Jerome Powell Menuju 2 Periode The Fed, Apa Efeknya bagi RI?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 July 2021 17:35
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Jacquelyn Martin)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Jacquelyn Martin)

Di tahun pertama Powell menjadi ketua The Fed, Indonesia sudah mendapat masalah. Powell yang menaikkan suku bunga secara agresif memicu capital outflow, yang membuat nilai tukar rupiah merosot.

Sepanjang tahun 2018, rupiah mencatat pelemahan sekitar 6% melawan dolar AS. Bahkan, rupiah sempat menyentuh level Rp 15.265/US$ pada Oktober 2018, level tersebut merupakan yang terlemah sejak 1998.

Tidak sampai disana, pelemahan rupiah tentunya berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Sebab, Indonesia banyak mengimpor bahan baku/penolong untuk industri manufaktur. Alhasil, beban impor menjadi melonjak, dan inflasi menanjak.

Dari sisi ekspor, pelemahan rupiah tidak akan banyak membantu. Sebab ekspor utama Indonesia adalah komoditas, bukan produk manufaktur yang memiliki keunggulan kompetitif.

Ekspor komoditas lebih banyak dipengaruhi harga dan permintaan, bukan nilai tukar rupiah. Selain itu, pelemahan rupiah bisa berdampak pada membengkaknya beban pembayaran utang negara.

Guna meredam pelemahan rupiah tersebut, Bank Indonesia (BI) juga menaikkan suku bunga secara agresif. Di tahun 2018, BI menaikkan suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sebesar 175 basis poin menjadi 6%.

idrFoto: Datawrapper

Kebijakan BI tersebut sukses meredam pelemahan rupiah. Tetapi masalah tidak sampai di situ, ketika suku bunga dinaikkan secara agresif, maka bunga pinjaman tentunya juga naik. Hal ini dapat tentunya membuat dunia usaha mengurangi ekspansi bisnisnya, sebab bunga pinjaman menjadi tinggi.

Belum lagi, kenaikan suku bunga deposito, konsumen tentunya memilih untuk menabung uangnya ketimbang dibelanjakan. Alhasil, konsumsi masyarakat berisiko menurun.

Artinya, kenaikan suku bunga berisiko menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Sebab, Investasi menyumbang sekitar 31% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sementara konsumsi adalah kontributor terbesar yaitu sekira 57%. Meski demikian, kenyataannya pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mampu di atas 5% di tahun 2018. Perekonomian Indonesia baru mengalami pelambatan di tahun 2019.

Jika Powell kembali melanjutkan periode kepemimpinannya mulai Februari 2022, maka kenaikan suku bunga agresif (jika perekonomian AS terus membaik) seperti di 2018 akan menjadi masalah bagi Indonesia.

Dalam rapat kebijakan moneter bulan Juni lalu, The Fed mengindikasikan akan menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, tetapi tidak menutup kemungkinan kenaikan di tahun depan.

The Fed bisa semakin agresif menaikkan suku bunga jika inflasi terus tinggi. Saat ini The Fed menargetkan rata-rata inflasi sebesar 2%. Artinya, The Fed akan membiarkan inflai lebih tinggi dari 2% dalam beberapa waktu ke depan, sebab sebelumnya inflasi sangat jauh di bawah 2%.

Data terakhir menunjukkan inflasi inti PCE di bulan Mei tumbuh 3,4% YoY. Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.

The Fed berulang kali menegaskan tingginya inflasi tersebut hanya sementara. Tetapi seandainya berkelanjutan, Powell di periode keduanya menjabat bisa jadi akan lebih agresif menaikkan suku bunga, sama seperti tahun 2018.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular