Newsletter

The Fed Tahan Lagi Suku Bunganya, IHSG Lanjut Menguat?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
23 September 2021 06:50
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali ditutup beragam pada perdagangan Rabu (22/9/2021) kemarin. Di mana sentimen negatif yang sebelumnya mendominasi pasar keuangan pada dua hari sebelumnya, mulai berkurang kemarin.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat. Sedangkan rupiah dan harga surat berharga negara (SBN) terpantau melemah.

IHSG ditutup melesat 0,78% ke level 6.108,27 pada perdagangan kemarin. IHSG pun sempat melesat hingga 1% dan kembali ke level psikologisnya di 6.100.

Data perdagangan mencatat nilai transaksi perdagangan kemarin kembali naik menjadi Rp 13,9 triliun. Investor asing kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 463 miliar di pasar reguler, sebanyak 279 saham naik, 221 saham turun dan 155 lainnya stagnan.

Sementara itu, bursa Asia pada perdagangan kemarin ditutup cenderung beragam, di mana indeks Nikkei Jepang memimpin indeks Asia yang melemah. Adapun indeks saham Asia yang ditutup melemah yakni Nikkei Jepang, BSE Sensex India, KLCI Malaysia, dan Straits Times Singapura.

Sedangkan dari indeks saham Asia yang berhasil menguat, IHSG memimpin penguatan indeks Asia pada perdagangan kemarin. Adapun indeks saham Asia yang menguat yakni IHSG, Shanghai Composite China, PSEI Filipina, dan Set Index Thailand.

Sementara untuk pasar saham Hong Kong, Korea Selatan, dan Taiwan tidak dibuka karena sedang libur nasional dalam rangka hari Festival Pertengahan Musim Gugur (Mid-Autumn).

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Rabu (22/9/2021).

Indeks Saham Asia

Sedangkan untuk rupiah pada perdagangan Rabu kemarin ditutup melemah tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS), baik di pasar spot maupun di kurs tengah Bank Indonesia (BI).

Di kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor, rupiah melemah tipis 0,03% ke level Rp 14.249. Sedangkan di pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.240, turun tipis 0,04%.

Akan tetapi, rupiah tidak sendiri. Hampir seluruh mata uang utama Asia tidak bisa meladeni keperkasaan dolar AS. Hanya yuan China, dolar Hong Kong, won Korea Selatan, dan dolar Singapura yang masih bisa menguat.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Rabu (22/9/2021).

Dolar AS vs Asia

Adapun untuk pergerakan harga SBN pada perdagangan kemarin masih ditutup melemah, ditandai dengan berlanjut naiknya imbal hasil (yield). Mayoritas investor kembali melepas SBN pada perdagangan kemarin.

Hanya yield SBN bertenor 3 tahun yang yang masih ramai dikoleksi oleh investor dan mengalami pelemahan yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 3 tahun turun 2,4 basis poin (bp) ke level 3,876% pada perdagangan kemarin.

Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menguat 0,7 bp ke level 6,206% pada kemarin.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Rabu (22/9/2021).

SBN

Kekhawatiran investor terkait dengan risiko penyebaran virus corona (Covid-19) varian delta mulai berkurang, setelah Johnson & Johnson (J&J) melaporkan bahwa suntikan vaksinnya memiliki efektivitas hingga 94%.

Selain itu, kecemasan investor terkait krisis likuiditas Evergrande Group sepertinya mulai berkurang, ditandai dengan kembali menguatnya beberapa pasar saham Asia pada perdagangan kemarin, termasuk IHSG.

Dari agenda ekonomi penting, bank sentral Jepang dan China juga telah mengumumkan kebijakan suku bunga acuan terbarunya kemarin.

Bank sentral China (People Bank of China/PBoC) memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga pinjamannya, di mana suku bunga pinjaman bertenor 1 tahun tetap di level 3,85%, sedangkan suku bunga pinjaman bertenor 5 tahun juga masih di level 4,65%.

Selain China, bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) juga tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah -0,1%.

Namun sebagian besar investor global masih memfokuskan perhatiannya ke rapat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di mana sikap wait and see investor cenderung mempengaruhi pergerakan rupiah dan mata uang Asia lainnya serta juga mempengaruhi pergerakan yield SBN kemarin.

Beralih ke Negeri Paman Sam (Amerika Serikat/AS), bursa saham Wall Street ditutup cerah pada perdagangan Rabu (22/9/2021), setelah bank sentral AS mengindikasikan tidak akan mengurangi secepatnya program stimulus moneter yang telah mendukung ekonomi AS selama pandemi virus corona (Covid-19).

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melonjak 1% ke level 34.258,32, S&P 500 berakhir melesat 0,95% ke posisi 4.395,66, dan Nasdaq Composite China meroket 1,02% ke level 14.896,85.

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level mendekati nol. Para kolega The Fed di Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) sepakat untuk mempertahankan suku bunga acuannya.

Namun The Fed juga mengatakan bahwa kenaikan suku bunga mungkin saja bisa terjadi lebih cepat dari yang diharapkan sebelumnya.

The Fed juga mengatakan bahwa jika kemajuan dalam ekonomi berlanjut seperti yang diharapkan, moderasi dalam pembelian aset mungkin akan segera dilakukan.

"Jika kemajuan berlanjut seperti yang diharapkan pasar, maka Komite akan menilai bahwa moderasi dalam laju pembelian aset akan segera dilakukan," kata The Fed setelah pernyataan pasca-pertemuan The Fed, dikutip dari CNBC International.

The Fed telah membeli obligasi pemerintah (Treasury) sebesar US$ 120 miliar per bulannya sejak awal krisis Covid-19.

"Sementara pengumuman tapering, mungkin akan datang pada November dan mereka tidak melakukannya hari ini di mana mereka hanya mencerminkan sikap komite yang masih dovish," kata Peter Boockvar, kepala investasi di Bleakley Advisory Group, dilansir dari CNBC International.

Wall Street berhasil ditutup lebih tinggi karena The Fed tampaknya tidak terburu-buru menaikkan suku bunga acuannya.

Di lain sisi, proyeksi ekonomi AS yang disebut dot plot menunjukkan sembilan dari 18 anggota FOMC mengharapkan kenaikan suku bunga pada tahun 2022. Angka tersebut naik dari tujuh anggota dalam proyeksi The Fed pada bulan Juni lalu.

Hal ini terjadi setelah ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan dalam pidatonya bahwa "kemajuan lebih lanjut yang substansial" dari inflasi dan lapangan kerja mulai mulai mendekati target.

"Untuk inflasi, kami tampaknya telah mencapai lebih dari kemajuan yang signifikan dan kemajuan substansial lebih lanjut. Bagian dari ujian itu dicapai dalam pandangan saya dan pandangan banyak orang lain," kata Powell dalam pidatonya.

"Pandangan saya sendiri adalah ujian untuk kemajuan substansial lebih lanjut dalam lapangan pekerjaan hampir terpenuhi," tambah Powell.

Masih dari dot plot, The Fed merubah proyeksi pertumbuhan ekonominya pada tahun ini, di mana proyeksi pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) AS pada tahun ini tumbuh mencapai 5,9%, dari sebelumnya diproyeksikan tumbuh 7% pada Juni lalu.

Proyeksi juga mengisyaratkan bahwa anggota FOMC melihat inflasi lebih kuat dari proyeksi sebelumnya pada Juni lalu.

Inflasi inti diproyeksikan meningkat 3,7% pada tahun ini, naik dari perkiraan Juni lalu sebesar 3%. Sedangkan inflasi tahun 2022 diproyeksikan mencapai 2,3%, juga naik dari proyeksi sebelumnya sebesar 2,1%.

Selain dari masih dovish-nya The Fed, sentimen dari krisis likuiditas Evergrande juga mulai membaik setelah manajemen Evergrande secara resmi menyatakan akan membayar kewajibannya tepat waktu.

Saham komoditas memimpin penguatan karena kekhawatiran investor terkait Evergrande mulai mereda. Devon Energy melesat 6,8%, sementara APA melonjak hampir 7,2%. Diamondback Energy, Hess dan Marathon Oil keduanya menguat lebih dari 5%. Wynn Resorts yang terekspos di China melambung sekitar 2,6%.

Namun untuk saham FedEx ditutup ambruk hingga 9%, setelah laba bersihnya anjlok karena kenaikan biaya buruh. Ambruknya saham FedEx juga disebabkan karena perseroan memangkas proyeksi kinerjanya pada tahun 2021.

Pada hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sentimen dari pasar saham Wall Street yang ditutup cerah bergairah pada perdagangan Rabu kemarin.

