Sempat Melesat ke Rp 14.180/US$, Rupiah Akhirnya Tumbang!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 September 2021 15:28
Dollar-Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Kamis (16/9). Tetapi seiring berjalannya waktu, penguatan rupiah terpangkas hingga akhirnya tumbang.

Melansir data Refinitiv, begitu bel perdagangan berbunyi rupiah melesat 0,42% ke Rp 14.180/US$. Sayangnya level tersebut menjadi yang terkuat pada hari ini, Mata Uang Garuda terus mengendur hingga hingga akhirnya melemah 0,07% ke Rp 14.250/US$ di penutupan. 

Tanda pelambatan ekonomi AS semakin terlihat jelas membuat dolar AS tertekan, rupiah pun sukses menguat tajam di awal perdagangan.

"Kenyataannya tidak ada panduan selain dengan indikator ekonomi yang buruk, yang berarti pemulihan dari pandemi melambat lebih dalam ketimbang ekspektasi akibat corona delta," kata Juan Perez, ahli strategi mata uang di Tempus Inc, di Washington, sebagaimana dilansir CNBC International.

Meski dolar AS sedang tertekan, tetapi penguatan tajam rupiah apalagi sampai ke bawah Rp 14.200/US$ tentunya memicu aksi ambil untung (profit taking) atau pun pending order, sebab status rupiah sebagai mata uang emerging market.

Seandainya benar perekonomian AS melambat, maka perekonomian global bisa terseret juga, saat itu terjadi mata uang emerging market menjad tidak diuntungkan. Justru dolar AS yang akan menjadi incaran pelaku pasar karena menyandang status safe haven.

Rilis inflasi AS menjadi data terbaru yang menunjukkan pelambatan ekonomi Paman Sam. Kementerian Ketenagakerjaan AS Selasa lalu melaporkan inflasi inti pada Agustus 2021 adalah 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Melambat dibandingkan Juli 2021 yang sebesar 0,3% dan menjadi yang terendah dalam enam bulan terakhir. Selain itu, inflasi inti tersebut lebih rendah dari hasil survei Reuters terhadap para ekonom sebesar 0,3%.

Dibandingkan dengan Agustus 2020 (year-on-year/yoy), laju inflasi inti adalah 4%. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4,3% dan menjadi yang terendah dalam tiga bulan terakhir, dan lebih rendah dari ekspektasi 4,2%.

Selain menunjukkan pelambatan ekonomi, inflasi yang semakin rendah juga membuat bank sentral AS (The Fed) tidak perlu buru-buru melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).

"Kita menanti rapat kebijakan moneter The Fed pekan depan, itu tetap akan menjadi fokus utama. Saya pikir sebelum pengumuman tersebut, dolar AS tidak akan mengalami pergerakan besar, baik menguat atau pun melemah," kata Shinichiro Kadota, ahli strategi di Barclays Tokyo, sebagaimana dilansir CNBC International.

Dengan rilis data inflasi yang melambat, dan data tenaga kerja yang mengecewakan awal bulan ini membuat rapat The Fed kali ini disebutkan antiklimaks.

Tetapi, bukan berarti tidak akan penting, kejutan bisa saja terjadi. Selain itu, Suki Cooper, analis dari Standard Chartered Bank melihat tapering baru akan diumumkan pada bulan November, tetapi rapat kebijakan moneter The Fed bulan ini akan berisi dot plot, yakni proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Sehingga tetap akan menjadi perhatian besar bagi pelaku pasar.

"Meski pengumuman tapering tidak akan dilakukan hingga bulan November, rapat kebijakan The Fed bulan ini akan memberikan proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Dan proyeksinya akan sama dengan tahun 2023, yakni dua kali kenaikan suku bunga," kata Cooper.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Fitch Solutions Prediksi Rupiah Bakal ke Rp 14.000/US$

Kabar baik bagi rupiah Fitch Solutions memprediksi Mata Uang Garuda akan berada di Rp 14.000/US$ di akhir tahun ini.

Jika dilihat dari posisi penutupan perdagangan Rabu kemarin di RP 14.240/US$, rupiah berjarak sekitar 1,7% dari level psikologis Rp 14.000/US$. Tetapi level tersebut bukan merupakan yang terbaik bagi rupiah, sebab di awal tahun ini pernah menyentuh Rp 13.855/US$.

Proyeksi terbaru Fitch Solution tersebut lebih kuat ketimbang bulan sebelumnya di Rp 14.300/US$. Yang menarik, meski saat nilai tukar rupiah diproyeksikan menguat, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru dipangkas, begitu juga dengan Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan akan kembali memangkas suku bunga.

Melihat proyeksi-proyeksi tersebut, artinya penguatan rupiah di sisa tahun ini kemungkinan akan terjadi akibat lesunya dolar Amerika Serikat (AS). Tidak hanya rupiah, beberapa mata uang Asia lainnya seperti ringgit Malaysia, won Korea Selatan, dan dolar Taiwan juga diprediksi menguat.

Dalam laporan bulanan edisi Agustus dengan judul Delta Variant a Severe Threat to Asia's Growth Recovery, Fitch Solution memprediksi produk domestik bruto (PDB) Indonesia di tahun ini akan tumbuh 4,38%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 4,5%. Salah satu penyebab pemangkasan tersebut adalah penyebaran virus corona sejak Juli lalu, yang membuat pemerintah mengetatkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Hal yang sama membuat proyeksi PDB Malaysia juga dipangkas menjadi 4,95% di tahun ini,m dari sebelumnya 5,5%. Tetapi, ringgit Malaysia justru diperkirakan akan menguat ke RM 4,05/US$, dari sebelumnya RM 4,08/US$.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) yang sudah menahan suku bunga acuan 3,5% dalam 6 bulan beruntun diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,25%.

Ketika suku bunga diturunkan, maka imbal hasil (yield) obligasi akan ikut menurun sehingga ada risiko aliran investasi ke pasar obligasi tersendat. Tetapi di sisi lain, bunga pinjaman juga bisa ikut menurun, yang membuat roda perekonomian semakin bergeliat.

Inflasi yang rendah bisa menjadi salah satu alasan BI diperkirakan kembali memangkas suku bunga. Fitch Solutions memprediksi rata-rata inflasi Indonesia tahun ini sebesar 2,27%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular