Analisis

Fenomena Sell Off Mata Uang di Depan Mata, Rupiah Keok?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 September 2021 06:50
Chatib Basri
Foto: Chatib Basri

Hasil survei Reuters tersebut juga menunjukkan mayoritas mata uang emerging market diperkirakan melemah dalam 3 hingga 6 bulan ke depan, termasuk mata uang yang disebut "fragile five" yakni real Brasil, rupee India, lira Turki, rand Afrika Selatan, dan rupiah.

Dari sisi kebijakan, BI sebetulnya sudah menyiapkan berbagai amunisi yang dikenal dengan triple intervention yang meliputi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Menurut ekonom senior Chatib Basri yang juga Menteri Keuangan Indonesia periode 21 Mei 2013 hingga 20 Oktober 2014, pelaku pasar juga telah membaca arah pelemahan tersebut.

Belajar dari 2013, ketika ada isu tapering, maka opsi yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalkan defisit fiskal dan menaikkan suku bunga acuan.

Sekarang, kedua opsi tersebut tidak mungkin dilakukan karena mampu menahan pemulihan ekonomi nasional. "Maka opsi yang bisa dilakukan itu hanya membiarkan rupiah pelan-pelan terdepresiasi," terang Chatib.

Menghadapi normalisasi kebijakan The Fed, BI juga sekali lagi menunjukkan sikap ahead the curve. Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.

"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptive dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali," papar Perry saat menaikkan suku bunga pada Mei 2018.

Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral AS (The Fed).

Sikap tersebut kembali ditunjukkan Perry pagi ini yang membuka peluang kenaikan suku bunga di akhir 2022.

Sejak pandemi virus corona mendera Indonesia tahun lalu, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 basis poin (bps). Kini BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di 3,5%, terendah sepanjang sejarah.

Namun MH Thamrin sudah mulai memikirkan mengenai kapan mengakhiri kebijakan moneter ekspansif. Jika data yang ada mendukung, maka bukan tidak mungkin suku bunga mulai dinaikkan pada akhir tahun depan.

"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).

Dengan proyeksi tersebut, artinya BI akan lebih dulu menaikkan suku bunga ketimbang The Fed. Sebab, The Fed baru akan menaikkan suku bunga pada tahun 2023.

Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot dalam rapat kebijakan moneter edisi Juni, di mana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 di antaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular