Setidaknya ada 20 BUMN dan anak usahanya yang tercatat di papan perdagangan BEI. Belum lagi ditambah konglomerasi lainnya seperti Grup Salim yang merupakan pemilik Indofood dan jaringan Indomaret yang baru-baru ini ikut masuk ke bisnis teknologi.
Lalu Grup Sinarmas dengan segmen bisnis beragam mulai dari properti, keuangan, perkebunan hingga pertambangan, kemudian Grup CT Corp dengan bisnis media, bank hingga sektor ritel.
Beberapa grup besar utama lain termasuk Grup Astra, Grup Lippo hingga Grup Barito, Grup MNC, dan Bakrie juga mencatatkan beberapa emiten di BEI dengan kapitalisasi pasar cukup besar terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Akan tetapi belakangan konglomerasi usaha baru muncul dari implementasi penggunaan teknologi internet.
Kecanggihan internet mampu membuka pasar baru yaitu industri digital dengan teknologi yang tersebar di berbagai sektor mulai dari konsumer hingga perbankan.
Beberapa kelompok usaha baru yang muncul akibat meluasnya penetrasi ekonomi digital Tanah Air termasuk Grup GoTo (Gojek-Tokopedia) dan PT Bukalapak Tbk (BUKA) dari dalam negeri.
Lalu Grup Sea Ltd dari Singapura dan juga gurita bisnis milik Grup Alibaba lewat entitas investasinya PT Akulaku Silvrr Indonesia (Akulaku) di PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) dan di e-commerce Lazada.
Ciri menarik lainnya adalah terdapat bank digital yang siap mengelola dana serta hadirnya superapp untuk memperluas layanan yang ditawarkan.
Berikut Tim Riset CNBC coba merangkum empat konglomerasi usaha raksasa baru yang berpotensi menyalip para emiten-emiten tradisional yang selama ini 'merajai' pasar saham RI.
Grup GoTo merupakan penggabungan antara dua perusahaan startup raksasa yang ditelurkan di dalam negeri. Kedua perusahaan tersebut adalah Gojek (PT Aplikasi Karya Anak Bangsa) dan PT Tokopedia.
Gojek yang awalnya menyediakan layanan transportasi ojek online (ojol) kini berkembang menjadi aplikasi super yang menyediakan beragam layanan kebutuhan sehari-hari mulai dari pemesanan makanan, pembayaran tagihan hingga layanan pemberian sumbangan.
Selain itu Gojek yang didirikan oleh Nadiem Makarim dan Kevin Aluwi ini juga memiliki perusahaan investasi bernama Go-Ventures yang baru saja melakukan suntikan dana ke perusahaan rintisan teknologi NOICE, yang beberapa waktu lalu diakuisisi oleh emiten PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI), milik menteri BUMN Erick Thohir.
Berdasarkan data Crunchbase dari 11 Agustus 2020 hingga 6 September 2021, Go-Ventures telah berinvestasi di 15 startup dengan lima di antaranya merupakan penggalang dana utama. Selain NOICE, beberapa startup yang dimasuki Go-Ventures adalah eFishery, FoodMarketHub dan Pluang.
Perusahaan kedua adalah Tokopedia yang bisnis utamanya berkecimpung di pasar e-commerce yang terus mengalami ekspansi beberapa tahun terakhir.
Selain itu Tokopedia yang didirikan William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison ini juga mulai merambah bisnis logistik melalui TokoCabang yang menyediakan fasilitas penyimpanan barang, pengemasan hingga penyerahan ke kurir.
Grup GoTo juga menaungi GoTo Finansial tempat Gopay dan arisan komunitas digital Mapan bernaung.
Selain itu Grup GoTo juga memiliki sayap perbankan melalui kepemilikan saham di PT Bank Jago Tbk (ARTO). Tercatat hingga akhir Juli 2021, Gojek melalui PT Dompet Karya Anak Bangsa (Gopay) menggenggam 2,96 miliar saham ARTO atau setara dengan kepemilikan 21,40%.
GoTo yang semula sempat diisukan akan melantai di bursa tahun ini, dikabarkan menunda penawaran publik perdana (initial public offering/IPO) hingga tahun depan. Jika resmi melantai GoTo diprediksi dapat masuk dalam lima emiten terbesar di pasar modal.
 Foto: Ekosistem GoTo Ekosistem GoTo |
NEXT: Ada Kubu Bukalapak-Grab-Emtek
Meski tidak serta merta dikuasai dan dikendalikan oleh satu entitas tertentu, kedekatan dan prospek kolaborasi di masa depan dapat dilihat dari aksi investasi yang dilakukan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) atau Grup Emtek.
Emtek yang dikendalikan Keluarga Sariatmadja ini menginvestasikan US$ 375 juta atau sekitar Rp 5,44 triliun (kurs Rp 14.500/US$) di perusahaan ride-hailing yang juga merupakan superapp saingan Gojek, PT Grab Teknologi Indonesia atau Grab Indonesia akhir Juli lalu.
Grup Emtek merupakan pemegang saham mayoritas di Bukalapak, perusahaan e-commerce Indonesia yang baru melantai di BEI pada 6 Agustus silam.
Kepemilikan Emtek di Bukalapak merupakan kepemilikan tidak langsung melalui anak usahanya PT Kreatif Media Karya (KMK) yang menguasai 23,93% saham Bukalapak. Selain Emtek, dana abadi Singapura yakni GIC juga ikut memegang saham Bukalapak.
Bukalapak juga memiliki beberapa bisnis lain yaitu PT Buka Mitra Indonesia, platform B2B (business to business) Bukalapak untuk produk-produk fisik, virtual, keuangan dan logistik, lalu PT Buka Investasi Bersama di bidang jasa finansial berbasis teknologi.
Selanjutnya PT Buka Pengadaan Indonesia dan PT Five Jack perusahaan start-up yang berfokus di bidang gaming.
Selanjutnya terdapat OVO yang semula merupakan metode pembayaran default di Tokopedia. Keluarnya OVO dari Tokopedia bisa saja membuka peluang merger dengan DANA, aplikasi dompet digital lain di ekosistem Bukalapak.
Isu ini berembus setelah Emtek melakukan investasi di Grab yang membuat para investor bertanya-tanya apakah mungkin muncul ekosistem baru anatar Grab dan Bukalapak, yang tentu akan lebih efisien jika menggunakan satu pilihan metode pembayaran utama, mengingat OVO juga merupakan metode pembayaran utama di Grab.
Kabar ini bisa saja tidak benar, karena DANA juga sempat diisukan ditawarkan kepada Grup Sinarmas oleh Emtek. Selain itu, baik dari OVO maupun DANA belum ada yang menyampaikan keinginan merger secara terang-terangan.
NEXT: Jejaring Bisnis Sea Ltd
Sea Limited (Sea Group) merupakan perusahaan induk e-commerce Shopee yang sahamnya tercatat di Bursa New York Stock Exchange (NYSE).
Meskipun bukan perusahaan asli Indonesia dan tidak melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), Sea memiliki gurita bisnis raksasa di Indonesia.
Shopee merupakan saingan utama Tokopedia di Indonesia, dan merupakan e-commerce terbesar di Asia Tenggara.
Belakangan Shopee juga ikut terjun ke segmen pengiriman makanan, sehingga bisa dikatakan sebagai salah satu superapp yang menyediakan beragam layanan.
Sea Group juga memiliki layanan fintech melalui SeaMoney yang ditawarkan di bawah ShopeePay dan SPayLater di Indonesia.
Sea Group kini juga sedang fokus mengembangkan bank digital milik mereka yang dinamai Sea Bank. Awal mula pendirian bank ini adalah ketika Sea Ltd resmi mencaplok PT Bank Kesejahteraan Ekonomi atau dikenal dengan Bank BKE dan mengubahnya menjadi bank digital Seabank Indonesia pada 10 Februari 2021.
Aksi korporasi ini dilakukan semakin gencar dilakukan oleh Sea Group setelah pada awal Desember 2020, grup bisnis yang berbasis di Singapura ini baru saja mendapatkan lisensi perbankan digital secara penuh oleh otoritas moneter Singapura, bersama dengan konsorsium Grab-Singtel.
Selain e-commerce dan perbankan, Sea Group juga meramaikan pasar digital RI melalui perusahaan game milik mereka, Garena. Melalui kesuksesan salah satu game selulernya, Free Fire, yang telah melampaui 1 miliar unduhan di Google Play, segmen game merupakan divisi yang paling menguntungkan dalam Grup Sea.
NEXT: Ada Alibaba
Jaring laba-laba bisnis perusahaan besutan pengusaha Jack Ma sebenarnya tersebar di banyak perusahaan rintisan atau startup Tanah Air lewat pendanaan-pendanaan strategisnya.
Alibaba Group Holding dilaporkan akan menguasai 12,6% saham perusahaan--di posisi kedua setelah SoftBank Group yang menggenggam 15,3% saham GoTo.
Selain itu Alibaba juga menjadi investor di Bukalapak lewat anak usaha Ant Group, API (Hong Kong) Investment Limited yang menggenggam 13,05% saham BUKA pasca-IPO.
Alibaba sudah mengakuisisi Lazada pada 2016 silam dengan menyuntikkan dana sekitar US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 14,3 triliun (kurs Rp 14.300/US$). Setahun kemudian, Alibaba kembali menyuntikkan dana sebesar US$ 1 miliar lagi ke Lazada, sebagaimana dilaporkan CNBC.
Di Indonesia, Lazada bersaing dengan Bukalapak memperebutkan posisi ketiga, dengan pangsa pasar yang jauh lebih kecil dibandingkan Shopee dan Tokopedia.
Akan tetapi secara regional di kawasan Asia Tenggara, Lazada hanya kalah dari Shopee dan unggul dari Bukalapak dan Tokopedia yang masih belum hadir secara resmi di luar Indonesia.
Alibaba juga masuk ke platform fintech Akulaku (PT Akulaku Silvrr Indonesia) lewat Ant Group. Menurut data Crunchbase, Akulaku telah meraup pendanaan US$ 218 juta dalam 8 putaran, setara Rp 3,12 triliun.
Dalam pendanaan terakhir, Akulaku mendapatkan US$ 100 juta atau setara Rp 1,43 triliun pada 10 Januari 2019 di mana pada putaran tersebut Ant Group ikut terlibat.
Saat ini, selain Ant Group Akulaku disokong oleh IDG Capital, Sequoia Capital India, dan 10 investor lainnya. Selain di dalam negeri, Akulaku juga beroperasi di Filipina, Vietnam, dan Malaysia.
Akulaku merupakan pemegang saham di dua emiten bursa, yakni perbankan PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) dan emiten pemilik jasa kurir GED PT Trimuda Nuansa Citra Tbk (TNCA).
Saat ini Akulaku resmi menjadi pemegang saham mayoritas di kedua perusahaan tersebut. Kepemilikan saham Akulaku di TNCA mencapai 31,62%, sedangkan di BBYB sebesar 24,98% serta bertindak sebagai pengendali.
Jika dikelola dengan tepat, sinergi antara Akulaku dan Bank Neo bisa diintegrasikan menjadi layanan solusi pembayaran dan perbankan digital terpadu.
Ditambah dengan adanya marketplace, ekosistem milik Alibaba yang menggabungkan Akulaku, Bank Neo dan Lazada patut diperhitungkan sebagai salah satu konglomerasi yang memiliki kemampuan dan kapabilitas cukup untuk bersaing di pasar digital Tanah Air.
TIM RISET CNBC INDONESIA