Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan masih menimpa pasar saham pada perdagangan Rabu (28/7/2021), sehingga rupiah bergerak variatif sementara obligasi diburu. Hari ini, status quo kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) menjadi pedang bermata dua bagi pasar.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan 0,12% ke 6.088,52 pada penutupan kemarin. IHSG terlempar dari level psikologis 6.100 dengan nilai transaksi Rp 12,4 triliun. Sebanyak 305 saham melemah, sementara 187 lain naik, dan 158 cenderung stagnan. Investor asing mencetak penjualan bersih Rp 142 miliar di pasar reguler.
Mayoritas saham bank buku IV tertekan, kecuali PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang naik 1,3%. Sebaliknya, saham bank digital seperti PT Bank Jago Tbk (ARTO) dan PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (AGRO) melompat, masing-masing sebesar 4.6% dan 8,8% ke Rp 18.200 dan Rp 2.850/saham. Keduanya mencetak nilai transaksi terbesar, nyaris Rp 1 triliun.
Turunnya IHSG seiring dengan koreksi mayoritas bursa saham Asia, yang dipimpin indeks Hang Seng dan Shanghai dalam 3 hari terakhir setelah pemerintah China mengetatkan aturan investasi asing di sektor pendidikan dan digital.
Aturan tersebut dikeluarkan oleh Administrasi Negara untuk Regulasi Pasar bersama dengan enam departemen administratif lain termasuk Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional, Administrasi Ruang Siber China dan Kementerian Keamanan Publik.
Hal tersebut menandakan bahwa kondisi geopolitik AS dengan China kembali memanas, di mana pertemuan pejabat Amerika Serikat (AS) dan China pada kemarin membahas nasib kawasan administratif tersebut
Kabar kurang menggembirakan datang dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
Akibatnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor kemarin ditutup di Rp 14.498, atau melemah 0,06% dibandingkan posisi sehari sebelumnya.
Namun di pasar spot, rupiah menguat tipis sebesar 0,03% menjadi Rp 14.485/US$. Rupiah berkumpul dengan mayoritas mata uang utama Asia lain yang menguat di hadapan Greenback. Hanya yen Jepang, won Korea Selatan, dolar Singapura, dan ringgit Malaysia yang tertekan.
Investor asing mengantisipasi tak ada perubahan suku bunga acuan di AS, sehingga mereka betah memegang aset investasi emerging market karena selisih (spread) keuntungan yang tinggi. Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) pun berbalik naik, alias banyak investor yang mengoleksi aset minim risiko (safe haven) itu.
Aksi buru SBN ini ditandai dengan pelemahan imbal hasil (yield) di hampir seluruh SBN. Aksi buru terutama menimpa SBN berjauh tempo 15 tahun, terlihat dari penurunan imbal hasil 2,7 basis poin (bp) ke 6,345%, atau yang terbesar di antara SBN acuan.
Hanya SBN bertenor 1, 25, dan 30 tahun yang yield-nya menguat. Kenaikan tertinggi dicetak SBN tenor 25 tahun, sebesar 1 bp, ke 7,33%. Sementara itu, imbal hasil SBN 10 tahun yang menjadi acuan di pasar berbalik turun sebesar 0,8 bp ke level 6,309%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga pelemahan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Pelaku pasar Amerika Serikat (AS) berada dalam kegamangan setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menyatakan kebijakan moneter longgar dipertahankan, tanpa sinyal jelas kapan tapering off atau pengurangan pembelian aset di pasar (quantitative easing/QE) dimulai.
Indeks Dow Jones Industrial Average berbalik minus 127,6 poin (-0,36%) ke 34.930,93 pada penutupan. S&P 500 surut 0,8 poin (-0,02%) ke 4.400,64. Namun, Nasdaq tumbuh 102 poin (+0,7%) ke 14.762,58.
Pergerakan variatif ini terjadi meski menurut data Refinitiv emiten AS menunjukkan performa prima pada kuartal II-2021. Sebanyak 89% konstituen indeks S&P 500 yang telah merilis kinerja keuangannya mencetak laba bersih di atas ekspektasi, dan 86% dari mereka mencetak pendapatan yang melampaui estimasi.
Saham Pfizer lompat 3,2% setelah mencetak kinerja di atas ekspektasi dan mendongkrak target penjualan 2021 berkat vaksinasi Covid-19. Sebaliknya, saham Apple turun 1,2% meski mencetak laba bersih dan pendapatan yang melampaui estimasi pasar, setelah CEO Apple Tim Cook menyatakan hambatan dari sisi pasokan akan mempengaruhi penjualan iPhone dan iPad.
Saham Alphabet (induk usaha Google) ditutup melompat 3% lebih, setelah melaporkan lompatan pendapatan iklan sebesar 69%. Saham Boeing melesat 4,2% setelah mencetak laba bersih kuartal II-2021, atau yang pertama sejak pandemi.
Pemicunya tak lain adalah Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC), yang memutuskan mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25% tetapi tak memberikan sinyal jelas mengenai kapan tapering off dijalankan.
Bos bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell menyatakan ekonomi AS membaik meski ada varian baru virus Covid-19. Namun, itu belum cukup untuk mencapai target inflasi dan lapangan kerja yang dipatok The Fed.
"Kita memiliki landasan untuk mengamankan lapangan kerja," tutur Powell. "Menurut saya kita masih beberapa langkah menuju kemajuan substansial lebih jauh mencapai target maksimum pembukaan lapangan kerja. Saya ingin melihat angka lapangan kerja yang lebih kuat."
Sayangnya, bank sentral terkuat dunia ini belum memberikan acuan waktu mengenai kapan program pembelian surat berharga senilai US$ 120 miliar per bulan (sejak Desember 2020) ini akan diakhiri atau setidaknya dikurangi.
"Sejak itu, ekonomi menunjukkan kemajuan mencapai sasaran tersebut dan Komite [FOMC] akan terus mengukur kemajuan yang ada dalam pertemuan mendatang," demikian tertulis di pernyataan resmi yang dirilis usai rapat.
Sepanjang bulan berjalan, indeks S&P naik 2,4%, sedangkan Nasdaq dan Dow Jones menguat masing-masing sebesar 1,8% dan 1,1%.
Tidak ada yang baru dari kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), dan inilah yang membuat Wall Street agak malas menunjukkan respons mereka lewat eksekusi jual atau beli aset dalam jumlah besar di bursa saham.
Kabar bagus mengenai "kesaksian The Fed" bahwa ekonomi berjalan membaik sesuai target meski ada penyebaran Covid-19 varian delta, tak cukup membuat pasar bergairah memburu saham siklikal (saham yang diuntungkan dari ekonomi). Sebaliknya, mereka memburu saham teknologi, sehingga Nasdaq menjadi satu-satunya indeks yang menguat kemarin.
Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku pasar di AS memilih bertransaksi dengan menggunakan perspektif bahwa pandemi bakal terus ada dan saham teknologi bakal diuntungkan, terutama di tengah rilis kinerja kuartal II-2021 raksasa teknologi yang menunjukkan hasil prima. Di luar itu, tak ada sentimen positif tambahan dari The Fed.
"Ada pengakuan bahwa tercipta kemajuan menuju sasaran The Fed, tapi masih ada jalan panjang sebelum The Fed bakal turun tangan mengambil tindakan," tutur Anu Gaggar, Perencana Investasi Global Commonwealth Financial Network, sebagaimana dikutip CNBC International.
Keputusan The Fed menjaga suku bunga acuan di level sekarang sudah diprediksi jauh-jauh hari, di man CME Fedwatch menunjukkan bahwa pelaku psar 100% bersepakat memang tak akan ada kenaikan. Yang agak mengecewakan justru karena tidak ada sinyal kapan tapering dimulai, dan ini membuat pasar menebak-nebak, alias berada dalam ketidakpastian.
Sebagaimana diketahui, program pembelian obligasi di pasar sekunder, dengan nilai minimal US$ 120 miliar per bulan, telah dilancarkan oleh bos The Fed Jerome Powell sejak Juni 2020. Tujuannya untuk memasok likuiditas di pasar, karena investor kini memegang dana tunai setelah asetnya diborong The Fed.
Pada Agustus, Powell menyatakan bahwa aksi pasok likuiditas ke pasar itu berpeluang dikurangi, meski kemudian pada Desember bank sentral terkuat di dunia ini menyatakan akan terus menjalankannya sampai efek pandemi hilang dari perekonomian.
Namun di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi, likuiditas tersebut kesulitan mencari tempat aman dan menguntungkan untuk berbiak sehingga bursa AS terus mencetak aksi pecah rekor dan memicu kekhawatiran bubble. Tak sedikit pula dana itu mengalir ke instrumen spekulatif seperti kripto sehingga aksi pasok likuiditas The Fed dinilai tidak lagi terlalu mendesak.
Bagi pelaku pasar emerging market, termasuk Indonesia, keputusan The Fed tak akan memicu gairah bullish pasar hari ini. Sentimen penggerak bakal tertuju kembali pada kabar korporasi dan perkembangan pandemi dalam negeri. Kabar kurang enak datang dari Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jambi yang melaporkan temuan pasien Covid-19 varian delta plus.
Hal itu dipaparkan Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Jambi Nirwan Satria dalam acara Tim Mitigasi IDI kemarin. "Jujur kami kaget bahwa varian Delta Plus itu munculnya di Jambi," kata Nirwan.
Pada 18 Juli lalu, menurut dia, tiba-tiba kasus positif Covid-19 meningkat menjadi 442 kasus dalam sehari atau di atas rata-rata harian Jambi yang di bawah 100. Berdasarkan hasil pemeriksaan whole genome sequencing (WGC), ternyata ditemukan varian Delta Plus di wilayahnya.
Hal ini memicu kekhawatiran bahwa penyebaran Covid-19 bakal terus berlanjut. Pasalnya, setelah penambahan kasus harian sempat turun di bawah 30 ribu pada awal pekan, per Rabu kemarin kasus baru kembali naik hampir 50 ribu orang.
Kementerian Kesehatan mencatat ada 47.791 kasus baru, dengan begitu total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 3,287 juta orang. Kini Indonesia dinyatakan menjadi episentrum Covid-19 di Asia dengan positivity rate sebesar 31,32%. Ini yang akan menjadi perhatian utama pasar.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Stock split PT Medikaloka Hermina Tbk/HEAL (09:00 WIB)
- Dividen PT Elnusa Tbk/ELSA (09:00 WIB)
- RUPST PT Asuransi Jiwa Syariah Jasa Mitra Abadi Tbk/JMAS (09:00 WIB)
- RUPST PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk/GDST (09:00 WIB)
- RUPST PT Radiant Utama Interinsco Tbk/RUIS (09:30 WIB)
- RUPST/LB PT Ciputra Development Tbk/CTRA (10:00 WIB)
- RUPST PT Betonjaya Manunggal Tbk/BTON (10:00 WIB)
- RUPST PT Bank Aladin Syariah Tbk/BANK (10:00 WIB)
- RUPST PT Uni-Charm Indonesia Tbk/UCID (10:00 WIB)
- RUPST PT Sona Topas Tourism Industry Tbk (10:00 WIB)
- RUPST PT Panin Dubai Syariah Bank Tbk/PNBS (10:00 WIB)
- RUPST PT Mitra Komunikasi Nusantara Tbk/MKNT (14:00 WIB)
- RUPST PT Kresna Graha Investama Tbk/KREN (14:00 WIB)
- RUPST PT Krakatau Steel Tbk/KRAS (14:00 WIB)
- RUPST PT Kioson Komersial Indonesia Tbk/KIOS (11:00 WIB)
- RUPST/LB PT FKS Multi AgroTbk/FISH (14:00 WIB)
- Survei Keyakinan konsumen Uni Eropa per Juli (16:00 WIB)
- Pertumbuhan PDB AS kuartal II-2021 (19:30 WIB)
- Klaim tunjangan pengangguran (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA