Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah mampu mencatat penguatan 1,35% melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang bulan Agustus. Padahal, Mata Uang Garuda cukup terbebani lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) serta Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di dalam negeri, dan isu tapering dari luar negeri.
Meski demikian, penguatan mayoritas penguatan rupiah, yakni 1,05% diraih dalam 2 hari perdagangan terakhir. Itu pun pasca simposium Jackson Hole Jumat pekan lalu, yang membuat dolar AS terpuruk.
Saat itu ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan sepakat dengan mayoritas koleganya jika tapering "akan tepat dilakukan di tahun ini"
Meski demikian, pasar saham AS (Wall Street) justru menguat merespon penyataan tersebut, yang berarti direspon positif oleh pelaku pasar. Artinya, langkah The Fed untuk terus mengkomunikasikan tapering dengan pasar efektif meredam taper tantrum yang mungkin terjadi seperti di tahun 2013.
Selain itu, Powell juga menyatakan saat tapering selesai artinya sudah tidak ada lagi QE, hal tersebut bukan berarti langkah The Fed selanjutnya akan menaikkan suku bunga.
"Waktu mengurangi pembelian aset tidak berarti menjadi pertanda waktu kenaikan suku bunga. Keduanya merupakan hal yang berbesar secara substansial," kata Powell dalam pertemuan Jackson Hole.
Artinya, suku bunga kemungkinan masih akan ditahan di rekor terendah 0,25% dalam beberapa waktu ke depan setelah QE selesai. Hal tersebut lagi-lagi memberikan sentimen positif ke aset-aset berisiko, rupiah pun menjadi perkasa 2 hari terakhir.
Di bulan September, nasib rupiah akan ditentukan 2 faktor penting dari eksternal. Yang pertama tentu saja masalah tapering. The Fed akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (23/9/2021) dini hari waktu Indonesia. Pelaku pasar mengharapkan adanya lebih banyak detail kapan dan bagaimana tapering akan dilakukan.
Powell memang sudah menyebutkan tapering di tahun ini akan tepat, tetapi bulan apa akan dilakukan masih belum disebutkan. Spekulasi yang beredar, tapering baru akan dilakukan di bulan Desember.
Kemudian seberapa besar QE akan dikurangi juga belum diketahui. Saat ini QE The Fed nilainya US$ 120 miliar per bulan. Pada tahun 2013 lalu, saat The Fed di bawah pimpinan Ben Bernanke, tapering dilakukan dengan mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar setiap bulannya.
Intinya, semakin cepat tapering dilakukan, maka rupiah berisiko terpuruk di September, tetapi jika benar baru dimulai Desember, Mata Uang Garuda bisa berjaya lagi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Data Tenaga Kerja AS Jadi Kunci
Sebelum ke pengumuman kebijakan moneter The Fed, satu faktor penting yang akan menentukan nasib rupiah adalah data tenaga kerja AS yang akan dirilis Jumat pekan ini.
"Pasar masih mencerna pernyataan Powell terkait tapering, dan anda bisa melihat pasar sedikit bingung melihat yield Treasury yang tidak naik. Ke depannya akan tergantung data inflasi dan tenaga kerja," kata Edward Moya, analis pasar di OANDA New York, sebagaimana dilansir CNBC International Senin (30/8/2021).
Seperti diungkapkan Moya pasar kini menanti rilis data tenaga kerja yang merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter.
Data tenaga kerja AS versi pemerintah terdiri dari non-farm payrolls (NFP) atau penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian, yang diperkirakan sebanyak 750.000 orang di bulan Agustus. Kemudian tingkat pengangguran diprediksi turun menjadi 5,2% dari sebelumnya 5,4%. Selain itu ada juga rata-rata upah per jam.
Jika data tenaga kerja tersebut lebih baik dari ekspektasi, maka spekulasi tapering akan dilakukan sebelum Desember akan menguat dan dolar AS menjadi perkasa hingga nanti ada konfirmasi dari The Fed saat mengumumkan rapat kebijakan moneter.
Tetapi sebaliknya, jika data tenaga kerja AS buruk, maka spekulasi tapering di Desember atau mundur di awal tahun depan akan menguat, dan rupiah akan berjaya lagi.
Sementara itu dari dalam negeri, perkembangan penyebaran Covid-19 dan PPKM tentunya akan mempengaruhi rupiah. Belakangan ini kasus Covid-19 terus menunjukkan penurunan, beberapa wilayah penyumbang PDB terbesar juga sudah turun level menjadi PPKM level 3 dari sebelumnya level 4. Artinya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang di bulan ini.
Hal tersebut tentunya mendukung penguatan rupiah, selama tidak terjadi lonjakan kasus lagi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Analisis Teknikal
Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR kini sedang diuntungkan sebab saat ini bergerak di bawah rerata pergerakan 50 hari (moving average 50/MA 50), MA 100, dan MA 200. Artinya, rupiah bergerak di bawah 3 MA yang memberikan momentum penguatan.
Selain itu, rupiah juga sudah menembus ke bawah bullish trend line (garis warna merah) yang menguntungkan dolar AS.
Mesli demikian, patut diperhatikan Indikator stochastic yang mulai masuk ke wilayah jenuh jual (oversold).
 Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian Foto: Refinitiv |
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Artinya, ketika belum mencapai wilayah oversold, rupiah yang disimbolkan USD/IDR artinya ada risiko berbalik arah alias rupiah melemah.
Selama bertahan di bawah MA 200 di kisaran Rp 14.280 hingga Rp 14.290/US$, rupiah berpeluang terus menguat. Target pertama ke kisaran Rp 14.190/US$. Jika ditembus, rupiah berpeluang menguat ke Rp 14.120 hingga Rp 14.100/US$.
Sementara jika kembali ke atas MA 200, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.400/US$ yang berada di kisaran bullish trend line. Selama tidak menembus level tersebut, peluang rupiah menguat masih terbuka.
TIM RISET CNBC INDONESIA