
Bos Schroders Ungkap Efek Taper Tantrum ke IHSG

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders), Michael Tjoajadi mengungkapkan, rencana pengurangan nilai (tapering) bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang kemungkinan terjadi tahun ini menjadi sentimen negatif bagi bursa saham domestik dalam jangka pendek.
Hal ini terlihat dari respons negatif pelaku pasar terkait wacana tapering The Fed yang menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Kamis ini terkoreksi cukup agresif 2,06% ke level 5.992,32 poin dengan nilai transaksi Rp 14,10 triliun.
Namun demikian, meski bursa saham tanah air terkena imbas, dampaknya tak signifikan seperti bursa saham di Amerika Serikat yang sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
"Short term akan impact ke sentimen? Ya akan terjadi impactnya walau saya tidak melihat Indonesia akan memiliki impact yang sangat besar. AS yang mengalami dampak sangat besar, AS punya harga saham sudah naik signifikan," ungkap Michael, di acara Intimate Gathering yang diselenggarakan CNBC Indonesia, Kamis (19/8/2021).
Michael melanjutkan, kendati menghadapi risiko taper tantrum, dia optimistis, pada tahun ini ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh seiring dengan pemulihan ekonomi nasional. Sinyal ini sudah terlihat dari pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal kedua yang tumbuh 7,07% secara tahunan. Sehingga, imbasnya akan positif bagi kinerja keuangan emiten.
"Saya melihat walaupun terjadi taper tantrum, ekonomi akan tetap tumbuh, saya melihat perusahaan publik akan tumbuh revenue dan profitnya," ujar Michael.
Faktor selanjutnya yang menyebabkan IHSG tidak akan terkoreksi cukup dalam dengan sentimen tapering lantaran secara valuasi, imbal hasil IHSG masih belum bergerak signifikan, berbeda dengan indeks Dow Jones yang sudah mencetak rekor.
Sejak awal tahun sampai dengan 18 Agustus 2021, IHSG hanya menguat 2,33%, masih lebih baik dari bursa saham Malaysia dan Filipina yang terkoreksi 6%. Sedangkan, kinerja IHSG masih kalah dari bursa saham Thailand dan Singapura yang menguat 7,09% dan 10,17% secara year to date.
"Ini tidak terlalu berimbas ke indeks kita. Valuasi di negara yang indeksnya sudah naik jauh lebih mahal daripada Indonesia. Valuasi kita dibandingkan pre-Covid, itu tidak ke mana-mana. Indeks pre Covid 6.200-6.600. Dow Jones di US memecahkan rekor, mereka sudah jauh lebih mahal," tuturnya.
(hps/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Mau Main Agresif, tapi Taper Tantrum Tak Akan Horor!