Gegara "Taper Tantrum Mini" Laju Impresif Rupiah Terhenti

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 September 2021 15:54
FILE PHOTO: A U.S. one-hundred dollar bill (C) and Japanese 10,000 yen notes are spread in Tokyo, in this February 28, 2013 picture illustration. REUTERS/Shohei Miyano/File Photo
Foto: REUTERS/Shohei Miyano

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah membukukan penguatan 4 hari beruntun, rupiah akhirnya melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (8/9/2021).

Masyarakat Indonesia yang semakin tidak percaya diri menatap perekonomian membuat rupiah yang sebelumnya tertekan akibat "taper tantrum mini" melemah cukup dalam.

Begitu bel perdagangan berbunyi, rupiah langsung melemah 0,14% ke Rp 14.230/US$. Depresiasi Mata Uang Garuda kemudian makin tebal hingga 0,42% di Rp 14.370/US$. Di akhir perdagangan, rupiah berada di Rp 14.250/US$ melemah 0,28% di pasar spot. 

Masyarakat Indonesia semakin tidak pede menghadapi situasi ekonomi saat ini dan beberapa bulan ke depan. Hal in tercermin dari Survei Konsumen yang digelar Bank Indonesia. Pada periode Agustus 2021, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berada di 77,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 80,2.

IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Jika di bawah 100, maka artinya konsumen pesimistis memandang prospek perekonomian saat ini hingga enam bulan mendatang.

"Survei Konsumen Bank Indonesia pada Agustus 2021 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi masih tertahan, seiring dengan berlanjutnya kebijakan pembatasan mobilitas pada periode survei untuk mengatasi penyebaran varian Delta Covid-19. Hal ini tercermin pada Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Agustus 2021 sebesar 77,3, lebih rendah dibandingkan dengan 80,2 pada Juli 2021," sebut keterangan tertulis BI yang dirilis Rabu (8/9/2021).

Sementara itu, isu tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) masih menjadi salah satu penggerak utama rupiah. Penguatan tajam rupiah sejak pekan lalu tidak lepas dari ekspektasi bank sentral AS (The Fed) baru akan melakukan tapering pada akhir tahun ini, bahkan mungkin mundur hingga tahun depan.

Tapering pernah terjadi pada tahun 2013, saat itu pasar finansial global bergejolak yang disebut taper tantrum. Yield obligasi AS (Treasury) kala itu naik tajam, aliran modal keluar dari negara emerging market menuju Amerika Serikat, dolar AS menjadi sangat perkasa, aset-aset lain rontok.

Kemarin, terjadi "taper tantrum mini". Yield Treasury tenor 10 tahun melesat lebih dari 5 basis poin ke 1,3766% yang merupakan level tertinggi sejak pertengahan Juli lalu. Alhasil, indeks dolar AS melesat 0,52%, artinya the greenback menguat cukup tajam.

Bursa saham AS (Wall Street) terpuruk. Harga emas dunia ambrol hingga 1,6%, bitcoin bahkan ikut jeblok hingga 10%.

"Taper tantrum mini" tersebut akhirnya membuat rupiah melemah.

Masih terkait tapering dan taper tantrum, mata uang emerging market yang memiliki imbal hasil tinggi begitu juga dengan risikonya diperkirakan akan mengalami volatilitas yang tinggi, serta aksi jual (sell off) dalam 3 bulan ke depan.

Reuters mengadakan survei pada periode 30 sampai 2 Agustus, mayoritas mengatakan pelemahan dolar AS hanya bersifat sementara, sebab ketika The Fed resmi melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) maka hal itu akan mendorong kenaikan yield obligasi AS (Treasury).

Sebanyak 80% dari 57 analis yang disurvei mengatakan volatilitas akan meningkat 3 bulan ke depan. Sementara itu sebanyak 55% dari 58% analis mengatakan sell off mata uang emerging market mungkin akan terjadi, dan 3% mengatakan sangat mungkin.

Tapering pasti akan terjadi, tetapi banyak analis melihat taper tantrum seperti 2013 tidak akan terjadi lagi.

Tetapi ada juga analis yang melihat dampak tapering kali ini akan sama seperti tahun 2013 ke mata uang emerging market.

"Kami tidak setuju dengan yang percaya posisi emerging market saat ini lebih tahan banting ketimbang taper tantrum 2013," kata Rob Subbaraman, kepala ekonom di Nomura, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (3/9/2021).

Hasil survei tersebut juga menunjukkan mayoritas mata uang emerging market diperkirakan melemah dalam 3 hingga 6 bulan ke depan, termasuk mata uang yang disebut "fragile five" yakni real Brasil, rupee India, lira Turki, rand Afrika Selatan, dan rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular