Jakarta, CNBC Indonesia - Masa jabatan ketua Federal Reserve (The Fed), bank sentral Amerika Serikat (AS) berlangsung selama 4 tahun, dan akan berakhir Februari 2022 mendatang. Kursi ketua The Fed saat ini diduduki oleh oleh Jerome Hayden Powell sejak Februari 2018 lalu.
Siapa yang akan memimpin The Fed selanjutnya menjadi perhatian pelaku pasar global, bahkan juga pemerintah di negara-negara lain.
Maklum saja, The Fed merupakan bank sentral paling powerful di dunia, kebijakan yang diterapkan akan memberikan dampak signifikan ke pasar finansial global.
Penunjukan ketua The Fed merupakan hak prerogatif Presiden AS Joseph 'Joe' Biden. Powell saat ini masih dijagokan maju 2 periode memimpin The Fed. Selain Powell, ada satu calon kuat lagi yakni Lael Brainard, yang saat ini menjabat dewan gubernur The Fed. Tetapi, posisi Powell sepertinya masih belum tergoyahkan.
Hasil jajak pendapat Reuters terhadap para ekonomi menunjukkan mayoritas memprediksi Biden akan kembali menunjuk Powell menjadi nakhoda The Fed.
Dari 40 ekonom yang dimintai pendapat oleh Reuters pada periode 12 hingga 15 Juli, sebanyak 36 orang mengatakan Biden akan kembali menunjuk Powell.
"Saat ini Powell terlihat akan ditunjuk kembali. Powell memang memiliki pesaing kuat yakni Lael Brainard, salah satu rekannya di dewan gubernur. Dia merupakan favorit kedua di bawah Powell," kata James Sweeney, ekonom di Credit Suisse sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (21/7/2021).
Powell pertama kali ditunjuk sebagai ketua The Fed oleh Presiden AS ke-45, Donald Trump. Ia menggantikan Janet Yellen yang saat ini menjabat Menteri Keuangan AS.
Meski jabatan ketua The Fed diberikan oleh Trump, tetapi Powell tidak serta merta mengikuti keinginan sang presiden. Bahkan bisa dikatakan kebijakan yang diambil berseberangan dengan keinginan Trump.
Powell membuktikan bank sentral merupakan lembaga independen yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, termasuk presiden AS.
Pada awal tahun lalu, saat virus corona menyerang AS, muncul isu Powell akan dicopot, bahkan presiden Trump menegaskan bisa melakukan hal tersebut.
"Saya tidak senang dengan The Fed, karena saya pikir kebijakan yang mereka ambil hanya mengikuti tidak menjadi pelopor, kita seharusnya menjadi pelopor" kata Trump pada 14 Maret 2020 saat menggelar konferensi pers terkait Covid-19.
"Saya punya hak mencopot dia (Powell). Tidak, saya tidak melakukan itu. Saya juga punya hak untuk menempatkan dia di posisi biasa dan menempatkan orang lain memimpin The Fed, tetapi saya belum membuat keputusan mengenai hal tersebut," tegas Trump.
Trump saat itu menginginkan The Fed menurunkan suku bunganya. Bahkan jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda AS, Trump yang mengobarkan perang dagang berulang kali mengkritik jika suku bunga The Fed terlalu tinggi. Tetapi Powell bergeming.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Powell "Sahabat" Pasar Finansial yang Berubah Menjadi "Elang"
Janet Yellen, menjadi ketua The Fed pertama dalam 50 tahun terakhir yang tidak menjabat selama 2 periode. Yellen kehilangan posisinya saat Donald Trump menjadi presiden AS ke-45.
Trump lebih memilih Jerome Powell ketimbang memberikan Yellen melanjutkan kepemimpinannya menjadi 2 periode.
Powell yang dikenal "bersahabat" dengan pasar finansial menjadi salah satu alasan Trump menunjuknya. Banyak analis kala itu memperkirakan kebijakan yang diambil Powell akan mendongkrak pasar finansial dengan meningkatkan penyerapan tenaga kerja serta suku bunga rendah.
Tetapi kenyataannya berbeda, Powell justru menjadi "elang" atau "hawk" di tahun pertamanya menjadi orang paling berpengaruh di pasar finansial.
Ada dua jargon yang kerap kali digunakan di dunia moneter, yakni hawkish dan dovish. Hawkish secara sederhana berarti bank sentral akan menaikkan suku bunga, tujuannya untuk menjaga inflasi agar tidak tinggi.
Sementara lawan si "elang" adalah "merpati" atau "dove". Dalam dunia moneter dikenal dengan istilah dovish, yakni sikap bank sentral yang lebih memilih suku bunga rendah guna meningkatkan konsumsi dan memacu pertumbuhan ekonomi.
Pada kenyataannya, bank sentral siapa pun pemimpinnya bisa mengambil sikap hawkish atau pun dovish, tergantung kondisi ekonomi saat itu.
Powell yang dikenal market friendly, justru menaikkan suku bunga secara agresif di tahun 2018. Di Era Janet Yellen, suku bunga tertinggi tercatat sebesar 1,5%, baru sebulan menjabat ketua The Fed, Powell langsung menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 1,75%.
Setelahnya, sepanjang 2018 Powell menaikkan suku bunga tiga kali lagi masing-masing 25 basis poin hingga menjadi 2,5% di bulan Desember. Kenaikan suku bunga sebanyak 4 kali tersebut terbilang agresif, sebab pelaku pasar sebelumnya memperkirakan akan ada kenaikan suku bunga sebanyak 3 kali di 2018.
 Foto: Inflasi AS 2017-2018 (Refinitiv) |
Perekonomian AS saat itu sedang kuat-kuatnya, dan inflasi pun melesat. The Fed menggunakan inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) sebagai acuan. Pada bulan Mei 2018, inflasi inti PCE mencapai 2,1% year-on-year (YoY), yang merupakan level tertinggi sejak Maret 2012.
Alhasil, guna menjaga inflasi tetap dalam target The Fed yakni 2%, suku bunga dinaikkan secara agresif.
Suku bunga 2,5% bertahan selama 8 bulan. Pada Agustus 2019, Powell memulai periode penurunan suku bunga akibat melambatnya perekonomian AS setelah Presiden Trump mengobarkan perang dagang dengan China.
Powell juga membuktikan dirinya tidak segan membabat habis suku bunga guna menyelamatkan perekonomian AS saat dihantam pandemi Covid-19.
Pada bulan Maret 2021 dalam 2 kali rapat kebijakan moneter darurat, Powell memangkas suku bunga acuan sebesar 150 basis poin hingga menjadi 0,25%. Selain itu, program pembelian aset (quantitative easing/QE) juga kembali diaktifkan. Program tersebut masih berlangsung hingga saat ini dengan nilai US$ 120 miliar per bulan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Powell 2 Periode, Ini Dampaknya Bagi Indonesia
Di tahun pertama Powell menjadi ketua The Fed, Indonesia sudah mendapat masalah. Powell yang menaikkan suku bunga secara agresif memicu capital outflow, yang membuat nilai tukar rupiah merosot.
Sepanjang tahun 2018, rupiah mencatat pelemahan sekitar 6% melawan dolar AS. Bahkan, rupiah sempat menyentuh level Rp 15.265/US$ pada Oktober 2018, level tersebut merupakan yang terlemah sejak 1998.
Tidak sampai disana, pelemahan rupiah tentunya berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Sebab, Indonesia banyak mengimpor bahan baku/penolong untuk industri manufaktur. Alhasil, beban impor menjadi melonjak, dan inflasi menanjak.
Dari sisi ekspor, pelemahan rupiah tidak akan banyak membantu. Sebab ekspor utama Indonesia adalah komoditas, bukan produk manufaktur yang memiliki keunggulan kompetitif.
Ekspor komoditas lebih banyak dipengaruhi harga dan permintaan, bukan nilai tukar rupiah. Selain itu, pelemahan rupiah bisa berdampak pada membengkaknya beban pembayaran utang negara.
Guna meredam pelemahan rupiah tersebut, Bank Indonesia (BI) juga menaikkan suku bunga secara agresif. Di tahun 2018, BI menaikkan suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sebesar 175 basis poin menjadi 6%.
 Foto: Datawrapper |
Kebijakan BI tersebut sukses meredam pelemahan rupiah. Tetapi masalah tidak sampai di situ, ketika suku bunga dinaikkan secara agresif, maka bunga pinjaman tentunya juga naik. Hal ini dapat tentunya membuat dunia usaha mengurangi ekspansi bisnisnya, sebab bunga pinjaman menjadi tinggi.
Belum lagi, kenaikan suku bunga deposito, konsumen tentunya memilih untuk menabung uangnya ketimbang dibelanjakan. Alhasil, konsumsi masyarakat berisiko menurun.
Artinya, kenaikan suku bunga berisiko menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Sebab, Investasi menyumbang sekitar 31% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sementara konsumsi adalah kontributor terbesar yaitu sekira 57%. Meski demikian, kenyataannya pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mampu di atas 5% di tahun 2018. Perekonomian Indonesia baru mengalami pelambatan di tahun 2019.
Jika Powell kembali melanjutkan periode kepemimpinannya mulai Februari 2022, maka kenaikan suku bunga agresif (jika perekonomian AS terus membaik) seperti di 2018 akan menjadi masalah bagi Indonesia.
Dalam rapat kebijakan moneter bulan Juni lalu, The Fed mengindikasikan akan menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, tetapi tidak menutup kemungkinan kenaikan di tahun depan.
The Fed bisa semakin agresif menaikkan suku bunga jika inflasi terus tinggi. Saat ini The Fed menargetkan rata-rata inflasi sebesar 2%. Artinya, The Fed akan membiarkan inflai lebih tinggi dari 2% dalam beberapa waktu ke depan, sebab sebelumnya inflasi sangat jauh di bawah 2%.
Data terakhir menunjukkan inflasi inti PCE di bulan Mei tumbuh 3,4% YoY. Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.
The Fed berulang kali menegaskan tingginya inflasi tersebut hanya sementara. Tetapi seandainya berkelanjutan, Powell di periode keduanya menjabat bisa jadi akan lebih agresif menaikkan suku bunga, sama seperti tahun 2018.
TIM RISET CNBC INDONESIA