Bak Film Warkop, BI Maju Kena-Mundur Kena...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 August 2021 09:25
Ilustrasi Bank Indonesia
Ilustrasi Gedung BI (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan. Keputusan ini adalah yang paling masuk akal, karena MH Thamrin memang sudah tidak punya ruang gerak untuk bermanuver dengan suku bunga. Maju kena, mundur kena...

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Agustus 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers usai RDG.

Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, menilai sejatinya ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan lebih lanjut. Pertama, laju inflasi domestik masih lambat.

Per Juli 2021, inflasi Indonesia tercatat 1,52% year-on-year (yoy). Memang terakselerasi dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 1,33% yoy, tetapi masih jauh di bawah tren sebelum pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

inflasi

Kedua, perlambatan ekonomi Tanah Air semakin terasa akibat kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih ketat sejak awal bulan lalu. Teranyar, BI memperkirakan penjualan ritel pada Juli 2021 mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif 6,2% yoy.

"Kami memperkirakan tekanan terhadap daya beli masyarakat masih akan kuat, dan tidak ada katalis yang signifikan untuk mengangkat daya beli seperti Tunjangan Hari Raya (THR) yang sudah diberikan pada kuartal II-2021. Keputusan untuk memperpanjang PPKM akan tetap membuat aktivitas ekonomi lesu sepanjang kuartal ini," tulis Kevin dalam risetnya.

Oleh karena itu, tentu dibutuhkan 'rangsangan' untuk menopang gairah perekonomian nasional yang lesu akibat PPKM. Selain stimulus fiskal dari pemerintah, bank sentral bisa memberikannya melalui penurunan suku bunga acuan.

Halaman Selanjutnya --> Hawa Taper Tantrum Kian Terasa

Akan tetapi, BI juga dihadapkan pada tantangan lain yaitu tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Di hadapan dolar AS, mata uang Ibu Pertiwi masih membukukan pelemahan 2,56% sejak akhir 2020 (year-to-date/ytd).

kurs

Dolar AS semakin galak saja. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 1,08% point-to-point. Secara ytd, indeks ini melesat 3.52%.

Sentimen yang menjadi penyebab kepercayaan mata uang Negeri Paman Sam adalah arah kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed. Seiring perbaikan ekonomi AS yang makin terlihat, gaung tapering off pun makin terdengar.

Sejak pandemi virus corona mendera, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega membuat kebijakan moneter yang ultra-longgar. Suku bunga kebijakan dipangkas habis-habisan mendekati 0%. The Fed juga terus 'memompa' likuditas ke perekonomian dengan membeli surat berharga (quantitative easing) senilai US$ 120 miliar saban bulannya.

Kini dengan ekonomi AS yang mulai pulih dengan stabil seiring pembukaan kembali 'keran' aktivitas dan mobilitas masyarakat (reopening), permintaan melonjak tinggi. Pada Juli 2021, inflasi AS mencapai 5,4% yoy, tertinggi sejak Agustus 2008.

inflasi

Kondisi ketenagakerjaan juga semakin membaik. Pada Juli 2021, perekonomian AS menciptakan 943.000 lapangan kerja non-pertanian. Ini adalah yang tertinggi sejak Agustus tahun lalu.

Perlahan tetapi pasti, mereka yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi mulai mendapatkannya kembali. Pada Maret-April 2020, lapangan kerja berkurang 22,36 juta. Selepas itu, lapangan kerja yang sudah kembali tercipta adalah 16,67 juta. Jalan menuju penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment) kian terbuka.

naker

Halaman Selanjutnya --> Ruang Penurunan Suku Bunga Semakin Kecil

Oleh karena itu, pasar makin yakin bahwa dalam waktu dekat The Fed akan mengurangi 'dosis' stimulus moneter. Ini akan dimulai dengan mengurangi besaran quantitative easing.

Survei yang dilakukan Reuters terhadap 43 institusi memperkirakan The Fed akan mulai terang-terangan mengumumkan pengurangan quantitative easing pada September 2021 alias bulan depan.

Namun pengurangan ini sepertinya baru akan dilakukan pada Januari 2022. Quantitative easing diperkirakan baru akan benar-benar selesai pada kuartal IV-2022.

fedSumber: Reuters

Pengurangan quantitative easing berarti pasokan dolar AS tidak akan lagi melimpah seperti sekarang. Seperti barang, saat pasokan berkurang pasti harga akan naik. Mata uang juga begitu, pasokan yang menurun membuat nilai tukarnya kian mahal.

Jadi, ke depan sepertinya dolar AS bakal semakin perkasa. Ini tentu menjadi alarm bagi mata uang lain, termasuk rupiah.

Amanat utama BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Ini bisa dilakukan dengan menjaga suku bunga tetap kompetitif sehingga arus modal asing berkenan masuk ke Indonesia dan menjaga stabilitas rupiah.

Oleh karena itu, BI kini di posisi terhimpit. Menaikkan suku bunga acuan jelas tidak mungkin karena perekonomian domestik masih butuh dorongan suku bunga rendah. Gubernur Perry pun menegaskan bahwa kebijakan BI tetap pro-growth.

Namun di sisi lain, menurunkan suku bunga juga mustahil mengingat tingginya risiko tekanan terhadap nilai tukar rupiah akibat taper tantrum. Kalau suku bunga turun, Indonesia jadi tidak menarik sehingga arus modal enggan masuk dan rupiah melemah.

Jadi, opsi yang paling mungkin adalah menahan suku bunga acuan. Apa boleh buat. Maju kena, mundur kena, diam di tempat saja lah...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular