Jakarta, CNBC Indonesia - Investor di Amerika Serikat (AS) bergairah menyambut konfirmasi bank sentral (Federal Reserve/The Fed) yang menyatakan kebijakan quantitative easing (QE), atau pembelian obligasi di pasar, dikurangi tahun ini. Tidak takut taper tantrum?
Dalam sambutannya di ajang Jackson Hole, simposium tahunan The Fed yang dihadiri pejabat bank sentral dari seluruh dunia, Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa pembelian obligasi bulanan- senilai US$ 120 miliar yang selama ini dijalankan-akan dikurangi sebelum tahun baru.
Namun demikian, dia menegaskan bahwa kebijakan tapering tersebut, bakal dijalankan terpisah atau tidak bersamaan dengan kebijakan penaikan suku bunga acuan. Menurut dia, perlu lebih banyak tes sebelum kebijakan penaikan suku bunga tersebut dijalankan dan dia tidak melihatnya bakal terlaksana tahun ini.
"Penetapan waktu dan laju pengurangan pembelian aset tak akan ditujukan untuk mengirim sinyal jelas seputar penetapan waktu penaikan suku bunga acuan, yang mana kami telah siapkan pengujian yang secara substansial ketat dan terpisah," tutur Powell dalam pidatonya tersebut, sebagaimana dikutip CNBC International.
Wall Street menyambut gembira penyataan tersebut, karena kebijakan moneter ketat-yang biasanya berujung pada tersendatnya likuiditas di pasar, belum akan diambil. Indeks Dow Jones pun ditutup naik 0,7% ke 35.455,8 sementara S&P 500 lompat 0,9% ke 4.509,37 dan Nasdaq melonjak 1,2% ke 15.129,50.
 Sumber: CNBC International |
Sepanjang pekan ini, Dow menguat 0,9%, S&P 500 lompat 1,5%, dan Nasdaq melonjak 2,8%. Adapun sepanjang bulan, ketiganya juga terhitung menguat, masing-masing sebesar 1,4%, 2,6%, dan 3,1%. Pergerakan indeks saham ini menunjukkan bahwa tapering kali ini diprediksi tidak akan memicu kecemasan pasar, seperti yang pernah terjadi pada tahun 2013.
Kepala Perencana Investasi State Street Global Advisors Michael Arone menilai eforia pasar kemarin lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa suku bunga acuan masih jauh, dan tak dilakukan dalam waktu dekat.
"Kenaikan suku bunga acuan masih jauh, sangat jauh, dan investor senang melihat itu... Menurut saya Powell layak dipuji karena mengarahkan kebijakan tapering, sembari menghindari tantrum. Pasar terlihat siap siaga dengan dimulainya tapering," tuturnya seperti dikutip CNBC International.
Dengan kata lain, yang menjadi momok terbesar bagi pasar bukanlah tapering itu sendiri, melainkan lebih pada kebijakan lanjutan yang mengikutinya, yakni penaikan suku bunga acuan. Kebijakan moneter ketat ini bakal mengurangi uang beredar, baik di perekonomian, maupun di pasar modal.
Istilah taper tantrum muncul pada tahun 2013 ketika bank sentral terkuat di dunia tersebut secara mengejutkan mengumumkan bahwa program QE yang sebelumnya dilakukan selama bertahun-tahun, akan segera dikurangi.
Pelaku pasar saat itu menafsirkan bahwa sikap bos bank sentral saat itu, Ben Bernanke, adalah awal peralihan dari kebijakan moneter ekstra longgar ke moneter ketat. Ketika suku bunga tinggi, maka imbal hasil (yield) obligasi pun naik.
Hal ini mendorong lonjakan kupon obligasi pemerintah AS yang baru diterbitkan. Obligasi pemerintah AS berkupon lebih tinggi (dengan risiko rendah) menjadi lebih menarik ketimbang imbal hasil obligasi pemerintah negara berkembang (yang premi risikonya lebih tinggi).
Dus, terjadilah penarikan dana investasi portofolio dari pasar modal negara berkembang, kembali ke AS. Capital outflow secara mendadak dan besar-besaran membuat pasar finansial global bergejolak, yang kemudian disebut taper tantrum.
Rupiah menjadi salah satu korbannya, dengan depresiasi yang sangat parah. Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
Dan harap dicatat, taper tantrum tidak melanda pasar AS, melainkan pasar negara berkembang. Wall Street justru melihat reli "taper tape." Pasalnya, pelaku pasar di Wall Street memindahkan asetnya di US Treasury ke pasar saham. Pada Oktober 2013, Dow Jones melompat 1,8%. Setahun penuh di 2013, indeks saham unggulan AS ini melompat 26%!
Penjelasannya sederhana saja. Pengetatan kebijakan moneter di AS terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi yang terus membaik. Namun, hal serupa tidak terjadi di negara berkembang sehingga pelaku pasar global-yang amunisinya disunat oleh The Fed dengan tapering-menjadi kian konservatif dan memburu aset dengan premi risiko rendah.
Hal inilah yang patut diwaspadai di negara berkembang, untuk periode tapering tahun ini. Betul bahwa The Fed kian komunikatif dengan tahapan-tahapan kebijakan tapering. Wall Street pun hepi dengan itu. Dalam jangka pendek, pasar negara berkembang tak akan bergejolak.
Namun, satu yang tak bisa diubah The Fed adalah disparitas pemulihan ekonomi. Ketika likuiditas di pasar global berkurang, yang secara bersamaan berdampak positif mengurangi risiko gelembung pasar (bubble), premi risiko investasi di negara berkembang masih tinggi karena penyebaran virus Covid-19 varian delta di tengah lambatnya vaksinasi.
Jika hal ini terjadi, maka sikap komunikatif The Fed tidak akan bisa mencegah terjadinya capital outflow dari negara berkembang dalam jangka menengah. Dana mereka akan mengalir kembali ke Wall Street untuk memborong saham siklikal yang diuntungkan dari pemulihan ekonomi, dan obligasi pemerintah AS yang kuponnya kian kompetitif.
Jadi, risiko pemicu tantrumnya ada di kita, bukan di Amerika.
TIM RISET CNBC INDONESIA