
Fenomena Sell Off Mata Uang di Depan Mata, Rupiah Keok?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah akhirnya melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu kemarin (8/9/2021) setelah membukukan penguatan 4 hari beruntun.
Pelemahan rupiah ini bersamaan dengan rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang turun dan menandakan masyarakat Indonesia yang semakin tidak percaya diri dalam menatap ekonomi. Turunnya IKK membuat rupiah yang sebelumnya tertekan akibat 'taper tantrum mini' melemah cukup dalam.
Begitu bel perdagangan berbunyi, rupiah langsung melemah 0,14% ke Rp 14.230/US$.
Depresiasi Mata Uang Garuda kemudian makin tebal hingga 0,42% di Rp 14.370/US$. Mengacu data Refinitiv, di akhir perdagangan sore kemarin, rupiah berada di Rp 14.250/US$ melemah 0,28% di pasar spot.
Masyarakat Indonesia semakin tidak pede menghadapi situasi ekonomi saat ini dan beberapa bulan ke depan. Hal in tercermin dari Survei Konsumen yang digelar Bank Indonesia. Pada periode Agustus 2021, IKK berada di 77,3, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 80,2.
IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Jika di bawah 100, maka artinya konsumen pesimistis memandang prospek perekonomian saat ini hingga 6 bulan mendatang.
![]() Polling Reuters soal mata uang emerging, 8 September 2021 |
Waspada Rupiah
Terkait dengan rupiah dan mata uang emerging market (EM, negara berkembang) yang memiliki imbal hasil tinggi diperkirakan akan mengalami volatilitas yang tinggi, serta aksi jual (sell off) dalam 3 bulan ke depan.
Sebabnya, bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) yang akan melakukan tapering.
Reuters mengadakan survei pada periode 30 sampai 2 Agustus, mayoritas mengatakan pelemahan dolar AS hanya bersifat sementara, sebab ketika The Fed resmi melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) maka hal itu akan mendorong kenaikan yield obligasi AS (Treasury).
Sebanyak 84% dari 57 analis yang disurvei mengatakan volatilitas akan meningkat 3 bulan ke depan. Sementara itu sebanyak 55% dari 58% analis mengatakan sell off mata uang emerging market mungkin akan terjadi, dan 3% mengatakan sangat mungkin.
Tapering pernah terjadi pada tahun 2013, saat itu pasar finansial global bergejolak yang disebut taper tantrum. Yield (imbal hasil) obligasi AS (Treasury) kala itu naik tajam, aliran modal keluar dari negara emerging market menuju Amerika Serikat, dolar AS menjadi sangat perkasa, aset-aset lain rontok.
Selasa lalu (7/9), terjadi "taper tantrum mini". Yield Treasury tenor 10 tahun melesat lebih dari 5 basis poin ke 1,3766% yang merupakan level tertinggi sejak pertengahan Juli lalu. Alhasil, indeks dolar AS melesat 0,52%, artinya the greenback menguat cukup tajam.
Bursa saham AS (Wall Street) pun terpuruk. Harga emas dunia ambrol hingga 1,6%, bitcoin bahkan ikut jeblok hingga 10%.
"Taper tantrum mini" tersebut akhirnya membuat rupiah melemah pada perdagangan Rabu kemarin.
"Kami tidak setuju dengan yang percaya posisi emerging market saat ini lebih tahan banting ketimbang taper tantrum 2013," kata Rob Subbaraman, kepala ekonom di Nomura, sebagaimana dilansir Reuters.
NEXT: Apa Kata Chatib Basri dan Apa Langkah BI?
Hasil survei Reuters tersebut juga menunjukkan mayoritas mata uang emerging market diperkirakan melemah dalam 3 hingga 6 bulan ke depan, termasuk mata uang yang disebut "fragile five" yakni real Brasil, rupee India, lira Turki, rand Afrika Selatan, dan rupiah.
Dari sisi kebijakan, BI sebetulnya sudah menyiapkan berbagai amunisi yang dikenal dengan triple intervention yang meliputi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Menurut ekonom senior Chatib Basri yang juga Menteri Keuangan Indonesia periode 21 Mei 2013 hingga 20 Oktober 2014, pelaku pasar juga telah membaca arah pelemahan tersebut.
Belajar dari 2013, ketika ada isu tapering, maka opsi yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalkan defisit fiskal dan menaikkan suku bunga acuan.
Sekarang, kedua opsi tersebut tidak mungkin dilakukan karena mampu menahan pemulihan ekonomi nasional. "Maka opsi yang bisa dilakukan itu hanya membiarkan rupiah pelan-pelan terdepresiasi," terang Chatib.
Menghadapi normalisasi kebijakan The Fed, BI juga sekali lagi menunjukkan sikap ahead the curve. Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.
"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptive dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali," papar Perry saat menaikkan suku bunga pada Mei 2018.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral AS (The Fed).
Sikap tersebut kembali ditunjukkan Perry pagi ini yang membuka peluang kenaikan suku bunga di akhir 2022.
Sejak pandemi virus corona mendera Indonesia tahun lalu, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 basis poin (bps). Kini BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di 3,5%, terendah sepanjang sejarah.
Namun MH Thamrin sudah mulai memikirkan mengenai kapan mengakhiri kebijakan moneter ekspansif. Jika data yang ada mendukung, maka bukan tidak mungkin suku bunga mulai dinaikkan pada akhir tahun depan.
"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).
Dengan proyeksi tersebut, artinya BI akan lebih dulu menaikkan suku bunga ketimbang The Fed. Sebab, The Fed baru akan menaikkan suku bunga pada tahun 2023.
Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot dalam rapat kebijakan moneter edisi Juni, di mana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 di antaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Berkat Surplus Transaksi Berjalan, Rupiah Menguat Pekan Ini