Bank sentral AS (The Fed) dan para koleganya telah memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuannya mendekati angka nol, sehingga sikap The Fed masih dovish.

Sedangkan dari sisi program pengurangan pembelian obligasi (tapering), The Fed menyatakan bahwa tapering dapat dilakukan pada pertengahan tahun 2022, seiring dengan anggapan bahwa kenaikan suku bunga mungkin saja bisa terjadi lebih cepat dari yang diharapkan sebelumnya.

Sementara itu dari proyeksi pertumbuhan ekonomi AS atau dot plot, pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada tahun ini juga perlu dicermati oleh pasar, di mana The Fed memangkas proyeksi ekonomi AS pada tahun ini menjadi 5,9%.

Proyeksi juga mengisyaratkan bahwa anggota FOMC melihat inflasi lebih kuat dari proyeksi sebelumnya pada Juni lalu.

Inflasi inti diproyeksikan meningkat 3,7% pada tahun ini, naik dari perkiraan Juni lalu sebesar 3%. Sedangkan inflasi tahun 2022 diproyeksikan mencapai 2,3%, juga naik dari proyeksi sebelumnya sebesar 2,1%.

Di lain sisi dari perkembangan seputar krisis likuiditas Evergrande, sepertinya kekhawatiran pasar mulai mereda, apalagi setelah pihak manajemenEvergrande secara resmi menyatakan akan membayar kewajibannya tepat waktu.

Unit utama Evergrande, yakni Henda mengumumkan kemarin bahwa pihaknya akan membayar kupon obligasi pada Kamis (23/9/2021) nanti, meskipun pembayaran bunga obligasi dalam denominasi dolar AS masih belum ada kepastian.

Krisis likuiditas Evergrande membuat pasar saham global terkoreksi parah hingga dua hari beruntun, karena investor melakukan aksi sell-off sebagai bentuk rasa cemas.

Sementara itu dari data ekonomi yang akan dirilis di global, mayoritas data ekonomi yang akan dirilis pada hari ini adalah data flash reading Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) manufaktur dan jasa pada periode September 2021.

Adapun negara-negara yang akan merilis data flash reading PMI manufaktur-jasa pada hari ini adalah Australia, Zona Euro, Inggris, dan AS.

Selain AS, pengumuman kebijakan suku bunga acuan terbaru bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga akan dirilis pada hari ini, di mana Tradingeconomics memperkirakan bahwa BoE juga akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 0,1%.

Sementara itu di AS, data klaim pengangguran mingguan yang berakhir pada 18 September juga akan dirilis pada hari ini, di mana polling Dow Jones memperkirakan ada 320.000 orang yang mengajukan klaimnya pada pekan lalu.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Pengumuman suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat periode September 2021 (01:00 WIB),
  2. Proyeksi ekonomi The Fed (01:00 WIB),
  3. Rilis data flash reading PMI Manufaktur Australia periode September 2021 (06:00 WIB),
  4. Rilis data flash reading PMI Jasa Australia periode September 2021 (06:00 WIB),
  5. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Madusari Murni Indah Tbk (10:00 WIB),
  6. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Central Asia Tbk (10:00 WIB),
  7. Rilis data inflasi Singapura periode Agustus 2021 (12:00 WIB),
  8. Rilis data flash reading PMI Manufaktur Zona Euro periode September 2021 (15:00 WIB),
  9. Rilis data flash reading PMI Jasa Zona Euro periode September 2021 (15:00 WIB),
  10. Rilis data flash reading PMI Manufaktur Inggris periode September 2021 (15:30 WIB),
  11. Rilis data flash reading PMI Jasa Inggris periode September 2021 (15:30 WIB),
  12. Pengumuman suku bunga acuan bank sentral Inggris periode September 2021 (18:00 WIB),
  13. Rilis data klaim pengangguran awal periode pekan yang berakhir 18 September 2021 (19:30 WIB),
  14. Rilis data flash reading PMI Manufaktur Amerika Serikat periode September 2021 (20:45 WIB),
  15. Rilis data flash reading PMI Jasa Amerika Serikat periode September 2021 (20:45 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2021 YoY)

7,07%

Inflasi (Agustus 2021, YoY)

1,59%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (September 2021)

3,5%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

-5,17% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021)

-0,8% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020)

US$ -0,4 miliar

Cadangan Devisa (Agustus 2021)

US$ 144,78 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular