Review

Fakta-fakta Krisis Evergrande, 'Bom Waktu' yang Siap Meledak!

Feri Sandria, CNBC Indonesia
19 October 2021 06:50
Kendaraan melewati bangunan tempat tinggal yang belum selesai dari Evergrande Oasis, kompleks perumahan yang dikembangkan oleh Evergrande Group, di Luoyang, Cina 16 September 2021. (REUTERS/Carlos Garcia Rawlins)
Foto: Kendaraan melewati bangunan tempat tinggal yang belum selesai dari Evergrande Oasis, kompleks perumahan yang dikembangkan oleh Evergrande Group, di Luoyang, Cina 16 September 2021. (REUTERS/Carlos Garcia Rawlins)

Properti menjadi aset yang kian spekulatif

Ekonomis yang juga profesor Harvard Kenneth S. Rogoff  dalam risetnya 'PEAK CHINA HOUSING' bersama Yuanchen Yang Ekonom di IMF menilai banyaknya properti bernilai tinggi di China menyebabkan rasio harga rumah terhadap pendapatan di tiga kota besar China - Beijing, Shanghai dan Shenzhen - jauh lebih tinggi daripada di kota-kota besar lainnya di seluruh dunia.

Kekayaan dari perumahan menyumbang 78 persen dari semua aset China pada tahun 2017, dibandingkan dengan 35 persen di AS. Selain itu tingkat hunian rendah serta kepemilikan rumah telah cukup memadai menjadikan properti menjadi aset yang kian spekulatif.

Ditambah lagi pertumbuhan populasi yang rendah, di mana populasi China kian menua dan 60 persennya sudah tinggal di perkotaan, memberikan sinyal bahwa booming properti harus segera berakhir.

Lanskap pembelian properti China (sumber: FT)Foto: Lanskap pembelian properti China (sumber: FT)
Lanskap pembelian properti China (sumber: FT)

Runtuhnya investasi di sektor properti merupakan ancaman yang sangat mungkin terjadi dan akan berdampak sangat negatif terhadap keuangan pemerintah daerah.

Rogoff dan Yang berpendapat bahwa "penurunan 20 persen dalam aktivitas real estat dapat menyebabkan penurunan 5-10 persen dalam PDB, bahkan tanpa amplifikasi dari krisis perbankan, atau memperhitungkan pentingnya real estat sebagai jaminan."

Dampak terhadap pemerintah provinsi dan daerah

Booming sektor properti menyebabkan penjualan tanah melonjak ke rekor 8,4 triliun yuan (US$ 1,3 triliun) atau setara dengan Rp 18.590 triliun (kurs Rp 14.300/US$) pada tahun 2020. Angka tersebut setara dengan produk domestik bruto (PDB) tahunan Australia yang berhasil memperkuat anggaran fiskal di tahun pandemi.

Namun peraturan yang lebih ketat terkait pinjaman yang boleh dilakukan oleh pengembang swasta sejak tengah tahun lalu semakin mengikis permintaan tanah.

Nilai penjualan tanah secara nasional tiba-tiba turun 17,5% pada Agustus, menurut perhitungan Reuters dari data kementerian keuangan, penurunan terbesar sejak Februari 2020.

Penurunan lebih lanjut dapat memaksa pemerintah daerah, yang bergantung pada penjualan tanah - dengan kontribusi rata-rata mencapai seperlima dari pendapatan - untuk memotong pengeluaran dan investasi. Banyak ekonom telah menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB China 2021, karena pasar properti yang semakin lesu dan risiko yang ditularkan oleh raksasa properti China Evergrande.

Untuk meningkatkan pendapatan, beberapa pemerintah daerah mungkin akan mengambil langkah untuk menerbitkan lebih banyak obligasi, menjadikan kewajiban utang naik. Pemerintah daerah bahkan mungkin saja akan mempercepat rencana untuk pajak properti yang kontroversial, kata para analis.

"Secara umum, proporsi pendapatan penjualan tanah untuk pemerintah daerah di China cukup besar, di atas 20%, jadi jika penjualan tanah menurun, atau pertumbuhannya melambat, pengeluaran pemerintah daerah akan mengalami tekanan tertentu," kata Betty Wang. , ekonom senior China di ANZ di Hong Kong.

Sebaliknya untuk lebih mengontrol harga tanah di lokasi paling mahal di China, yang pada akhirnya akan mengontrol harga rumah hunian, pihak berwenang (pemerintah China dan Partai Komunis) mengatakan pada Februari bahwa 22 kota terbesar di China hanya dapat melakukan tiga putaran lelang tanah tahun ini.

Pihak berwenang juga sejak itu membatasi tawaran tertinggi untuk menahan harga, sebagai bagian dari tindakan keras besar-besaran di seluruh sektor ketika Presiden Xi Jinping berusaha untuk memperbaiki ekses dan ketidakseimbangan dalam ekonomi dan masyarakat China.

Akan tetapi sejak putaran pertama lelang pada Maret-Juni berhasil dilaksanakan, permintaan telah turun karena pengembang yang kekurangan uang memilih untuk menjauh.

Dalam putaran lelang yang sedang berlangsung pada bulan Juni-Oktober, berdasarkan analisis Reuters sekitar 40% dari area yang ditawarkan ditarik kembali atau tidak ada penawar pada 30 September. Jauh lebih besar dibandingkan dengan 5% dari penawaran yang tidak laku di putaran pertama.

NEXT: Apakah Presiden Xi akan Turun Tangan?

(fsd/fsd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular