Mengecewakan! Saham Teknologi di Asia Babak Belur di 2021

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
31 December 2021 10:10
Passersby are reflected on an electronic board showing the exchange rates between the Japanese yen and the U.S. dollar, the yen against the euro, the yen against the Australian dollar, Dow Jones Industrial Average and other market indices outside a brokerage in Tokyo, Japan, August 6, 2019.   REUTERS/Issei Kato
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2021 merupakan tahun yang kurang menggembirakan bagi saham-saham teknologi baru di Asia-Pasifik, di mana perdagangan pasca-IPO mereka cenderung mengecewakan dan adanya pembalikan kekayaan secara tajam

Suksesnya proses go-public perusahaan teknologi baru di Asia-Pasifik hanya bersifat sementara saja, yakni hanya pada awal-awal perdagangan setelah listing di bursa masing-masing.

Menurut Morningstar, hanya perusahaan pembuat video pendek dari China yang juga menjadi saingan Tiktok, yakni Kuaishou yang tergolong sukses pada tahun ini, di mana harganya naik lebih dari dua kali lipat dari harga penerbitannya pada debut-nya di Februari lalu.

Masih dari China, saham JD Logistics yang sebelumnya berhasil mendapatkan dana lebih dari US$ 3 miliar dalam IPO-nya, namun saham tersebut ditutup lebih rendah 36% dari harga penawarannya pada penutupan perdagangan pertamanya saat itu.

Amblesnya saham logistik China yang baru terdaftar di bursa pada tahun ini diperberat oleh sejumlah masalah, termasuk tindakan keras Beijing yang sedang berlangsung terhadap sektor teknologi China, yang menyebabkan raksasa seperti Alibaba dan Meituan 'ditampar' dengan denda besar.

Sementara di Indonesia, pada awalnya IPO dari perusahaan e-commerce yakni PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) juga cukup sukses, bahkan harganya sempat melonjak hingga 25%. Tetapi setelah melonjak tinggi, harganya pun langsung anjlok dan pada akhir tahun ini ditutup jauh dari harga penawaran perdananya.

Pada perdagangan akhir tahun 2021, saham Bukalapak terkoreksi 4,87% ke level Rp 430/unit. Dari perdagangan perdananya pada Agustus lalu hingga akhir tahun 2021, saham Bukalapak ambles sekitar 49%.

Hal ini juga disebabkan karena adanya sentimen negatif dari pengurangan pembelian obligasi atau tapering oleh bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) pada tahun ini, sehingga investor cenderung menghindari saham-saham teknologi.

Saham-saham teknologi dapat dirugikan oleh kenaikan suku bunga yang memengaruhi kemampuan perusahaan untuk mendanai pertumbuhan dan juga membuat arus kas di masa depan menjadi kurang berharga.

Selain itu, munculnya virus corona (Covid-19) varian Omicron juga semakin membebani sentimen investor dalam beberapa pekan terakhir dan mengurangi selera risiko.

Tidak Hanya di Asia-Pasifik

Yang pasti, kinerja saham teknologi yang buruk pasca-IPO tidak hanya terjadi di kawasan Asia-Pasifik saja.

Pada bulan ini, James Thorne dan Jordan Rubio dari Pitchbook menyoroti proses perdagangan perdana dari pasar blockbuster tahun 2021, di mana saham teknologi di belahan dunia lain juga terjadi hal yang sama.

Salah satu contohnya adalah perusahaan ride-hailing China, Didi yang mengumumkan pada awal bulan ini akan delisting dari New York Stock Exchange, kurang dari enam bulan setelah go-public. Hal itu juga terjadi di tengah rencana debut-nya di bursa saham Hong Kong, di tengah laporan tekanan politik dari Beijing.

Perusahaan lain yang terdaftar di AS yang juga melakukan IPO besar seperti Robinhood dan Coupang Korea Selatan, juga kehilangan nilai yang signifikan.

"Kinerja yang lesu ini telah menyebabkan pendinginan di pasar IPO yang menyebabkan beberapa emiten baru menunda atau mengurangi rencana IPO mereka," kata Thorne dan Rubio, dikutip dari CNBC International.

Aswath Damodaran, dari Universitas New York mengatakan kepada CNBC International awal bulan ini bahwa kemerosotan saham teknologi pasca-IPO dapat disebabkan oleh beberapa investor yang membeli di saat pasar sedang "delusi besar".

"Investor semacam itu tidak mengerjakan pekerjaan rumah mereka seperti memeriksa model bisnis perusahaan-perusahaan ini, dengan kenyataan biasanya terjadi saat laporan pendapatan pertama dirilis," kata Damodaran.


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nilai Startup ASEAN Bisa Capai Rp 14.500 T, Bakal Banjir IPO!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular