Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 membuat sektor kesehatan tumbuh positif. Bisnis farmasi, laboratorium diagnostik hingga rumah sakit (RS) ikut ketiban berkahnya. Sektor ini pun menjadi buruan para konglomerat RI.
Kabar terbarunya adalah masuknya keluarga konglomerat Eddy Kusnadi Sariaatmadja, bos Group Emtek, yang berkomitmen untuk membeli 66% saham PT Kedoya Adyaraya Tbk (RSGK) lewat sayap usaha rumah sakitnya Omni Hospital di bawah bendera PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk (SAME).
Berdasarkan data keterbukaan BEI, SAME telah menggelontorkan uang sebesar Rp 287,82 miliar untuk mengakuisisi 18% saham RSGK di harga pembelian Rp 1.720/lembar saham. Ini merupakan tahap kedua. Di tahap pertama SAME tercatat sudah masuk ke emiten RSGK dengan kepemilikan minoritas 0,49%.
Didukung dengan sentimen positif yang berpeluang besar mendongkrak kinerja keuangan RS, investor dan konglomerat berupaya untuk melebarkan sayapnya dengan memanfaatkan momentum pandemi.
Lantas haruskah investor ritel juga berburu saham-saham rumah sakit?
Jawabannya tentu tergantung pada horizon investasi dari masing-masing investor ritel.
Jika memilih menjadi trader yang short term. Aksi korporasi seperti akuisisi emiten rumah sakit serta euforia investor di saham-saham kesehatan bisa dimanfaatkan untuk meraup cuan.
Perlu diperhatikan siapakah konglomerat atau investor strategis yang masuk?
Apabila investor yang masuk adalah investor yang bonafid maka ini bisa jadi sentimen positif yang bisa mengerek saham emiten tersebut paling tidak dalam jangka pendek terutama apabila pembelian terjadi di harga premium.
Sedangkan jika ingin menjadi investor dengan time frame-nya jangka panjang, maka investor ritel perlu terlebih dahulu mengevaluasi kinerja fundamental, prospek bisnis emiten rumah sakit, serta valuasinya.
NEXT: Begini Analisisnya
Mayoritas emiten rumah sakit tahun ini memang membukukan kinerja yang amat cemerlang karena pandemi. Akan tetapi salah satu emiten rumah sakit yang kinerja fundamentalnya mentereng bahkan jika dibandingkan dengan RS lain adalah PT Bundamedik Tbk (BMHS).
Laba bersih BMHS pada paruh pertama tahun ini melonjak 752,48% secara tahunan (year on year/yoy).
Kinerja bottom line yang solid ini ditopang oleh peningkatan pesat pendapatannya. Lebih rinci, pendapatan Bundamedik disumbang dari 4 pos, yakni rawat inap, rawat jalan, dan fertilisasi in vitro, dan hotel.
Dari pos rawat inap, pendapatan dari obat dan perlengkapan medis menjadi penyumbang terbesar, yakni mencapai Rp 117,48 miliar pada semester I tahun ini.
Di posisi kedua ada pendapatan administrasi lainnya sebesar Rp 98,18 miliar. Lalu, di posisi ketiga, pendapatan jasa penunjang medis dan tenaga ahli sebesar Rp 84,94 miliar.
Selanjutnya, dari pos rawat jalan, pendapatan jasa penunjang medis dan tenaga ahli menjadi penyokong terbesar dengan besaran Rp 112,49 miliar. Sementara, pendapatan dari obat dan perlengkapan medis menyumbang Rp 90,09 miliar pada paruh pertama 2021.
Kemudian, dari pos fertilisasi in vitro, pendapatan fertilisasi dan klinik masih menjadi andalan BMHS, dengan sumbangan pendapatan Rp 200,27 miliar pada semester I tahun ini. Kenaikan pendapatan yang fantastis masih mampu menutupi kenaikan beban pokok penjualan yang mencapai 60,26% yoy.
Emiten rumah sakit BMHS ini memang baru seumur jagung melantai di bursa domestik.
Belum genap 3 bulan emiten ini listing, harga sahamnya sudah melesat 226%. Selain karena kenaikan kinerja fundamental yang signifikan, diketahui bahwa saham BMHS juga dimiliki investor strategis yaitu Northstar Group.
Akasya Investments Limited (AIL), perusahaan investasi milik Grup Northstar yang didirikan Patrick Sugito Walujo dan Glenn Sugita, juga tercatat menggenggam 4,90% saham BMHS. Mengutip pemberitaan CNBC Indonesia pada 2 Agustus lalu, AIL masuk ke BMHS lewat konversi obligasi menjadi saham perusahaan.
Selain itu apabila emiten memiliki rencana digitalisasi tentunya menjadi nilai tambah bagi para investor.
Apalagi jika sang parent company memiliki ekosistem lengkap beserta startup health-tech yang dapat diintegrasikan ke dalam RS maka ini akan semakin mendukung sentimen positif tambahan.
SAME yang dikendalikan oleh Emtek sempat dirumorkan akan diintegrasikan dengan startup tele-medicine milik EMTK.
Kemudian yang tak ketinggalan pentingnya adalah soal valuasi perusahaan.
Investor ritel perlu mempertimbangkan valuasi emiten. Apakah terbilang undervalued atau premium. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat valuasi intrinsik maupun relatifnya terhadap peers.
Berikut tabel relative valuation berbagai emiten rumah sakit berdasarkan price to earnings (PER) maupun price to book value (PBV) yang ada di Indonesia.
Emiten | Harga | PER | PBV |
BMHS | Rp 1.110/unit | 35,42x | 7,44x |
CARE | Rp 420/unit | 446,81x | 4,21x |
HEAL | Rp 1.220/unit | 16,69x | 4,35x |
MIKA | Rp 2.370/unit | 27,32x | 5,19x |
PRIM | Rp 314/unit | 16,85x | 1,16x |
SAME | Rp 540/unit | 46,79x | 3,85x |
SILO | Rp 8.800/unit | 24,15x | 2,29x |
SRAJ | Rp 284/unit | 12,50x | 1,81x |
Median | 25,74x | 4,03x |
Jika melihat secara valuasi berdasarkan PER maka yang relatif lebih murah dibandingkan median industrinya ada HEAL (Medikaloka Hermina), PRIM (Royal Prima), SILO (Siloam Hospitals) dan SRAJ (Sejahteraraya Anugrahjaya/Mayapada). Sedangkan dengan metrik PBV maka yang terbilang murah ada emiten PRIM, SAME, SILO dan SRAJ.
Namun perlu diingat jika hasil valuasi di atas tak bisa ditelan mentah-mentah karena perlu pula dilakukan pertimbangan model bisnis tiap emiten sehingga bisa digunakan untuk memilih metrik valuasi yang paling tepat.
Di sisi lain apabila ada emiten yang cenderung premium juga tak bisa serta merta dihindari karena harus dianalisis lebih lanjut kenapa valuasinya premium dan layakkah mendapat valuasi premium tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA