
Jerome Powell Menuju 2 Periode The Fed, Apa Efeknya bagi RI?

Janet Yellen, menjadi ketua The Fed pertama dalam 50 tahun terakhir yang tidak menjabat selama 2 periode. Yellen kehilangan posisinya saat Donald Trump menjadi presiden AS ke-45.
Trump lebih memilih Jerome Powell ketimbang memberikan Yellen melanjutkan kepemimpinannya menjadi 2 periode.
Powell yang dikenal "bersahabat" dengan pasar finansial menjadi salah satu alasan Trump menunjuknya. Banyak analis kala itu memperkirakan kebijakan yang diambil Powell akan mendongkrak pasar finansial dengan meningkatkan penyerapan tenaga kerja serta suku bunga rendah.
Tetapi kenyataannya berbeda, Powell justru menjadi "elang" atau "hawk" di tahun pertamanya menjadi orang paling berpengaruh di pasar finansial.
Ada dua jargon yang kerap kali digunakan di dunia moneter, yakni hawkish dan dovish. Hawkish secara sederhana berarti bank sentral akan menaikkan suku bunga, tujuannya untuk menjaga inflasi agar tidak tinggi.
Sementara lawan si "elang" adalah "merpati" atau "dove". Dalam dunia moneter dikenal dengan istilah dovish, yakni sikap bank sentral yang lebih memilih suku bunga rendah guna meningkatkan konsumsi dan memacu pertumbuhan ekonomi.
Pada kenyataannya, bank sentral siapa pun pemimpinnya bisa mengambil sikap hawkish atau pun dovish, tergantung kondisi ekonomi saat itu.
Powell yang dikenal market friendly, justru menaikkan suku bunga secara agresif di tahun 2018. Di Era Janet Yellen, suku bunga tertinggi tercatat sebesar 1,5%, baru sebulan menjabat ketua The Fed, Powell langsung menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 1,75%.
Setelahnya, sepanjang 2018 Powell menaikkan suku bunga tiga kali lagi masing-masing 25 basis poin hingga menjadi 2,5% di bulan Desember. Kenaikan suku bunga sebanyak 4 kali tersebut terbilang agresif, sebab pelaku pasar sebelumnya memperkirakan akan ada kenaikan suku bunga sebanyak 3 kali di 2018.
![]() |
Perekonomian AS saat itu sedang kuat-kuatnya, dan inflasi pun melesat. The Fed menggunakan inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) sebagai acuan. Pada bulan Mei 2018, inflasi inti PCE mencapai 2,1% year-on-year (YoY), yang merupakan level tertinggi sejak Maret 2012.
Alhasil, guna menjaga inflasi tetap dalam target The Fed yakni 2%, suku bunga dinaikkan secara agresif.
Suku bunga 2,5% bertahan selama 8 bulan. Pada Agustus 2019, Powell memulai periode penurunan suku bunga akibat melambatnya perekonomian AS setelah Presiden Trump mengobarkan perang dagang dengan China.
Powell juga membuktikan dirinya tidak segan membabat habis suku bunga guna menyelamatkan perekonomian AS saat dihantam pandemi Covid-19.
Pada bulan Maret 2021 dalam 2 kali rapat kebijakan moneter darurat, Powell memangkas suku bunga acuan sebesar 150 basis poin hingga menjadi 0,25%. Selain itu, program pembelian aset (quantitative easing/QE) juga kembali diaktifkan. Program tersebut masih berlangsung hingga saat ini dengan nilai US$ 120 miliar per bulan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Powell 2 Periode, Ini Dampaknya Bagi Indonesia