Pasar AS Hepi Tapering Kian Dekat, Indonesia Bagaimana?

Market - Arif Gunawan, CNBC Indonesia
28 August 2021 13:51
Eks Chairman The Fed, Ben BernankeAP Photo/Manuel Balce Ceneta, File) Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Jacquelyn Martin)

Istilah taper tantrum muncul pada tahun 2013 ketika bank sentral terkuat di dunia tersebut secara mengejutkan mengumumkan bahwa program QE yang sebelumnya dilakukan selama bertahun-tahun, akan segera dikurangi.

Pelaku pasar saat itu menafsirkan bahwa sikap bos bank sentral saat itu, Ben Bernanke, adalah awal peralihan dari kebijakan moneter ekstra longgar ke moneter ketat. Ketika suku bunga tinggi, maka imbal hasil (yield) obligasi pun naik.

Hal ini mendorong lonjakan kupon obligasi pemerintah AS yang baru diterbitkan. Obligasi pemerintah AS berkupon lebih tinggi (dengan risiko rendah) menjadi lebih menarik ketimbang imbal hasil obligasi pemerintah negara berkembang (yang premi risikonya lebih tinggi).

Dus, terjadilah penarikan dana investasi portofolio dari pasar modal negara berkembang, kembali ke AS. Capital outflow secara mendadak dan besar-besaran membuat pasar finansial global bergejolak, yang kemudian disebut taper tantrum.

Rupiah menjadi salah satu korbannya, dengan depresiasi yang sangat parah. Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.



idr

Dan harap dicatat, taper tantrum tidak melanda pasar AS, melainkan pasar negara berkembang. Wall Street justru melihat reli "taper tape." Pasalnya, pelaku pasar di Wall Street memindahkan asetnya di US Treasury ke pasar saham. Pada Oktober 2013, Dow Jones melompat 1,8%. Setahun penuh di 2013, indeks saham unggulan AS ini melompat 26%!

Penjelasannya sederhana saja. Pengetatan kebijakan moneter di AS terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi yang terus membaik. Namun, hal serupa tidak terjadi di negara berkembang sehingga pelaku pasar global-yang amunisinya disunat oleh The Fed dengan tapering-menjadi kian konservatif dan memburu aset dengan premi risiko rendah.

Hal inilah yang patut diwaspadai di negara berkembang, untuk periode tapering tahun ini. Betul bahwa The Fed kian komunikatif dengan tahapan-tahapan kebijakan tapering. Wall Street pun hepi dengan itu. Dalam jangka pendek, pasar negara berkembang tak akan bergejolak.

Namun, satu yang tak bisa diubah The Fed adalah disparitas pemulihan ekonomi. Ketika likuiditas di pasar global berkurang, yang secara bersamaan berdampak positif mengurangi risiko gelembung pasar (bubble), premi risiko investasi di negara berkembang masih tinggi karena penyebaran virus Covid-19 varian delta di tengah lambatnya vaksinasi.

Jika hal ini terjadi, maka sikap komunikatif The Fed tidak akan bisa mencegah terjadinya capital outflow dari negara berkembang dalam jangka menengah. Dana mereka akan mengalir kembali ke Wall Street untuk memborong saham siklikal yang diuntungkan dari pemulihan ekonomi, dan obligasi pemerintah AS yang kuponnya kian kompetitif.

Jadi, risiko pemicu tantrumnya ada di kita, bukan di Amerika.

TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]

(ags/ags)
HALAMAN :
1 2
Artikel Selanjutnya

Ini Jurus BI Usir 'Hantu' Taper Tantrum!

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading