Nilai Startup ASEAN Bisa Capai Rp 14.500 T, Bakal Banjir IPO!

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
16 August 2021 07:10
Gojek dan Tokopedia Bentuk GoTo
Foto: Gojek dan Tokopedia Bentuk GoTo (Dok. GoTo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan rintisan (startup) teknologi di Asia Tenggara (ASEAN) ditaksir memiliki total valuasi gabungan mencapai US$ 340 miliar atau setara dengan Rp 3.930 triliun (kurs Rp 14.500/US$) pada tahun lalu.

Bahkan angka valuasi gabungan startup teknologi di Asia Tenggara tersebut diprediksi meningkat lebih dari tiga kali lipat pada tahun 2025, berdasarkan riset perusahaan modal ventura (venture capital) asal Singapura, Jungle Ventures.

Dalam 4 tahun ke depan, Jungle Ventures mengharapkan perusahaan rintisan teknologi di kawasan ini secara kolektif akan bernilai US$ 1 triliun atau setara dengan Rp 14.500 triliun.

Meskipun terdengar fantastis, nilai gabungan ini sebetulnya kurang lebih setara dengan kapitalisasi pasar perusahaan media sosial terbesar dunia, Facebook Inc, yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Nasdaq, satu dari dua bursa AS yang dikenal sebagai Wall Street (satu lagi New York Stock Exchange/NYSE).

Di Nasdaq saham Facebook diperdagangkan di level US$ 363,18/saham dengan kapitalisasi pasar US$ 1,036 triliun per penutupan pasar Jumat (13/8) pekan lalu waktu AS.

Adapun kapitalisasi pasar Apple Inc lebih besar lagi di Nasdaq, dengan harga saham US$ 149,10/saham, market cap-nya mencapai US$ 2,47 triliun, sementara Microsoft Inc yang sahamnya juga diperdagangkan di Nasdaq dengan harga US$ 292,85, punya market cap US$ 2,20 triliun atau setara dengan Rp 31.900 triliun.

Dalam metode perhitungannya, perusahaan modal ventura Asia Tenggara itu melihat informasi yang tersedia untuk umum terkait dengan 31 perusahaan rintisan yang memiliki valuasi minimum US$ 250 juta (Rp 3,62 triliun).

Perhitungan ini juga membuat ketentuan terkait permasalahan lain seperti banyak transaksi modal ventura yang tidak diungkapkan kepada publik.

"Saya sedikit terkejut, tetapi (sebenarnya) tidak juga," kata Amit Anand, mitra pendiri Jungle Ventures. Dia mengatakan kepada CNBC Internasional bahwa jumlah sebenarnya berpotensi jauh lebih besar dari US$ 340 miliar.

"Kami telah melakukan perhitungan 'kasar' sehingga sangat mungkin ada lebih banyak data yang tidak kami lihat, dalam hal putaran (pendanaan) yang tidak diumumkan atau perusahaan yang masih di bawah radar," katanya.

"Jika Anda mengamati tingkat pertumbuhan 3 hingga 5 tahun terakhir di Asia Tenggara, (dan) apabila terus berlanjut, (total valuasi) akan menuju satu triliun dolar bahkan sebelum 2025," kata Anand menambahkan.

NEXT: Potensi ASEAN dan IPO

Asia Tenggara adalah rumah bagi sekitar 400 juta pengguna internet dan 10% dari mereka baru online untuk pertama kalinya pada tahun 2020.

Ekonomi digital di Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand - enam ekonomi terbesar Asia Tenggara - diperkirakan akan melampaui US$ 300 miliar (Rp 4.350 triliun) pada tahun 2025, menurut laporan industri yang sering dikutip, berdasarkan publikasi dari Google, Temasek Holdings dan Bain & Company.

Tidak terdapat kelangkaan opsi pendanaan yang tersedia untuk perusahaan rintisan di kawasan ini karena investor, termasuk ekuitas swasta, rela menulis cek raksasa. Startup Asia Tenggara dilaporkan mengumpulkan rekor pendanaan sebesar US$ 6 miliar (Rp 87 triliun) dalam 3 bulan pertama tahun ini.

Anand menjelaskan bahwa investor menginginkan "percepatan pertumbuhan" terhadap investasi mereka dibandingkan dengan apa yang diterima dari industri tradisional.

Lingkungan startup di kawasan ini memiliki apa yang dia gambarkan sebagai "keuntungan kontestan terakhir" - yang mana perusahaan mendapat manfaat pembelajaran dari keberhasilan dan kegagalan bisnis serupa di AS, China, dan India.

Jalan keluar investor

Sejumlah perusahaan rintisan terkemuka di Asia Tenggara sedang dalam proses go public atau mencatatkan saham perdana (initial public offering/IPO), dan beberapa di antaranya telah mengumumkan rencana IPO dengan nilai raksasa, dan sudah ada pula yang menyelesaikan proses pencatatan perdananya.

Raksasa ride-hailing Grab mengumumkan pada April bahwa mereka akan go public melalui merger dengan perusahaan SPAC (special purpose acquisition company) senilai US$39,6 miliar (Rp 574,2 triliun), salah satu kesepakatan dengan perusahaan 'cek kosong' terbesar yang pernah ada.

Raksasa teknologi Indonesia yang baru merger, GoTo Group, juga berencana untuk segera go public.

Grup GoTo dikabarkan berdiskusi dengan investor demi mengumpulkan dana US$ 2 miliar atau setara dengan Rp 29 triliun dalam proses IPO di Indonesia dan AS.

Melansir sumber Bloomberg, Rabu (28/7), perusahaan hasil sinergi unicorn raksasa penyedia jasa ride-hailing Indonesia Gojek dan e-commerce Tokopedia pada Mei lalu ini, telah memulai proses penggalangan dana US$ 1 miliar hingga US$ 2 miliar.

"Adapun valuasi pasar nantinya akan mencapai antara US$ 25 miliar dan US$ 30 miliar," kata sumber yang menolak disebutkan identitasnya, dikutip CNBC Indonesia.

Adapun perusahaan real estate yang berbasis di Singapura, PropertyGuru, juga dilaporkan akan go public melalui merger SPAC sementara perusahaan e-commerce Indonesia PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) sudah memulai debutnya pada Jumat (6/8), dengan meraih dana IPO terbesar dalam sejarah di Bursa Efek Indonesia (BEI) Rp 22 triliun.

Go public melalui perusahaan cek kosong akan menjadikan startup masuk dalam pengawasan ketat dari investor - terutama di AS, menurut Michael Lints, mitra di Golden Gate Ventures.

"Saya pikir (investor) sedikit kecewa dengan arah pasar SPAC, jadi, mereka hanya akan lebih kritis terhadap perusahaan target yang akan mendaftar sekarang," katanya kepada CNBC.

Pendiri biasanya menjual startup mereka ke perusahaan yang lebih besar atau membawanya ke publik melalui IPO, sebuah proses yang dikenal sebagai 'jalan keluar'. Sedangkan kesepakatan mega lewat merger dengan SPAC, seperti yang diumumkan oleh Grab, masih relatif jarang.

Lints menjelaskan bahwa nilai perusahaan ketika investor keluar dari startup di Asia tenggara, sebagian besar masih di bawah US$ 1 miliar (Rp 14,5 triliun), dan sebagian besar dilakukan melalui merger dan akuisisi.

Gencar IPO

Anand dari Jungle, yang merupakan pendukung setia perusahaan rintisan yang memilih untuk go public lebih awal, mengatakan bahwa dia mendorong lebih banyak perusahaan portofolio milik mereka di Asia Tenggara untuk melakukan IPO.

"Saya pikir ada banyak (permintaan) di pasar IPO," katanya, seraya menambahkan bahwa investor mencari perusahaan, industri, dan teknologi baru yang dapat menghasilkan pengembalian ekstra dari pasar.

Anand menjelaskan bahwa pasar saham lokal belum memiliki kapasitas untuk menangani IPO raksasa, yang sebagian besar diperkirakan akan terdaftar di AS.

Tetapi nilai yang lebih kecil dari US$ 5 miliar (Rp 72,5 triliun) dapat memperoleh keuntungan dari pencatatan di pasar domestik, katanya, seraya menambahkan tujuan akhir startup besar di Asia Tenggara adalah untuk memiliki IPO dual-listing.

"Pemerintah memiliki banyak pekerjaan yang harus dikerjakan sebelum kita sampai ke sana, tetapi itu akan membuka tingkat likuiditas global (menuju level yang belum pernah terjadi sebelumnya)," katanya.


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mau Tahu Pandangan Asing Terhadap IPO GoTo Dkk? Mari Simak

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular