Newsletter

Wall Street Ambruk 1% Lebih, Warning Buat IHSG!

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
21 September 2021 06:10
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia terpantau ditutup melemah pada perdagangan Senin (20/9/2021) kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan harga surat berharga negara (SBN) kompak ditutup di zona merah.

IHSG ditutup merosot 0,93% ke level 6.076,31. Namun pada penutupan sesi kedua kemarin, koreksi IHSG cenderung terpangkas. Pada sesi I kemarin, IHSG sempat ditutup ambles 1,17% ke level 6.061,41.

Data perdagangan mencatat nilai transaksi hari ini kembali turun menjadi Rp 12,2 triliun. Sebanyak 152 saham menguat, 386 saham melemah dan 124 lainnya mendatar.

Terpantau investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 212 miliar di pasar reguler. Namun di pasar tunai dan negosiasi, asing tercatat melakukan penjualan bersih sebesar Rp 362 miliar.

Tak hanya terjadi di IHSG, bursa Asia juga secara mayoritas ditutup berjatuhan pada perdagangan kemarin. Indeks saham Hang Seng Hong Kong menjadi yang terburuk dari pelemahan bursa Asia kemarin, yakni ambruk hingga 3,3%.

Sedangkan indeks Nikkei Jepang, Shanghai Composite China, KOSPI Korea Selatan, Weighted Index Taiwan pada perdagangan kemarin tidak dibuka karena sedang libur nasional.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Senin (20/9/2021).

Indeks Saham Asia

Sedangkan untuk rupiah pada perdagangan Senin kemarin juga terpantau melemah, baik di pasar spot maupun di kurs tengah Bank Indonesia.

Pada Senin (20/9/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.251. Rupiah melemah 0,13% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.

Di pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.240 kala penutupan perdagangan. Rupiah terdepresiasi 0,11%.

Rupiah tidak sendiri. Hampir seluruh mata uang utama Asia tidak berdaya di hadapan dolar AS. Hanya yuan China yang mampu bertahan, karena pasar mata uang China juga ditutup pada perdagangan kemarin akibat adanya libur nasional.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Senin (20/9/2021).

Dolar AS vs Asia

Adapun untuk pergerakan harga SBN pada perdagangan kemarin juga ditutup melemah, ditandai dengan kembali naiknya imbal hasil (yield) di hampir seluruh SBN acuan. Mayoritas investor kembali melepas SBN pada perdagangan kemarin.

Hanya yield SBN bertenor 3 tahun yang yang masih dikoleksi oleh investor dan mengalami pelemahan yield. Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 3 tahun turun 2,4 basis poin (bp) ke level 3,887% pada perdagangan hari ini.

Sementara itu, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menguat 1,4 bp ke level 6,177% pada hari ini.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Senin (20/9/2021).

SBN

Koreksi yang terjadi di pasar keuangan RI terjadi karena investor cenderung mengalihkan sentimennya ke pasar keuangan Hong Kong, mengingat pasar keuangan utama Asia tidak dibuka karena sedang libur.

Terutama untuk IHSG, koreksi terjadi mengekor bursa saham Hong Kong yang kebakaran hari ini. Indeks Hang Seng anjlok 3,3%, bahkan sempat ambruk hingga 4% akibat kecemasan investor akan gagal bayarnya raksasa properti China, China Evergrande Group yang memicu terjadinya panic selling.

Belum lama ini, Bloomberg memberitakan, seperti dikutip dari Reuters, otoritas perumahan China telah memberitahukan kepada bank-bank bahwa Evergrande tidak akan mampu membayar bunga pinjaman yang jatuh tempo pada 20 September 2021 karena kesulitan likuiditas.

Meskipun perkembangan pandemi virus corona (Covid-19) RI menunjukkan perbaikan, namun IHSG malah merosot karena sentimen negatif yang datang dari Hong Kong.

Kemarin, tercatat ada tambahan 2.234 kasus baru. Namun kasus aktif yang masih dirawat berkurang 4.097 orang, menjadi 60.969 orang. Dengan demikian, maka total kasus Covid-19 di Indonesia secara total menjadi 4.190.763 orang.

Namun secara garis besar, pasar cenderung memperhatikan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada Selasa (21/9/2021) hari ini mengenai kebijakan moneter sebulan ke depan.

Polling Reuters memperkirakan suku bunga acuan nasional (BI 7-Day Reverse Repo Rate) bakal dipertahankan di level 3,5%.

Selain itu, pelaku pasar juga cenderung bersikap hati-hati menjelang rapat bank sentral Amerika Serikat (AS) dalam Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) yang akan berlangsung pada Kamis (23/9/2021) mendatang.

Pasar akan memantau apakah akan ada kebijakan-kebijakan tambahan yang dipersiapkan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk mengerem efek buruk dari kebijakan tapering (pengurangan pasokan likuiditas di pasar oleh bank sentral AS).

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup berjatuhan pada perdagangan Senin (20/9/2021) awal pekan ini, setelah investor kian menyingkir dari pasar saham di tengah meningkatnya risiko pasar.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambles 1,78% ke level 33.970,47, sedangkan S&P 500 ambruk 1,7% ke level 4.357,66 dan Nasdaq Composite anjlok 2,19% ke posisi 14.713,9.

Investor mengkhawatirkan dampak ambruknya raksasa properti China Evergrande Group yang nyaris gagal bayar (default). Indeks Hang Seng pun sempat terpelanting hingga 4% pada perdagangan kemarin. Indeks kecemasan pasar, Cboe Volatility index, melompat di atas level 26, menjadi yang tertinggi sejak Mei.

Pasar juga mengkhawatirkan kegagalan persetujuan untuk memperlonggar batas penarikan utang pemerintah AS, untuk mencegah terhentinya layanan publik karena tak ada pemasukan untuk menggaji para pegawai negeri mereka.

Sementara itu dari perkembangan pandemi virus corona (Covid-19) di AS, sentimen kembali memburuk di mana kasus Kasus Covid-19 akibat penyebaran varian delta kembali menyentuh level pada Januari awal tahun ini saat cuaca dingin mendekat di Amerika Utara.

Saham Bank of America dan JPMorgan Chase ambles masing-masing 3,4% dan 3% pada penutupan perdagangan Senin kemarin. Harga obligasi juga menguat sehingga imbal hasil (yield) surat utang tenor 10 tahun yang menjadi acuan pasar turun 6 basis poin menjadi 1,31%.

Di lain sisi, saham energi juga ditutup jatuh karena harga minyak mentah WTI merosot hampir 2% di tengah kekhawatiran tentang prospek ekonomi global.

Sektor energi merosot 3%, menjadi grup dengan kinerja terburuk di antara 11 grup S&P 500. Saham APA turun lebih dari 6%, sementara Occidental Petroleum dan Devon Energy keduanya turun lebih dari 5%.

"Kami menilai transisi siklus pertengahan akan berakhir dengan berlanjutnya koreksi yang akhirnya memukul indeks S&P 500," tutur Mike Wilson, Kepala Perencana Ekuitas Morgan Stanley, seperti dikutip CNBC International.

Secara historis, pasar saham pada bulan September memang dianggap sebagai bulan yang cenderung dihindari oleh pelaku pasar. Untuk perdagangan Saham pada September tahun ini, Dow Jones ambles 3,9%, S&P 500 ambruk 3,7%, dan Nasdaq Composite ambrol 3,6%.

Pasar global memantau rapat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada periode September yang akan dimulai pada Selasa hari ini waktu setempat. Konferensi pers akan digelar pada Rabu waktu setempat, untuk mengumumkan kebijakan moneter dan diduga akan mulai menyinggung jadwal tapering.

Ketua The Fed, Jerome Powell sebelumnya telah mengatakan bahwa kebijakan pengurangan pembelian obligasi di pasar (tapering) bisa dijalankan tahun ini tetapi investor menunggu komentar Powell terkait dengan rilis data inflasi dan pengangguran terbaru.

Indeks S&P 500 setiap September turun rata-rata 0,4%, menjadi bulan terburuk, menurut Almanac terbitan Stock Trader's. Pemicu volatilitasnya adalah masuknya periode kedaluwarsa kontrak berjangka saham opsi, dan lainnya.

Pada hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sentimen dari pasar saham Wall Street yang ditutup berjatuhan pada perdagangan Senin (20/9/2021) kemarin, di mana koreksinya Wall Street hingga lebih dari 1% disebabkan karena pasar semakin pesimis di tengah meningkatnya risiko pasar.

Hal ini ditandai dengan indeks Cboe Volatility yang tercatat melonjak di atas level 26, tertinggi sejak Mei 2021, menandakan bahwa investor kembali khawatir dengan prospek pemulihan ekonomi global.

Selain dari indeks Cboe Volatility, kekhawatiran investor di AS juga dapat dilihat dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (Treasury) pada perdagangan kemarin, di mana yield Treasury benchmark bertenor 10 tahun melemah 6 basis poin ke level 1,31%.

Turunnya yield obligasi menandakan bahwa investor tengah memburu aset aman (safe haven) tersebut dan membuat harganya menguat.

Biasanya, obligasi cenderung diburu oleh investor karena mereka menilai bahwa risiko pasar semakin meningkat dan prospek pemulihan ekonomi kembali memudar.

Di lain sisi, ambruknya harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) juga perlu dicermati oleh pasar pada hari ini, mengingat hal tersebut menyebabkan sektor saham energi di bursa Wall Street juga ikut ambruk.

Namun, di tengah sikap investor yang mulai melakukan aksi ambil untung (profit taking), sebenarnya investor sedang menanti rapat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada periode September yang akan dimulai pada Selasa hari ini waktu setempat.

Konferensi pers akan digelar pada Rabu waktu setempat, untuk mengumumkan kebijakan moneter dan diduga akan mulai menyinggung jadwal tapering.

Ketua The Fed, Jerome Powell sebelumnya telah mengatakan bahwa kebijakan pengurangan pembelian obligasi di pasar (tapering) bisa dijalankan tahun ini tetapi investor menunggu komentar Powell terkait dengan rilis data inflasi dan pengangguran terbaru.

Sementara itu di Asia, kabar dari kasus potensi gagal bayar (default) dari perusahaan raksasa properti China, China Evergrande Group masih akan menjadi sentimen negatif yang akan hadir di pasar keuangan Asia pada hari ini, mengingat beberapa pasar keuangan utama seperti China dan Korea Selatan tidak dibuka karena masih libur nasional.

Pasar sepertinya akan kembali memantau pergerakan bursa saham Hong Kong pada hari ini, setelah pada perdagangan kemarin sempat ambruk hingga 4% lebih akibat panic selling investor akibat respons dari kasus potensi default Evergrande.

Sementara itu dari dalam negeri, perhatian utama pasar hari ini tertuju pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada siang hari ini mengenai kebijakan moneter sebulan ke depan. Polling Reuters memperkirakan suku bunga acuan nasional (BI 7-Day Reverse Repo Rate) bakal dipertahankan di level 3,5%.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1.       Notulen Rapat Reserve Bank of Australia (08:30 WIB),
  2.       Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Waskita Karya (Persero) Tbk (10:00 WIB),
  3.       Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Anugerah Kagum Karya Utama Tbk (13:30 WIB),
  4.       Pengumuman Suku Bunga Bank Indonesia (14:30 WIB),
  5.       Rilis data Transaksi Berjalan Amerika Serikat periode Agustus 2021 (19:30 WIB),
  6.       Rilis data pembangunan hunian baru Amerika Serikat periode Agustus 2021 (19:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2021 YoY)

7,07%

Inflasi (Agusuts 2021, YoY)

1,59%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2021)

3,5%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

-5,17% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021)

-0,8% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020)

US$ -0,4 miliar

Cadangan Devisa (Agustus 2021)

US$ 144,78 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular