Bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BoK) pada bulan Agustus lalu menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin ke 0,75%. BoK menjadi bank sentral utama Asia yang menaikkan suku bunga selama pandemi. Kenaikan tersebut juga menjadi yang pertama dalam 3 tahun terakhir.
Para analis melihat kenaikan suku bunga yang dilakukan BoK guna meredam kenaikan harga rumah serta pinjaman rumah tangga.
Kemudian dari Benua Biru, bank sentral Norwegia menjadi yang pertama, kemarin suku bunga acuannya dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% dari sebelumnya 0%. Perekonomian Norwegia yang bangkit dengan cepat bahkan sudah di atas level sebelum pandemi menjadi alasan kenaikan suku bunga.
Bank sentral tersebut juga mengindikasi akan kembali menaikkan suku bunga di bulan Desember, dan ditargetkan mencapai 1,7% pada akhir 2024.
Yang paling agresif dalam menaikkan suku bunga adalah bank sentral Brasil yang sudah menaikkan suku bunga lima kali berturut-turut. Terbaru, kemarin suku bunga dinaikkan sebesar 100 basis poin menjadi 6,25%. Total kenaikan suku bunga bank sentral Brasil sebesar 325 basis poin, bahkan akan menaikkan lagi di tahun depan.
Namun, kenaikan agresif tersebut guna meredam laju inflasi di Brasil yang melesat 9,7% dan berada di level tertinggi dalam lebih dari 5 tahun terakhir. Padahal, perekonomiannya belum pulih benar pasca dihantam pandemi Covid-19.
Pada bulan Selasa (21/9) BI mempertahankan suku bunga acuan 3,5%, yang merupakan rekor terendah sepanjang masa. Kali terakhir BI menurunkan suku bunga pada awal tahun ini, artinya sudah dipertahankan dalam 7 bulan beruntun.
Inflasi di Indonesia yang masih rendah memberikan ruang bagi BI untuk menahan suku bunga di rekor terendah.
Fitch Solutions dalam laporan bulanan edisi Agustus dengan judul Delta Variant a Severe Threat to Asia's Growth Recovery, memprediksi di akhir tahun ini suku bunga BI berada di 3,25%, artinya turun 25 basis poin dari level saat ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini mengumumkan data laju inflasi Indonesia periode Agustus 2021 hanya 0,03% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini membuat inflasi tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 1,59%.
Inflasi tersebut masih cukup jauh di bawah target BI sebesar 3% plus minus 1%. Dengan inflasi yang rendah tersebut, BI malah sebenarnya punya ruang untuk menurunkan suku bunga, tetapi jika itu dilakukan ada risiko akan mengganggu stabilitas rupiah. Sebab kemungkinan terjadi capital outflow.
Di sisi lain, jika suku bunga dinaikkan ada kemungkinan terjadi capital inflow yang bisa membuat rupiah perkasa, sebab imbal hasil berinvestasi di dalam negeri akan menjadi lebih tinggi. Tetapi, jika itu dilakukan, pemulihan ekonomi bisa terancam, sehingga BI belum akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
Dengan suku bunga di rekor terendah saja, penyaluran kredit masih ngos-ngosan, yang menjadi indikasi perekonomian masih lesu. Berdasarkan laporan Uang Bereda (M2) yang dirilis BI Rabu lalu, penyaluran kredit di bulan Agustus tercatat tumbuh, setelah di bulan Juli mengalami pelambatan.
Kredit yang disalurkan di bulan Juli sebesar Rp 5.554, 4 triliun tumbuh 0,3% YoY, lebih lambat dari pertumbuhan bulan Juni 0,4% YoY Sebesar 5.572,8 triliun.
Sementara di bulan Agustus tumbuh sebesar 1% YoY sebesar Rp 5.574,9 triliun. Jika dilihat secara persentase kenaikannya lumayan, tetapi jika dilihat secara nominal sebesarnya tidak jauh berbeda dengan bulan Juni.
Selain itu, kredit untuk korporasi masih mengalami kontraksi sebesar 1,8%, dengan nilai Rp 2.724,3 triliun, lebih baik dari kontraksi bulan sebelumnya 2,5% dengan nilai Rp 2.718,3 triliun.
Kredit korporasi yang masih berkontraksi menjadi indikasi perekonomian yang masih lesu. Sehingga jika suku bunga dinaikkan, ada risiko pertumbuhan kredit kembali melambat, bahkan kontraksi sektor korporasi bisa makin dalam.
Berdasarkan jenis penggunaannya, Kredit Modal Kerja (KMK) tumbuh 1% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,2% YoY. Meski demikian, secara nominal perbedaannya tidak terlalu besar, di bulan Agustus sebesar Rp 2.496,9 triliun, sementara di bulan Juli Rp 2.485,8 triliun.
 Sumber: Bank Indonesia |
Kemudian Kredit Investasi (KI) di mengalami kontraksi 1% YoY, lebih baik dari kontraksi bulan sebelumnya 1,7% YoY. Kredit Konsumsi (KK) mampu mencatat pertumbuhan 2,7% di bulan Agustus.
Suku bunga kredit saat ini dianggap masih tinggi, padahal BI sudah agresif menurunkan suku bunga acuan sejak pandemi melanda Indonesia. Rata-rata tertimbang suku bunga kredit di bulan Agustus sebesar 9,39% turun 5 basis poin dari bulan sebelumnya.
BI sendiri mengharapkan suku bunga kredit agar bisa terus turun.
"Likuiditas di perbankan melimpah. AL (alat likuid)/DPK sangat besar dan terbesar yang pernah terjadi, angkanya 32,67%. Ini melimpah sehingga likuiditas di perbankan tinggi," jelas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Selasa (21/9).
Oleh karena itu, perbankan diminta untuk menyalurkan kredit.
"Ini melimpah, sehingga likuiditas di perbankan tinggi. Salurkan kredit," kata Perry menegaskan.
"Bank Indonesia mengharapkan perbankan untuk terus melanjutkan penurunan suku bunga kredit, sebagai bagian dari upaya bersama untuk mendorong kredit kepada dunia usaha," jelas dia.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Ahead/Behind The Curve?
Pada Agustus lalu, BI memproyeksikan kemungkinan suku bunga naik di akhir tahun depan.
"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).
Dengan proyeksi tersebut BI sebenarnya ahead the curve saat itu.
Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral AS (The Fed).
Pada bulan Juni lalu, The Fed memproyeksikan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023, artinya BI ahead the curve.
Tetapi dalam pengumuman kebijakan moneter terbaru di pekan ini, The Fed kini memproyeksikan suku bunga naik di tahun depan. Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.
Dalam dot plot yang terbaru, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.
Dengan tapering yang kemungkinan dimulai Desember nanti, dan selesai pertengahan tahun depan. Ada kemungkinan The Fed akan menaikkan suku bunga di semester II-2022, dan ada risiko BI menjadi behind the curve.
Jika itu terjadi, maka ada risiko terjadi capital outflow dari Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA