Gegara Stagflasi, Investor Pilih Dolar AS Ketimbang Rupiah

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 July 2021 15:38
Warga melintas di depan toko penukaran uang di Kawasan Blok M, Jakarta, Jumat (20/7). di tempat penukaran uang ini dollar ditransaksikan di Rp 14.550. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (21/7/2021). Dolar AS dengan statusnya sebagai aset aman (safe haven) membuat rupiah sulit menguat.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,03% ke Rp 14.520/US$. Setelahnya, rupiah mengalami depresiasi hingga 0,28% ke Rp 14.555/US$.

Di penutupan perdagangan, rupiah berhasil memangkas pelemahan ke Rp 14.540/US$, atau melemah 0,17%.

Rupiah sebenarnya mendapat sentimen positif dari dalam negeri. Dalam 5 hari terakhir kasus Covid-19 menunjukkan penurunan.

Kemarin, jumlah kasus baru dilaporkan sebanyak 38.325 orang, naik dari hari sebelumnya 34.257 orang. Ini merupakan kenaikan pertama setelah menurun dalam 4 hari beruntun, tetapi jauh di bawah rekor 56.757 orang yang dicatat Kamis pekan lalu.

Selain itu, pemerintah berencana melonggarkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat secara bertahap mulai Senin 26 Juni mendatang, dengan syarat kasus Covid-19 terus menunjukkan penurunan. Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Karena itu, jika tren kasus terus mengalami penurunan, maka tanggal 26 Juli 2021, pemerintah akan melakukan pembukaan bertahap," kata Jokowi dalam keterangan pers yang ditayangkan kanal Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (20/7/2021).

Rencana tersebut tentunya menjadi kabar baik, sebab sebelumnya beredar isu jika PPKM Mikro Darurat akan berlangsung hingga akhir bulan ini, bahkan bisa hingga 6 pekan.

Namun, rupiah sulit untuk menguat sebab pelaku pasar masih mengincar aset safe haven sebagai investasi. Sebabnya, kecemasan akan terjadinya stagflasi, yakni pertumbuhan ekonomi yang merosot tetapi inflasi tinggi.

Maklum saja, lonjakan kasus virus corona terjadi mulai dari Asia, Eropa, hingga ke Amerika Serikat, sehingga ada risiko pembatasan sosial kembali diketatkan, dan tentu saja berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi. 

Di sisi lain, bank sentral di berbagai negara masih membanjiri perekonomian dengan likuiditas, sehingga berisiko memicu inflasi yang tinggi. 

"Ketakutan akan stagflasi menjadi kekhawatiran utama investor ketika kasus Covid-19 melonjak dan membuat perekonomian melambat sementara inflasi tetap menanjak," kata Peter Essele, kepala manajemen investasi di Commonwealth Financial Network, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (19/7/2021).

Saat itu terjadi, maka aset-aset safe haven, dolar AS salah satunya akan menjadi favorit investasi.

"Saya percaya aset safe haven pantas untuk menguat, mengingat pemulihan ekonomi global yang melambat sehingga ekspektasi pertumbuhan yang tinggi layak dipertanyakan," kata Juan Perez, ahli strategi valuta asing di Tempus Inc di Washington, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (21/7/2021).

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular