juli 2021 lalu, saham NICL memang cenderung merosot (downtrend).

Asal tahu saja, NICL melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) pada 9 Juli 2021 di harga Rp 100/saham.

Singkatnya, berdasarkan pemaparan singkat di atas, bisa dikatakan saham-saham emiten nikel utama mengalami tren koreksi setelah menyentuh harga tertinggi dalam beberapa waktu terakhir pada 18-19 Oktober 2021.

NEXT: Harga Nikel Kena Aksi Ambil Untung

Selasa kemarin (2/11), harga kontrak berjangka (futures) nikel di London Metal Exchange (LME) turun 0,71% ke US$ 19.562,50/ton dibandingkan penutupan hari sebelumnya.

Harga nikel memang masih mengalami aksi ambil untung (profit taking) akhir-akhir ini. Dalam sepekan harga nikel melemah 2,63%.

Namun, dalam sebulan harga nikel masih melesat 9,14%. Lalu, dalam 3 bulan belakangan masih terapresiasi 0,24% dan sejak awal tahun (year to date) melonjak 17,75%.

Harga nikel LME sendiri sempat menyentuh rekor tertinggi selama 7 tahun terakhir pada Rabu (20/10) di US$ 20.963/ton.

Salah satu sentimen positif untuk nikel adalah soal permintaan nikel datang dari penjualan mobil listrik dunia yang terus bertumbuh dengan pesat.

Penjualan mobil listrik dunia pada semester-I 2021 meroket 160% year-on-year (yoy). Fastmarkets memperkirakan penjualan mobil listrik ini akan terus meningkat seiring dengan wacana pengurangan emisi karbon dunia dalam menghadapi perubahan iklim global.

"Penetrasi EV akan mencapai 15% pada 2025, dan kami memperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 35% pada tahun 2030. Ditambah dengan pertumbuhan permintaan dari aplikasi seperti sistem penyimpanan energi (ESS), perangkat 5G, dan Internet of Things (IoT)) infrastruktur," kata Fastmarkets dalam laporan baru-baru ini.

Penjualan mobil listrik yang meroket ini menular ke permintaan baterai mobil listrik di mana nikel adalah salah satu kompenen utamanya.

Sementara, menurut data Rystad Energy, permintaan nikel global diperkirakan akan meningkat menjadi 3,4 juta ton (Mt) pada tahun 2024 dari 2,5 Mt tahun ini.

Analisis oleh Rystad Energy menunjukkan, bahwa kendati pasokan global akan terus meningkat stabil dari tahun ke tahun, peningkatan permintaan yang sebagian didorong oleh transisi energi akan menyebabkan kekurangan pasokan nikel dalam waktu kurang dari dua tahun.

Selain itu, krisis listrik yang terjadi berpotensi melemahkan permintaan bahan baku logam untuk diolah sehingga dikhawatirkan akan ada pengetatan pasokan di tengan persediaan yang sudah sangat rendah.

Lebih lanjut, persediaan nikel di gudang LME juga terus terjun ke level terendah sejak Desember 2019. Pada tanggal 15 Oktober 2021, persediaan nikel tercatat 146.022 ton, turun 38,47% year-on-year (yoy) dibanding 15 Oktober 2020.

Rata-rata persediaan nikel pada bulan Oktober 2021 tercatat 150.570 ton, turun 13,52% month-to-month (mom) dibanding rata-rata persediaan September 2021.

Namun, ada pula sentimen negatif untuk nikel, yaitu soal kembali naiknya kasus Covid-19 di China.

Data NHC per 29 Oktober menunjukkan ada 377 kasus Covid-19 transmisi lokal. Dari 17 Oktober, saat klaster baru grup wisata ditemukan, virus corona sudah menyebar di 14 provinsi, dari sebelumnya 11 provinsi.

Kembali merebaknya virus corona di China berpotensi makin memberatkan aktivitas manufaktur negeri tirai bambu yang saat ini sedang lesu.

Aktivitas manufaktur China yang lesu mengaburkan prospek permintaan komoditas industri seperti nikel. China adalah konsumen terbesar nikel di dunia sebesar 1,31 juta ton pada 2020, mengacu data Statista. Dus, aktivitas ekonomi China memiliki pengaruh terhadap laju harga logam.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular